Konten dari Pengguna

Mengenal 7 Prinsip 'Leave No Trace' dalam Pendakian Gunung

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
15 September 2019 7:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
clock
Diperbarui 4 Agustus 2021 17:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Taman Nasional Gunung Rinjani. Foto: Harley Sastha
zoom-in-whitePerbesar
Taman Nasional Gunung Rinjani. Foto: Harley Sastha
ADVERTISEMENT
Mendaki gunung seharusnya menjadikan seorang pendakinya kaya akan pengetahuan alam secara real. Karenanya, menjaga kelestarian alam harus menjadi bagian dalam setiap perjalanan pendakian.
ADVERTISEMENT
Tidak dapat dipungkiri, meningkatnya aktivitas manusia di alam terbuka--seperti di gunung--untuk mencari kesenangan, keindahan, rekreasi, dan minat khusus pendakian, pasti turut meningkatkan 'bekas' atau 'tanda' yang ditinggalkan.
Peningkatan sampah, polusi udara, polusi suara, rusaknya sumber air, kunjungan masif manusia, gangguan terhadap kehidupan liar seperti tumbuhan dan hewan, kerap jadi tolak ukur perlunya aturan baku mengenai perilaku atau etika yang berlaku secara internasional dalam berkegiatan di alam bebas.
Oro-Oro Ombo, Gunung Semeru-Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Foto: Harley Sastha
Sebagai bagian dari alam bebas, gunung merupakan salah satu wilayah yang sangat rentan kelestariannya. Melihat hal tersebut, sebuah lembaga nirlaba swasta di Amerika, National Outdoor Leadership School (NOLS), sejak tahun 1990 telah mengembangkan "Leave No Trace". Suatu etika berkegiatan di alam bebas yang awalnya dikembangkan untuk hutan hujan tropis di Amerika Latin. Adapun pada dasarnya berlaku untuk hutan hujan tropis di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Prinsip 'Leave No Trace' mempunyai tujuan untuk meminimalisir dampak sosial dan lingkungan terhadap alam bebas, termasuk di gunung dan pegunungan akibat aktivitas yang dilakukan manusia di dalamnya.
Prinsip tersebut dapat meminimalisir bekas-bekas kehadiran manusia di alam bebas, utamanya wilayah yang dilindungi seperti taman nasional, taman wisata alam, dan kawasan konservasi lainnya. Ini merupakan etika yang menjadi sikap dan kesadaran diri sendiri.
Nah, berikut tujuh prinsip etika 'Leave No Trace' saat berkegiatan di alam bebas yang harus menjadi pegangan saat mendaki gunung.
• Pelajari peraturan atau regulasi wilayah gunung yang akan didaki. Termasuk statusnya, apakah gunung tersebut kawasan konservasi atau hutan lindung, taman nasional, taman wisata alam, suaka margasatwa, atau lainnya.
ADVERTISEMENT
• Rencanakan jadwal pendakian sejak dini. Hindari musim pendakian yang ramai.
• Persiapkan diri untuk menghadapi cuaca ekstrem dan paling buruk serta bahaya dan keadaan darurat.
• Pastikan memiliki keterampilan dan peralatan yang dibutuhkan untuk mengatasi keadaan darurat.
• Untuk alasan keselamatan dan lingkungan, minimalisir penggunaan barang yang dapat menimbulkan sampah. Packing ulang makanan untuk mengurangi sampah.
• Sebaiknya datang dalam kelompok kecil. Jika dalam kelompok yang lebih besar, pecahlah menjadi beberapa kelompok kecil.
Pendaki dari mancanegara berfoto di sign board jalur pendakian Gunung Semeru-TN Brom Tengger Semeru. Foto: Harley Sastha
• Hormatilah pendaki atau pengunjung lain dan lindungi kualitas pengalaman mereka.
• Hormati dan bertoleransilah dengan orang-orang yang tinggal dan bekerja di perdesaan.
• Jangan menutup pintu masuk hutan atau jalan-jalan setapak. Ingatlah mungkin mesin pertanian, penduduk lokal, dan layanan darurat memerlukan akses tersebut sewaktu-waktu.
ADVERTISEMENT
• Berhati-hatilah dan jangan merusak properti, seperti tembok, pagar, dan tanaman.
• Berlaku sopan, bertegur sapalah dengan pengunjung atau pengguna jalan setapak lainnya.
• Saat turun melalui jalan setapak dan berpapasan dengan pendaki dari arah yang berlawanan, dahulukan mereka dengan memberinya jalan.
• Beristirahat dan buatlah camp jauh dari jalan setapak dan pengunjung lainnya.
• Biarkan suara alam berlaku atau mengalir.
• Amati saja hewan liar dari jauh. Jangan mendekati atau mengikutinya. Hindari mengganggu mereka, seperti pada waktu sensitifnya: Musim kawin, bersarang, dan membesarkan anak.
