Konten dari Pengguna

Edelweiss, Orang Utan yang Melahirkan di CA Jantho pada Masa Pandemi COVID-19

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
29 September 2020 17:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bayi Orangutan anak dari induk Orangutan bernama Edelweiss yang lahir di CA Jantho, pada masa Pandemo COVID-19. Foto: YEL_SOCP dan BKSDA Aceh
zoom-in-whitePerbesar
Bayi Orangutan anak dari induk Orangutan bernama Edelweiss yang lahir di CA Jantho, pada masa Pandemo COVID-19. Foto: YEL_SOCP dan BKSDA Aceh
ADVERTISEMENT
Di tengah masa Pandemi Covid-19 yang masih menunjukkan peningkatan, berita tentang kelahiran Orang utan di Cagar Alam (CA) Hutan Pinus Jantho, Aceh Besar, menjadi kabar yang menggembirakan bagi dunia konservasi.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut dikatakan oleh Direkrut Konservasi Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), M. Yakob Ishadami, pada Senin (28/9/2020). Menurutnya, situasi Pandemi Covid-19, memang telah menghentikan sementara aktivitas pengambilan data Orang utan di Jantho yang biasa dilakukan dengan metode dari sarang ke sarang. Ini untuk meminimalisir risiko penyebaran Covid-19 ke Orang utan dan satwa lainnya.
Namun begitu, aktivitas pemantauan terus dijalankan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, seperti: penggunaan masker dan menjaga jarak. Termasuk saat monitoring rutin Orang utan di jalur pengamatan (trail system). Salah satunya, keberhasilan terpantaunya bayi Orang utan baru yang sedang bersama dengan induknya.
Diceritakan, pada Rabu (26/8/2020), tim Post Release Monitoring (PRM) di Pusat Reintroduksi Orang utan, di CA Hutan Pinus Jantho, Aceh Besar, menemukan satu induk orang utan bersama dengan bayinya yang diperkirakan berusia 3-5 bulan di trail FB1200.
ADVERTISEMENT
Bayi Orang utan yang berjenis kelamin jantan tersebut merupakan bayi Orang utan ketiga yang lahir di Jantho sejak Program Reintroduksi Orang utan dimulai pada tahun 2011. Pusat Reintroduksi Orang utan Jantho, merupakan salah satu program di bawah Sumatran Orang utan Conservation Programme (SOCP) yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh bersama dengan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL).
'Edelweiss' sedang bersama anaknya yang baru dilahirkan di CA Jantho, pada masa Pandemo COVID-19. Foto: YEL_SOCP dan BKSDA Aceh
“Kelahiran bayi tersebut merupakan berita yang sangat menggembirakan, khususnya di tengah masa pandemi yang sedang kita hadapi bersama saat ini. Ini merupakan pertemuan ketiga Orang utan dengan bayi, yang berasal dari orang utan yang dilepasliarkan di Pusat Reintroduksi Orang utan Jantho. Sebelumnya, bayi Orang utan telah dilahirkan oleh Orang utan Marconi (induk) dan Masen (bayi jantan), serta Orang utan Mongki (induk) dan Mameh (bayi betina). Keduanya lahir pada tahun 2017. Kami menyadari bahwa masih banyak tugas-tugas yang harus dilakukan dalam rangka membangun populasi baru Orang utan yang mandiri dan lestari. Tetapi, sejauh ini, kami cukup puas dengan capaian-capaian yang ada, yang mana hal tersebut tidak akan tercapai atas kerjasama yang baik dari semua pihak,” cerita Yakob melalui pesan tertulisnya.
ADVERTISEMENT
Keadaan induk dan bayi Orang utan, terlihat dalam keadaan yang sehat. Perilakunya, terpantau layaknya Orang utan liar. Kondisi bayi masih digendong oleh induknya dan menyusui, belum terpantau mengkonsumsi buah atau daun.
“Berdasarkan hasil pengamatan, induk bayi tersebut adalah Orang utan bernama ‘Edelweisss’ – salah satu Orang utan pertama yang dilepas di Pusat Reintroduksi Orang utan Jantho pada tahun 2011. Setelah itu, dia langsung menjauh dari kandang dan masuk ke dalam hutan,” kata Mukhlisin, Manager Pusat Reintroduksi Orang utan Jantho, melalu pesan tertulisnya.
Menurutnya, pada 11 Februari 2020, satu individu Orang utan betina, yang diduga kuat Orang utanEdelweiss’, sempat terpantau di sekitar Kandang Habituasi di Pusat Reintroduksi. Dari
“Dari pemantauan saat itu, kondisi orang utan Edelweiss menunjukkan ciri-ciri sedang hamil, dengan perut membesar dan alat kelamin bengkak. Lalu, Orang utan Edelweiss masih terpantau untuk beberapa hari berikutnya, tepatnya di area release, sebelum akhirnya kembali lagi ke hutan dan menghilang,” lanjut Mukhlisin.
ADVERTISEMENT
Tujuan dari program pelepasliaran orang utan di CA Jantho adalah untuk membangun populasi liar yang baru bagi Orang utan Sumatera, sebagai ‘jaring keamanan’ atau ‘backup’, jika sesuatu yang buruk terjadi pada sisa populasi liar aslinya di dalam dan di sekitar Kawasan Ekosistem Leuser. Demikian dikatakan Head Ex-Situ, drh. Citrakasih Nente.
Menutur Citrakasih, hal ini menjadi semakin penting. Khususnya di tengah adanya Pandemi Covid-19 yang menginfeksi manusia, di mana kita belum mengetahui sejauh mana ancaman virus tersebut terhadap Orang utan dan populasinya.
Sampai saat ini, lebih dari 120 individu orang utan telah berhasil dilepasliarkan di CA Jantho, namun agar kita bisa semakin yakin bahwa populasi baru yang sedang dibangun ini akan bertahan dalam jangka panjang, jumlah nya harus terus bertambah banyak. Dengan demikian semua Orang utan yang lahir di Jantho akan sangat berarti secara signifikan dan menjadi harapan baru terhadap masa depan spesiesnya di Jantho dan semua Orang utan Sumatera yang masih tersisa.
'Edelweiss' induk Orangutan yang yang baru melahirkan anaknya di CA Jantho, pada masa Pandemo COVID-19. Foto: YEL_SOCP dan BKSDA Aceh
Mengenai berita kelahiran Orang utan Sumatera di CA Jantho, Kepala Balai KSDA Aceh, Agus Arianto, mengatakan: “kelahiran bayi ketiga ini merupakan pertanda bahwa populasi orang utan berjalan dengan baik. Namun kita harus tetap waspada terhadap adanya ancaman perburuan orang utan dan satwa yang dilindungi lainnya,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Orang utan adalah jenis satwa liar yang sangat terancam punah dan dilindungi. Sesuai pasal 21 ayat (2) huruf (a) dan pasal 40 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Sanksi pidananya adalah penjara maksimal 5 (lima) tahun dan denda sebesar Rp. 100.000.000,-. “
Orang utan Sumatera (Pongo abelii) berbeda dengan Orang utan Borneo (Pongo pygmaeus), dan juga berbeda dengan Orang utan Tapanuli (Pongo tapanulienses) yang habitatnya berada di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara.
Saat ini, hanya sekitar 13.400 orang utan Sumatra dan kurang dari 800 orang utan Tapanuli yang tersisa di alam liar. Ketiga spesies orang utan terdaftar sebagai ‘sangat terancam punah’ oleh International Conservation Union (IUCN) dalam ‘Daftar Merah Species Terancam’ (Ancrenaz et al 2016).
ADVERTISEMENT