Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Menyusuri Jejak Peradaban Tua di Sekitar Gunung Ciremai
17 Juli 2020 13:25 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:16 WIB
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Beberapa benda berupa bebatuan yang diyakini berasal dari zaman Batu Besar dan usianya diperkirakan mencapai ribuan tahun sebelum masehi, pernah ditemukan di sekitar Gunung Ciremai. Hal inilah yang memperkuat catatan sejarah, kalau Gunung Ciremai telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sejak ribuan tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
Di Taman Purbakala Cipari yang berada di Jalan Purbakala, Cipari, Cigugur, kamu dapat melihat tatanan atau susunan batu-batu warna abu tua berjajar rapi. Tata letak seperti konsep pusat peradaban tersebut berdiri kokoh di atas lahan seluas sekitar 3.000 meter persegi.
Beberapa sumber menceritakan, kalau komplek batuan tersebut merupakan pusat perdaban dari masyarakat yang dulu pernah hidup di sana. Diperkirakan pada akhir era neolitikum menuju masa batu perunggu.
Setidaknya, di Taman Purbakala Cipari, kamu dapat melihat 8 tempat peninggalan bersejarah yang lokasinya berada di kaki Gunung Ciremai. Mulai dari jaman purba, megalithikum, kolonial Belanda, kerajaan klasik, hingga masa Hindu-Budha.
Dalam komplek taman purbakala tersebut, ditemukan beberapa macam alat perkakas, seperti: kapak perunggu dan perhiasan batu kalksedon dan kuarsa. Kualitas perhiasan berbentuk gelang dengan pahatannya sangat halus. Diperkirakan, sang pemilik bukanlah orang sembarangan. Bisa jadi dari kalangan pejabat, bangsawan atau orang kaya.
ADVERTISEMENT
Dicertiakan, saat pertama kali ditemukan oleh warga yang bernama Wijaya sekitar tahun 1971, kompleks Taman Purbaka Cipari tertimbung di bawah tanah sedalam sekitar dua meter. Dugaan kuat timbunan tersebut terjadi karena letusan Gunung Ciremai yang materialnya juga ikut serta mengubur peradaban masyarakat di lokasi itu. Salah satu buktinya, ditemukannya kerangka rusa-rusa yang lari dari lereng Gunung Ciremai menuju dataran rendah, karena menghindari letusan.
Saat penggalian, yang pertama kali ditemukan adalah peti batu yang di dalamnya terdapat banyak perkakas batu dan perunggu.
Kemudian, dilakukanlah penggalian secara total, mulai 1972 dan ditata ulang pada 1976. Barang-barang yang berhasil ditemukan kemudian ditata ulang. Mulai dari perkakas hingga perunggu. Diperkirakan, disini sudah ada peradaban yang hidup semenjak 1000 sampai 500 sebelum Masehi.
ADVERTISEMENT
Komplek ini menjadi bukti, bagaimana keberadaan gunung api memengaruhi perjalanan sebuah peradaban. Peristiwa letusan gunung api, ikut mengubah jalannya peradaban manusia.
Situs Lingga dan Situ Sangiang
Masih di sekitar kaki dan lereng Gunung Ciremai, ada dua tempat menarik lainnya yang juga menggambarkan sebuah peradaban kuno di sekitar Ciremai, yaitu Situng Lingga dan Situ Sangiang. Keduanya, selain sebagai bagian dari destinasi wisata alam dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, juga sekaligus menjadi tempat ziarah masyarakat sekitar.
Dikisahkah, masyarakat sekitar Situ Sangiang, mempercayai kalau ditemukan ikan mati di dalam situ atau danau, harus dikuburkan selayaknya sebagai manusia.
Konon, menurut kisah, ikan lele dan sejenisnya yang hidup di dalam situ, merupakan prajurit Kerajaan Telaga Manggung. Situ Sangiang sendiri, secara geografis berada di Desa Sangiang, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka.
ADVERTISEMENT
Cerita ini, berkaitan dengan legenda Prabu Telaga Manggung dengan kedua anaknya Raden Panglurah dan Ratu Simbarkencana. Dimana, keduanya mempunyai hubungan dengan Prabu Siliwangi, Raja Pakuan Pajajaran.
Selain itu, di tempat tersebut, juga terdapat makam Sunan Parung yang kerap didatangi para peziarah dari beberapa kota di Indonesia.
Sebagai destinasi wisata alam, Situ Sangiang memang memiliki lanskap yang menarik. Di dalam danau yang luasnya mencapai 14 hektar, hidup dan berkembang ikan-ikan yang berukuran besar. Hal ini tidak lepas dengan kepercayaan masyarakat sekitar yang tidak mau megambil ikan dan memakan ikan-ikan dari Situ Sangiang.