• Jangan memberi makan satwa liar (langsung maupun tidak langsung). Hal ini dapat mengganggu kesehatan dan mengubah kebiasaan alami mereka, jangan mengeksposnya, atau merusak rantai makanannya.
ADVERTISEMENT
• Lindungi kehidupan liar dan makanan kita dengan menyimpannya dalam wadah. Simpan sampah dalam tempat yang aman dan jauh dari gangguan satwa liar.
Areal camp Kalimati, Gunung Semeru-Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Foto: Harley Sastha
• Saat berjalan dan akan mendirikan tenda untuk berkemah, carilah permukaan yang stabil, batuan, kerikil, atau rumput kering
• Tidak mendirikan tenda terlalu dekat (ada jarak) dengan sumber air seperti mata air, sungai, atau danau.
• Temukan tempat terbaik untuk mendirikan tenda. Sangat tidak disarankan mengubah tempat berkemah, terutama pada daerah yang populer, contohnya taman nasional.
Pada daerah seperti taman nasional:
- Berjalanlah pada jalan setapak yang sudah ada, baik dalam kondisi basah maupun berlumpur. Usahakan untuk tidak menginjak rumput dan tanaman liar lainnya di pinggir jalan setapak.
ADVERTISEMENT
- Jagalah areal camp atau berkemah agar tidak melebar.
- Fokuskan atau konsentrasikan kegiatan di seputar areal berkemah, terlebih pada daerah yang masih asli alamnya.
- Biasakan mengembalikan areal berkemah seperti semula saat meninggalkannya.
- Hindari menggunakan tempat yang akan menimbulkan dampak baru terhadap alam.
Arca di puncak sekitar puncak Arca, Pegunungan Iyang Argopuro. Foto: Harley Sastha
• Melestarikan peninggalan masa lalu: Jangan mengubah susunan artefak, situs atau budaya, dan sejarah masa lalu. Juga sumur, daerah tambang, dan monumen.
• Biarkan batu, tumbuhan, dan objek lainnya sebagaimana adanya.
• Jangan membawa dan menaruh, menanam atau meninggalkan sesuatu (flora dan fauna) yang bukan habitat alaminya.
• Jangan membangun struktur bangunan yang bersifat permanen. Hindari membuat parit--kecuali jika mendesak, setelah selesai timbun kembali seperti sedia kala.
ADVERTISEMENT
• Kemasi limbah saat masuk dan keluar. Periksa areal berkemah dan sekelilingnya. Kemasi semua sampah dan sisa-sisa makanan.
• Timbun limbah padat dalam lubang yang digali dengan kedalaman 6–8 inci dan berjarak antara 50-60 meter atau lebih dari sumber air, areal berkemah, dan jalan setapak.
• Bawa kembali kertas toilet dan produk kesehatan atau pemakaian pribadi lainnya.
• Jika mandi dan cuci peralatan makan, bawalah air dengan jarak yang cukup jauh dari sumber air. Minimalisir penggunaan sabun berbahan biodegradable atau tidak usah menggunakannya sama sekali.
• Buanglah air bekas cucian peralatan masak dan makan dengan cara memencarkannya.
a. Kebakaran dapat menyebabkan dampak yang lama dan menghancurkan hutan, habitat alami, serta lahan pertanian.
ADVERTISEMENT
b. Gunakan kompor portable dan ringan dengan bahan bakar yang dapat disesuaikan jenisnya untuk memasak.
c. Pertimbangkan secara masak dan bijak jika ingin membuat api unggun. Usahakan untuk tidak membuatnya, kecuali dalam keadaan darurat dan mendesak sehingga benar-benar memerlukannya. Perhatikan hal berikut jika mendesak:
- Perhatikan kondisi cuaca saat itu.
- Gunakan ranting atau batang pohon mati dan rubuh.
- Buat pada lokasi yang tahan terhadap api.
- Buat api unggun hingga menjadi abu.
- Jangan tinggalkan api unggun dalam keadaan masih menyala.
- Pastikan api telah benar-benar padam atau telah menjadi abu saat anda meninggalkannya .
- Buat lingkaran cincin api saat barbeque atau membuat gundukan api.
- Jauhkan kebakaran kecil. Gunakan tongkat kayu yang jatuh di tanah yang dapat dipecah dengan tangan. Jangan gunakan vegetasi yang tumbuh untuk digunakan sebagai kayu bakar.
ADVERTISEMENT
- Hindari membakar plastik atau bahan lainnya yang dapat memaparkan asap beracun.
- Saat membuat bakaran dan akan meninggalkannya, bakar hingga menjadi abu. Padamkan api sepenuhnya, dan kemudian sebarkan abu dingin.
Sabana Sikasur, Pegunung Iyang Argoupuro. Foto: Harley Sastha