Membaca Kesaksian Raja Sanggar, Saksi Mata Letusan Kolosal Tambora, April 1815

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
Konten dari Pengguna
31 Mei 2022 6:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah satu sudut kaldera raksasa Tambora dari puncak jalur pendakian Piong. Foto: Harley Sastha
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu sudut kaldera raksasa Tambora dari puncak jalur pendakian Piong. Foto: Harley Sastha
ADVERTISEMENT
Sore itu awal September 2020, di Dermaga Kore, Desa Boro, Kecamatan Sanggar, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), perlahan matahari mulai terbenam, warna merah gelap keemasan, seolah ingin membawa saya kembali ke masa peristiwa yang mengubah peradaban dunia, lebih dari 200 tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
Dua ratus tujuh tahun yang lalu, 10 April 1815, sekitar pukul tujuh malam, Gunung Tambora yang saat itu berdiri setinggi 4.300 meter di atas permukaan laut, sekonyong-konyong mulai meledakkan tubuhnya secara masif.
Begitu sebagian cerita Raja Sanggar, Ismail Halil kepada Letnan Owen Philips, yang ditugaskan oleh Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, untuk melaporkan keadaan sekitar Tambora pasca erupsi dahsyatnya.
Raja Sanggar menemui Owen Philips di Dompu. Menurutnya keadaan negerinya sangat hancur dan lebih parah dari kondisi wilayah Kerajaan Dompu.
Lanskap Gunung Tambora terlihat dari pantai Teluk Piong. Foto" Tangkapan layar Film Majestic Tambora.
Dalam satu suratnya yang ditulis di Bima, 23 April 1815, menyebutkan, kalau keadaan di Dompu dan Bima, saat itu terlihat begitu ekstrem (Narrative of The Effects The Eruption from The Tomboro Mountain in The Island of Sumbawa, 28 September 1815).
ADVERTISEMENT
“Kesengsaraan tampak mengerikan untuk dilihat. Penduduk berkurang drastis. Masih banyak mayat bergeletakan di pinggir jalan. Dan sebagian lainnya telah dikuburkan. Desa-desa hampir seluruhnya sepi dan tidak berpenghuni, rumah-rumah ambruk dan sebagiannya terkubur abu vulkanis. Penduduk yang tersisa menyebar berusaha mencari tempat berlindung dan makanan,” tulisnya.
Kalau mengingat cerita Raja Sanggar berikutnya, rasanya sulit untuk membayangkan, bagaimana dirinya dan putrinya bisa selamat dari amukan Tambora. Walaupun, kemudian, putrinya meninggal dunia karena penyakit akibat bencana lingkungan dan kelaparan, sesaat pasca erupsi Tambora. Penyakit Diare yang hebat melanda Dompu, Bima dan Sanggar, hingga menimbulkan banyak kematian.
Saat menatap siluet lanskap Gunung Tambora dari Dermaga Kore, selepas matahari terbenam, kembali, saya membayangkan apa yang dilihat Raja Sanggar, malam saat itu. Apakah mungkin, waktu itu, Raja Sanggar, berdiri di sekitar Dermaga Kore yang berada disekitar Teluk Balembo. Atau dari Teluk Piong (dulu dikenal dengan nama Teluk Biu). Karena, dari kedua tempat ini, Gunung Tambora sangat terlihat jelas.
ADVERTISEMENT
Raja Sanggar mengatakan kepada Owen Philips yang waktu itu berada di Dompu. “Malam itu, tiga tiang api keluar, menyembur keluar dekat puncak gunung. (semua tampak di dalam kawah). Awalnya seperti terpisah naik sangat tinggi, masing-masing menyala terang. Kemudian, semakin membesar membubung tinggi. Lalu, menyatu secara aneh dan mengerikan udara.”
“Suasananya sangat mengerikan, berbahaya dan membingungkan. Lalu, dalam sekejap, seluruh bagian tubuh gunung di Sanggar, terlihat seperti gulungan api yang sangat cair, mengalir ke segala arah. Api dan kolom asap terus membubung seolah tidak berhenti. Sehingga suasana semakin gelap. Karena, material yang jatuh seperti hujan turun dari langit dan mengaburkan pemandangan hingga pukul delapan malam,” tulis Owen Philips kepada Raffless.