Pengunjung yang datang diperbolehkan memberikan ikan-ikan tersebut makan. Biasaya, masyarakat sekitar menjual roti-roti untuk dijadikan umpan. Dengan begitu, walapun mungkin tidak besar, tetapi cukup membantu perekonomian mereka.
ADVERTISEMENT
Hal unik lainnya pada Situ Sangiang, jika musim hujan, airnya akan berkurang. Sebalinya yang terjadi pada musim kemarau. Justru volume airnya bertambah. Sungguh, merupakan fenomena alam yang unik dan ajaib.
Mengenai Situs Lingga yang berada di Desa Sagarahiang, Kecamatan Darma, Kabupaten Kuningan, diceritakan langsung oleh tim Balai TN Gunung Ciremai, waktu melakukan perjalanan pada Mei 2018.
Sebelum menuju situs Lingga, terlebih dahulu berkunjung ke situs Sanghyang – salah satu situs yang kerap dikunjungi penganut Budha, khususnya asal Kamboja. Ukad, sang juru kunci situs menceritakan, kalau situs tersebut dibangun sekitar tahun 1000 – 1500 SM. Jadi, lebih muda dari situs Lingga – sekitar 2000 SM.
Menurut cerita sejarah, Desa Sagarahiang merupakan lautan dewa atau tempat berkumpulnya dewa-dewa tatar pasundan kepulauan Jawa. Waktu itu, ajaran yang digunakan adalah ‘Sangiang Winsu Darma’ yang menjadi patokan kehidupan.
ADVERTISEMENT
Itu berlangsung hingga masuk kerajaan Islam dengan ajarannya yang dipimpin oleh Kanjeng Pangersa Syekh Maulana Akbar, Eyang Syekh Abdul Salam, Eyang Syekh Abdul Salim dan Eyang Syekh Syekh Mangndara.
Pasca-masuknya ajaran Islam ke Sangiang Windu Darma, yang dipimpin oleh kerajaan Arik Saung Galah, raja pertamanya Sanjaya pindah ke wilayah Karang Kemulyaan Ciamis untuk meneruskan perjuangan peninggalan Ciung Wanara. Lalu, berdirilah kerajaan Kajene yang dipimpin oleh seorang raja bernama Ranghiang tangkuku atau Seuwu Karma atau Mangkubumi. Roda pemerintahan pun berputar sejak itu. Peninggalan Arile Saung Galah bernama Desa Sagarahiang, menjadi buktinya.
Setidaknya, ada 48 situs yang hingga kini diketahui berada di sekitar Desa Sagarahiang, satu diantaranya adalah Situs Lingga - berdiri sekitar tahun 2000 SM. Jadi, sebelum kerajaan Taruna Negara berdiri dengan Jaya Bupati ‘Raden Purba Lingga’ – seorang tokoh pimpinan perhitungan waktu dan bulan, sebelum ada perhitungan paparancaka. Hal ini dapat dlihat dengan bukti berupa hamparan batu Lingga di Blok Lingga.
ADVERTISEMENT
Sejak jaman raja-raja tatar pasundan sampai pulau jawa berkumpul di Situs Lingga untuk menanyakan waktu: hari, bulan, dan tahun yang dapat dilihat di serat batu Lingga dengan sebutan ‘Cacandaran Tahun Pahu atau Cacandaran Surya’. Situs Lingga berada di dalam kawasan Gunung Ciremai pada ketinggian 1.130 mdpl.
Melihat sejarah dan lanskap alamnya, bisa dikatakan Desa Sagarahiang merupapakan paket lengkap untuk dikunjungi. Mulai dari sejarah, adat, warisan leluhur hingga keindahan alam kaki Gunung Ciremai beserta keanekaragaman hayatinya di dalamya. Ada air terjuan dan sungai yang mengalir deras dan jernih, interaksi satwa seperti surili, lutung dan Macan Kumbang. Menurut Ukad, dirinya pernah melihat macan kumbang dan anaknya berada di pohon sekitar Curug Palengseran.
ADVERTISEMENT
Gimana sobat kumparan, menarik bukan, karena TN Gunung Ciremai itu bukan hanya pendakian gunung. Masih banyak potensi alam, sejarah, budaya dan lainnya yang dapat kamu temui dan jelajahi. Tapi, ingat ya, tetap berlaku bijak dalam berwisata dan mematuhi aturan dalam setiap destinasi, baik yang tertulis dan tidak tertulis.