Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Mendaki Gunung Slamet: Menikmati Sensasi Magis di Atap Jawa Tengah
28 Agustus 2019 1:04 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Asap sulfatara nampak keluar dari celah lubang pasir kawah sisi bagian dari sekitar puncak Guci. Foto: Harley Sastha](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1566927481/npzb4hyareqpelhz8i8i.jpg)
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu gunung api aktif di Indonesia, sejak ratusan tahun lalu, pesona bagian kawah puncak Gunung Slamet memang sudah membuat decak kagum siapa saja yang pernah mencapainya. Salah satunya ilmuwan, naturalist, dan alpinist terbesar pada masa Hindia Belanda, Franz W. Junghuhn–orang Eropa pertama yang mencapai puncak Gunung Slamet, pada 1835.
ADVERTISEMENT
Untuk para pendaki gunung, atap jawa bagian tengah ini menjadi salah satu gunung yang wajib didaki, meski untuk menggapai puncaknya cukup berat. Sebab, medan yang harus dilalui berpasir dan berbatu tajam, dengan kemiringan yang terjal dan curam
Namun, hingga kini berbagai pesona dan daya tarik Gunung Slamet selalu menjadi magnet bagi setiap para pendaki. Bentang alam dan lanskap, serta pemandangan matahari terbit dari atas puncaknya juga memang memesona.
Hampir 200 tahun yang lalu, Junghuhn mendaki Gunung Slamet melalui Kampung Priatin, sebelah timur Kutabawa. Kalau sekarang, lebih dikenal jalur Bambangan–jalur pendakian yang paling umum dan ramai digunakan para pendaki.
Dalam risalahnya yang tertuang pada salah satu bukunya yang terkenal “Java”, Junghuhn menceritakan bagaimana gambaran bagian kawah dan puncak Gunung Slamet yang menakjubkan. Yang pastinya menarik dari cerita Junghuhn adalah tentang pertemuannya dengan tulang belulang manusia di pinggiran kawah.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya itu, di tempat ditemukannya tulang belulang manusia, ia juga menemukan kerangka seekor badak. Lokasinya persis di bawah puncak. Jadi, hal tersebut dapat menggambarkan bahwa Gunung Slamet sudah didaki oleh manusia sejak ratusan tahun lalu. Bahkan jauh sebelum Junghuhn mendakinya.
Saya yang pernah mendakinya melalui empat jalur pendakian: Guci, Bambangan, Kaliwadas, dan Baturraden, selalu terpesona dibuatnya. Terlebih ketika berjalan mengelilingi bagian puncak dan gigiran kawah-kawahnya. Seolah-olah sedang menjelajahi bagian permukaan bulan seperti yang pernah saya lihat dalam film-film. Selain empat jalur yang sudah saya sebutkan, masih ada jalur Gambuhan, jalur Kaligua, dan jalur Dukuh Liwung yang dapat dilalui.
Batuan berwarna hitam dan merah, pasir hitam, dinding kawah, asap solfatara, dan bahkan dari salah satu puncaknya, saya dapat melihat langsung bagian dalam kawah yang berwarna merah menyala yang berasal dari lava. Gunung api yang mempunyai ketinggian 3.438 meter di atas permukaan laut (mdpl) begitu menarik, karena aktifnya gunung ini, sering kali saya melihat beberapa perubahan yang terjadi pada bagian kawah puncaknya.
ADVERTISEMENT
Itu terlihat, semenjak saya beberapa kali mendakinya, mulai awal tahun 90-an hingga 2015. Aktivitas vulkaniknya sering kali membuat perubahan morfologi pada bagian kawahnya. Sangat memesona dan menakjubkan.
Ketika saya mendaki melalui jalur Guci--kawasan wisata pemandian air panas di kaki Gunung Slamet--, saat summit attatck, setelah melalui track berpasir yang terjal, begitu tiba di puncak Guci, dan gigirannya, saya langsung berhadapan dengan salah satu kawah aktifnya. Terlihat kepulan solfatara dan pasir, serta batuan belerang berwarna kuning mengkilat. Bau belerang cukup menyengat di sini. Bahkan, sesekali terdengar suara mendesis, seperti air telaga yang mendidih.
