Konten dari Pengguna

Menggapai Puncak Gunung Kelam, Sang Batu Monolit Terbesar di Dunia

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
25 Juni 2019 18:15 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penulis saat naik tangga besi keempat, sebelum aktivitas pendakian ditutup total sementara untuk perbaikan oleh BKSDA Kalbar. Foto: Baraka Bumi
zoom-in-whitePerbesar
Penulis saat naik tangga besi keempat, sebelum aktivitas pendakian ditutup total sementara untuk perbaikan oleh BKSDA Kalbar. Foto: Baraka Bumi
ADVERTISEMENT
Sebagian dari kita pernah merasakan yang namanya bersantai duduk atau tidur-tiduran di atas sebongkah batu. Hal tersebut biasanya kerap dilakukan saat berwisata di alam. Sekadar untuk beristirahat sambil bersantai menikmati suasana alam atau memandangi bintang-bintang di langit saat malam tiba.
ADVERTISEMENT
Namun, bagaimana jadinya jika bongkahan batu tersebut berukuran raksasa? Jika ingin bersantai di bagian puncaknya, tentu perlu tenaga ekstra. Bongkahan batu raksasa yang bernama Gunung Kelam tersebut ada di Indonesia, tepatnya di Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.
Gunung Kelam yang berbentuk seperti kubah raksasa ini, diklaim sebagai batu monolit– batu tunggal–terbesar di planet bumi. Mempunyai tinggi lebih dari 950 mdpl atau hampir mencapai 1.000 meter dan membentang besar dan masif dari timur ke barat. (Baca juga Gunung Kelam: Batu Terbesar di Dunia, Rumah Si Cantik 'Clipeata')
Pertengahan April 2018, bersama tim Baraka Bumi dan pengelola Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Kelam–Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, penulis mendaki menuju puncak Gunung Kelam untuk melihat dan membuat catatan awal kondisi kawasan konservasi ini. Termasuk keberadaan si cantik Nephentes clipeata, kantong semar berukuran besar endemiknya Gunung Kelam.
ADVERTISEMENT
Memulai Pendakian
Dengan menggunakan mobil, kami berangkat dari kantor Seksi Konservasi Wilayah II Sintang, BKSDA Kalbar, Baning Kota, Sintang, Kalbar, menuju titik awal pendakian di Pesona Wisata Bukit Kelam. Dari pusat Kota Sintang, membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk menempuh jarak kurang lebih 20 kilometer.
Kami berhenti sejenak di persimpangan, tempat jejeran toko dan kios-kios untuk membeli logistik dan perbekalan kebutuhan pendakian. Dari persimpangan tersebut, kita tinggal belok ke kiri untuk mencapai kawasan wisata Gunung Kelam.
Sepanjang perjalanan, penampakan Gunung Kelam dengan sosoknya yang khas terlihat begitu gagah. Kabut yang sesekali menyelimuti bagian puncaknya tidak mengurangi kesan gagah onggokan batu raksasa ini. Beberapa sumber mengatakan dibutuhkan waktu sekitar lima jam mendaki dengan medan yang terjal dan ekstrem untuk tiba mencapai puncaknya.
Berdiri pada salah satu sisi tebing di ketinggian sekitar 600 meter, salah satu tempat tumbuhnya Nephentes clipeata. Foto: Baraka Bumi
Pendakian kami mulai tepat pukul 09.00 WIB. Tempat awal yang kami tuju adalah air terjun kelam. Lokasinya tidak jauh dari pintu masuk. Kami tidak lama di tempat tersebut. Batu-batu berukuran cukup besar nampak berserakan di kiri dan kanan jalan setapak.
ADVERTISEMENT
Pada awal perjalanan ini, jalan setapak dan beberapa anak tangga sudah berupa coran semen, selain itu ada tangga besi yang pendek hingga kami tiba di gua batu yang cukup besar. Lalu tiba di areal yang cukup datar untuk beristirahat yang bernama batu jengkol (240 mdpl)–ada pohon jengkol yang tumbuh dekat batu yang berukuran cukup besar.
Panorama desa dan sekitarnya terlihat indah dari sini. Namun, sayang apa yang digambarkan Haller lebih dari 100 tahun yang lalu tentang hutan hujan yang dilihatnya di sekitar kaki Gunung Kelam, kini sebagian telah terkonversi menjadi perkebunan sawit.
Berikutnya, kami melewati tiga tangga besi lainnya. Tangga kedua yang kami lalui berada pada ketinggian sekitar 275 mdpl. Tangga besi tersebut dan yang berikutnya menggantung vertikal tertanam pada dinding batuan granit dari formasi Gunung Kelam.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, tangga besi kedua berada pada ketinggian sekitar 490 mdpl. Begitu tiba di ujung tangga, kemudian kami melintasi tebing batuan granit yang cukup licin. Pada lintasan ini sengaja dipasang besi melintang sebagai pengaman.
