Konten dari Pengguna

Gunung Ciremai dalam Sekelumit Ingatan Masyarakat dan Legenda Jalur Linggajati

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
17 Juli 2020 2:20 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemandangan kawah di puncak Ciremai. Foto: Harley Sastha
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan kawah di puncak Ciremai. Foto: Harley Sastha
ADVERTISEMENT
Gunung Ciremai secara geografis, posisinya unik dan menarik. Dari rangkaian jajaran gunung api di Jawa Barat, berdiri sendiri. Kawasan yang menyandang status taman nasional sejak 2004 tersebut menjulang gagah setinggi 3.078 meter di atas permukaan laut (mdpl) di bagian utara tatar pasundan dan sekaligus menjadi atap tertingginya.
ADVERTISEMENT
Kalau bicara Ciremai, tentu tidak bisa lepas dari dari cerita masyarakat yang hidup di sekitarnya, sejak ratusan tahun yang lalu. Mengenai namanya, ada beberapa pendapat yang berkembang. Dua di antaranya: Pendapat perama yang mengatakan Ciremai merupakan serapan dari kata Cereme yang memiliki rasa masam. Sedangkan yang kedua, menceritakan Ciremai diambil dari kata Pencereman yang artinya perundingan.
Jadi, berdasarkan cerita dari penduduk setempat, karena bentuknya yang besar, Ciremai dulu disebut Gunung Gede.
Di kalangan para pendaki gunung, Ciremai sudah cukup terkenal. Khususnya jalur Linggajati yang melegenda. Bahkan, ada ungkapan yang mengatakan, kalau belum lewat jalur Linggajati, artinya belum sah mendaki Gunung Ciremai. Ada juga yang mengatakan, kalau ingin mendaki gunung di jawa bagian tengah dan timur atau luar jawa, harus naik Ciremai dulu melalui jalur Linggajati, untuk memetik pelajaran di sepanjang jalurnya.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya karena jalur pendakiannya yang cukup panjang, terjal dan ekstrem, tetapi juga karena nama Linggajati yang tidak bisa lepas dari cerita sejarah Wali Songo dan Perundingan Linggajati antara Indonesia dengan Belanda pada awal-awal masa kemerdekaan.
Medan pendakiannya, mempunyai tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Didominasi tanjakan terjal hingga sangat terjal. Titik awal pendakiannya sendiri dimulai dari ketinggian antara 650 mdpl – 800 mdpl.
Sekelompok pendaki megawali pendakian dari Cibunar, jalur pendakian Linggajati/ Foto: Harley Sastha
Seperti diceritakan sebelumnya, tentang Wali Songo, konon, ratusan tahun lalu, para wali pernah melakukan pertemuan untuk mencari ilmu sejati di Gunung Ciremai, naik menuju puncak melalui jalur Linggajati. Tidak heran, kalau penamaan beberapa tempat di sepanjang jalur pendakian Linggajati, mulai dari Cibunar hingga puncak, berkaitan dengan cerita sejarah pendakian Sunan Gunung Jati dan wali-wali lainnya.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, salah seorang tokoh masyarakat di Linggajati, Sajen, menceritakan, masyarakat sekitar mempercayai, wilayah Cibunar merupakan situs pertemuan para wali. Batu yang berada di depan mushola, dipercaya sebagai bukti tempat pertemuan tersebut.
Jadi, menurut Sajen, sebelum Sunan Gunung Jati tiba di puncak, beliau linggar (berangkat) meninggalkan tempat setelah beristirahat dan bermusyawarah di Cibunar yang berada pada ketinggian 804 mdpl, tanpa menggunakan kendaraan. Tetapi, menggunakan ilmu sejati.
Sementara, delapan wali lainnya, diceritakan, masih mengadakan pertemuan di Batu Lingga di ketinggian 2.320 mdpl, sebelum bertemu kembali dengan Sunan Gunung Jati di puncak Ciremai.
Treka menuju Pengasinan, jalur pendakian Linggajati. Foto: Harley Sastha
Begitu tiba di puncak, para wali pun saling bertanya dan mengatakan mengenai gunung yang mereka daki belum mempunyai nama. Lalu, mereka pun menyepakati untuk menyebutnya pencereman (pertemua) – karena menjadi tempat pertemuan. Karena kesulitan melafazkannya, lama kelamaan disebut Ciremai, hingga sekarang.
ADVERTISEMENT
Riwayat lainnya, mengisahkan, pada saat para wali songo mendaki menuju puncak Ciremai, dipandu langsung oleh kakek dari Sunan Gunung Jati.
Beratnya jalur pendakian Linggajati, membuat sang kakek pun tidak sanggup untuk meneruskan pendakian. Karenanya, di tengah perjalanan, sang kakek mempersilahkan rombongan para wali untuk terus melakukan pendakian. Sementara, ia sendiri memutuskan untuk beristirahat di atas batu besar dengan ditemani empat orang pengawalnya.
Kemudian, batu besar tempat sang kakek beristirahat dikenal dengan sebutan Batu Lingga. Karena lamanya, sang kakek duduk berkhalwat, pada batu tersebut pun meninggalkan bekas, yang bentuknya seperti daun waru atau jantung.
Riwayat lain tentang Batu Lingga, menceritakan, sekitar tahun 1521-1530, saat penjajahan bangsa Portugis, Sunan Gunung Jati, diyakini bertapa di puncak Ciremai.
ADVERTISEMENT
Menjelang pecah peperangan, sang Sunan naik ke puncak Ciremai dan bertapa dan bermunajat kepada Tuhan. Lalu, tempat sang Sunan bertapa dan pertemuan para wali itulah yang kemudian dikenal dengan nama Batu Lingga.
Diceritakan juga, konon Batu Lingga dipercaya merupakan jalan tembus menuju kawah Ciremai. Tingginya sejajar dengan dasar kawah.
Cerita lain yang juga sangat melegenda hingga saat ini di jalur pendakian Linggajati, adalah kisah Nyi Linggi dan Macan Tutul.
Pengasinan di ketinggian 2.813 mdpl dengan latar belakang track menuju puncak Ciremai. Foto: Harley Sastha
Konon, setelah Sunan Gunung Jati tidak melakukan tapa lagi di Batu Lingga, Nyi Linggi datang ke tempat tersebut, untuk menggantikan sang sunan bertapa dengan ditemani dua ekor macan tutul kesayangannya. Tujuan dari tapanya untuk mendapatkan ilmu kedigdayaan.
Namun, dikisahkan, Nyi Linggi, kemudian mengalami kegagalan dalam tapa bratanya dan tidak mendapatkan ilmu yang diinginkannya. Lalu, Nyi Linggi meninggal dunia. Sedangkan, dua ekor macan tutul kesayangannya menghilang. Konon, pada waktu-waktu tertentu, Nyi Linggi terkadang menampakan dirinya.
ADVERTISEMENT
Hal menarik lainnya tentang jalur Linggajati, diceritakan oleh dua orang porter dari Linggajati yang membantu saya membawa perlengkapan pendakian saat mendaki Gunung Ciremai beberapa waktu yang lalu.
Mereka menceritakan, dulu, anak-anak di sekitar Linggajati, jika ingin mendaki gunung diharuskan berpuasa sehari terlebih dahulu. Lalu, mandi dan berwudhu di mata air Cibunar. Setelah itu, beru diperbolehkan mendaki. Selama pendakian, mereka tidak boleh berkata kotor, mengeluh, mengumpat dan sejenisnya. Jadi, harus benar-benar menjaga ucapan. Menurut mereka berdua, hal tersebut masih dilakukan saat mereka masih kecil.