Saya kembali teringat akan salah satu catatan dalam risalah Junghuhn:
“Dari sini ke dalam pusar kawah yang dalamnya tidak terukur, yang dari seluruh kelilingnya membumbung asap putih. Terndengar bunyi seperti telaga yang mendidik atau seperti air terjun. Saat, sesekali tiupan angin menyingkap awan asap atau asap dari solfatara, akan nampak seperti sebuah jurang berbentuk silindrik ke bawah dan menyempit. Dinding batu-batu karangnya terbagi-bagi menjadi pecahan-pecahan dadu prismatik. Banyak celah-celah. Bertumpukan lepas satu dengan yang lainnya...”
ADVERTISEMENT
Apa yang digambarkan oleh Junghuh, mengenai dinding kawah, batuan, pasir, dan suara desisan seperti air mendidh, masih dapat saya lihat dan rasakan. Bunyi desisan tersebut keluar dari lubang-lubang atau liang-liang dinding kawah. Pada 1838, saat Junghuhn kembali mendakinya, ia juga menceritakan hal yang sama.
Ia menggambarkan, saat itu bunyi desis dan uap yang dimuntahkan dari lubang-lubang dan celah-celah menimbulkan bunyi yang menderu keras.
Berjalan dari puncak Guci, saya kemudian mendaki melalui gigiran puncak yang berpasir hitam, melewati lautan pasir luas berwarna hitam yang disebut Segoro Wedi. Hingga tiba di titik tertingginya dan titik jalur puncak jalur Bambangan.
Sat berada di lautan pasir, suasana benar-benar akan terasa berbeda sekali. Semua terlihat hitam, tidak ada satupun tumbuhan. Beberapa dinding batuan lava yang telah menghitam berdiri tegak menjulang. Saat kabut datang, suasana magis semakin terasa. Seperti tidak ada kehidupan di sana.
Mengenai hal ini, Junghuh juga menceritakannya dalam risalahnya: “Sunyi dan liar dataran di gunung ini, terletak di tengah-tengah batu karang, tidak ada pohon, tidak ada tetumbuhan, tidak ada sehelai rumput pun yang menyegarkan pandangan mata, keman pun kita memandang, hanya nampak onggokan puing, berwarna cokelat hitam, di antara dan di atas angin dingin bersiul menyayat. Semua kehidupan satwa seolah-olah sudah punah di belantara pada ketinggian 3.200 mdpl ini, kesunyian seperti di makam menguasai suasana. Tidak terdengar bunyi kecuali gemuruh megancam yang menakutkan dari kawah-kawah.”
ADVERTISEMENT
Walaupun sudah ratusan tahun lalu, gambaran yang diceritakan oleh Junghuhn masih sama. Sunyi, sepi di tengah-tengah padang pasir hitam nan luas Segoro Wedi. Sesekali suara angin bersiul dan berputar. Suara gemuruh dari kawah Gunung Slamet sesekali juga terdengar.
Mendaki jalur Baturraden dan jalur Kaliwadas, saat summit attack juga mempunyai cerita yang menarik. Sama halnya dengan Guci, wilayah Baturraden juga terkenal dengan wisata alamnya, termasuk pemandian air panas. Setidaknya itu yang saya rasakan.
Selepas batas vegetasi medannya berupa pasir dan batuan lepas dengan kemiringan curam dan terjal, hingga saya tiba di puncak Baturraden yang berada persis di gigiran atau jurang kawah aktif.
Aktivitas kawah Slamet sangat jelas terlihat dari atas sini. Dinding tampak tegak lurus turun ke dalam. Terlihat warna merah menyala menandakan aktivitas kawahnya. Karena gigirannya cukup tipis, saya harus berhati-hati saat itu. Begitu dekat dengan sumbernya, aroma belerang begitu kuat.
Panorama yang cantik dan luar biasa terlihat saat menuju summit. Lembahan hijau dan punggungan bukit-bukit di bawah nampak hijau. Terlihat wilayah Bumiayu dengan perkebunan Teh Kaliguanya di sebelah barat. Kaliwadas dan desa-desa di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Dari puncak Baturraden, kemudian melipir gigiran ke kanan menanjak dengan kemiringan sekitar 30 derajat menuju Puncak Tugu Surono, untuk kemudian melalui medan berpasir hingga tiba di puncak tertinggi Gunung Slamet.
Saat cuaca cerah, dari sekitaran puncak-puncak Gunung Slamet, akan terlihat Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, Gunung Merapi, dan Gunung Merbabu. Nampak juga di sebelah barat ada Gunung Ciremai. Pada bagian utara dan selatan jauh di bawah terlihat juga garis-garis pantai dan bentangan laut yang tidak terbatas luasnya.