Tangga besi keempat menjadi yang terpanjang vertikal yakni sekitar 75-90 meter. Cukup membuat jantung kami berdegup saat melaluinya. Waspada dan hati-hati itu salah satu kuncinya. Kami tiba di ujung tangga besi keempat, persis jelang matahari terbenam. Dari titik ini, kami dapat melihat keindahan sunset dengan panorama desa dan perkebunan di sekitar kaki Gunung Kelam. Ada sumber mata air tidak jauh dari sini.
Panorama sunrise dari sekitar puncak Batu Berdiri. Foto: Baraka Bumi
Selanjutnya, jalan setapak lebih landai melewati batuan basah dan berlumpur di antara hutan pegunungan pada ketinggian sekitar 750 mdpl. Hari sudah semakin gelap saat itu. Sebagian jalan dipenuhi oleh serasah dari dedaunan dan ranting-ranting pohon yang membusuk dan basah.
ADVERTISEMENT
Jadi, saat melewatinya, kami seperti berjalan di atas gambut yang empuk dan membal. Kemudian tibalah kami pada ketinggian sekitar 850 mdpl–persimpangan menuju Helipad dan puncak tertinggi dengan puncak Batu Berdiri.
Tujuan kami saat itu puncak Batu Berdiri, di mana kami akan mendirikan tenda. Letaknya persis pada salah satu sisi tebing, tempat kita dapat menyaksikan pesona sunrise dari sekitar puncak bongkahan batu raksasa ini. Terdapat aliran air kecil yang mengalir pada celah tebing batuannya.
Aliran air kecil terlihat mengalir di celah tebing batuan di sekitar puncak Batu Berdiri. Foto: Baraka Bumi
Pagi esok harinya, setelah matahari terbit, kami menyusuri tebing-tebing batuan granit. Sebagai alat keselamatan, kami juga membawa tali Karmantel dan menggunakan helm. Batuan yang kami lintasi beberapa bagiannya cukup licin dan berlumut.
Yang menjadi tujuan kami adalah sisi tebing, tempat sekumpulan Nephentes clipeata tumbuh. Berada pada ketinggian sekitar 600 mdpl. Untuk mencapainya kami harus rapling atau turun tebing menggunakan tali. Begitu melihatnya langsung, benar-benar membuat kami berdecak kagum. Sungguh Nephentes clipeata ini sangat cantik. Tumbuh bergerombol persis di atas batuan. Sangat unik dan menarik.
ADVERTISEMENT
Setelah melakukan pendakian tersebut, ada beberapa hal yang menjadi catatan kami. Masih banyak sampah yang ditinggalkan para pendaki yang tidak bertanggung jawab. Vandalime berupa coret-coretan di batu. Tangga besi yang sebagian nampak sudah mulai keropos dan pastinya sangat berbahaya.
Melihat hal tersebut, tentu merupakan suatu kebijakan yang tepat ketika pengelola TWA Gunung Kelam, dalam hal ini BKSDA Kalbar menutupnya untuk aktivitas pendakian saat ini.
“Kita sangat prihatin dengan masalah sampah. Kebanyakan yang naik bukan pecinta alam. Cuma buat keren-kerenan saja. Jadi hampir sama sekali tidak peduli dengan kelestarian kawasan. Dan soal tangga yang ada kondisinya sudah tidak menjamin keamanan dan keselamatan pendaki,” kata Sadtata Noor Adirahmanta, Kepala BKSDA Kalbar, yang telah mendaki Gunung Kelam untuk melihat langsung kondisi sebenarnya di lapangan.
ADVERTISEMENT
Menurut Sadatata, rencananya Juli pembangunan via ferrata (tangga besi) dan pondok pendaki di TWA Gunung Kelam akan dimulai.
“Nanti pendakian ke puncak wajib didampingi oleh pemandu yang merupakan masyarakat lokal yang sudah dilatih cara menggunakan peralatan dan pemanduan. Setiap pendaki akan diperiksa dulu di pondok pendaki terkait barang-barang yang diperbolehkan dibawa ke atas. Begitu juga saat turun akan diperiksa lagi. Jangan sampai ada pengambilan spesimen dari kawasan. Semuanya akan dilakukan oleh kelompok masyarakat mitra BKSDA Kalbar yang terlatih,” tambah pria yang juga akrab dipanggil Pak Tata ini.
Seperangkat perlengkapan panjat seperti tali Karmantel, webing, harnest, sarung tangan, dan helm adalah perlengkapan wajib yang harus dibawa dan digunakan saat hendak mendaki Gunung Kelam. Foto: Baraka Bumi
Jadi yang berencana naik ke Gunung Kelam, sabar dulu ya. Kita tunggu hingga pembangunannya selesai. Semuanya demi kenyamanan dan keselamatan kita bersama serta kelestarian kawasan.
ADVERTISEMENT