Cakrawala terlihat seperti menyala dan terbakar. Kegelapan hebat menutupi kaki gunung, disusul hujan batu yang sangat banyak hingga tidak terhitung jumlahnya. Sebagian berukuran dua kepalan tangan, tetapi kebanyakan tidak lebih dari ukuran kacang.
Sunrise di Semenanjung Sanggar yang terlihat dari Pos 3 Jalur Pendakian Piong, Sanggar. Foto: Harley Sastha
Antara pukul 9 hingga 10 malam itu, massa abu dan batu yang jatuh semakin bertambah banyak. Kemudian, tiba-tiba datang angin puting beliung yang sangat dahsyat, menjungkirbalikkan semua rumah di Sanggar. Semua desa yang dilaluinya digulung dan diangkat ke udara. Tidak hanya itu, pohon-pohon besar pun tercerabut hingga akar-akarnya. Terbawa ke udara bersama-sama dengan rumah-rumah, manusia dan ternak.
ADVERTISEMENT
Kengerian tersebut tidak berhenti di situ. Tiba-tiba, datang air laut yang naik hingga 12 kaki atau 4 meter lebih tinggi daripada yang pernah terlihat pada pasang tertinggi. Dalam sekejap, air laut tersebut menyapu ladang subut, orang-orang dan rumah-rumah serta semua yang ada di atas daratan.
Angin puting beliung yang tiba-tiba muncul, diperkirakan akibat meledaknya gunung dan runtuhnya bagian puncak. Gelombang air laut atau tsunami yang menghantam daratan, kemungkinan karena sejumlah material vulkanik yang terlempar dan berjatuhan ke laut.
Menurut Owen Philips, ketebalan material vulkanik di wilayah Sanggar, ketebalannya hingga mencapai sekitar tiga kaki.
Ilustrasi ledakan kolosan Gunung Tambora, April 1815. Foto: Tangkapan layar film 'Majestic Tambora.
Kalau wilayah Kerajaan Sanggar saja sudah begitu mengerikan dan mencekamnya saat itu. Bagaimana dengan Kerajaan Tambora dan Kerajaan Papekat. Ternyata, keduanya sangat tragis. Dapat dikatakan benar-benar hilang dan musnah, termasuk dengan kebudayaannya, tersapu oleh amukan Tambora yang teramat dahsyat.
ADVERTISEMENT
Letusan kolosal gunung Tambora 10 April 1815, kekuatannya mencapai 171 ribu kali dari kekuatan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima pada Agustus 1945 dan tujuh dari delapan skala Volcanic Explosivity Index (VEI). Memuntahkan batuan dan abu hingga lebih 150 kilometer kubik. Melambungkan debu aeorosol ke angkasa hingga lapisan stratosfer. Merupakan ledakan gunung api terbesar dalam catatan sejarah dan 500 tahun terakhir.
iklim global saat itu pun berubah selama beberapa tahun. Musim panas pada 1815 menjadi lebih dingin dan sering turun hujan. Dampak letusan pun menembus batas benua. Bukan hanya benua Asia. Bahkan hingga Amerika dan Eropa.Setahun pasca erupsinya, pada 1816, terjadi apa yang dikenal oleh dunia dengan sebutan Tahun Tanpa Musim Panas atau Year Without Summer.
ADVERTISEMENT
Para ahli percaya korelasi atau hubungan langsung antara letusan Gunung Tambora dengan iklim dingin yang terjadi beberapa tahun pasca letusannya.
Malam semakin pekat dan angin laut terasa semakin dingin terasa menyentuh kulit saya. Seraya meninggalkan Dermaga Kore, masih banyak pertanyaan dalam benak saya.
Bagaimana Raja Sanggar dan putrinya dapat menyelamatkan diri waktu itu. Termasuk segelintir masyarakat Sanggar lainnya. Dan adakah bukti lain tentang kedahsyatan letusan Tambora pada April 1815, yang masih terkubur di antara repihan-repihan wilayah Sanggar saat ini. Saya, yakin, suatu saat waktu akan dapat mengungkap kepingan-kepingan misteri yang masih tersimpan tersebut.