Sepenggal Kisah Pendakian Semeru Medio 1830 -1930 (Bagian 2)

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
Konten dari Pengguna
17 Desember 2020 10:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ranu Kumbolo, Gunung Semeru. Foto: Harley Sastha (2013)
zoom-in-whitePerbesar
Ranu Kumbolo, Gunung Semeru. Foto: Harley Sastha (2013)
ADVERTISEMENT
Diceritakan sebelumnya, Franz Willhem Junghuhn, tiba di puncak Mahameru, Gunung Semeru, pada 27 September 1844, pukul 10.30 pagi. Disusul beberapa porter yang mendampinginya dalam pendakian tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, dari puncak terlihat birunya langit dan sementara di bawahnya, terhampar lautan awan putih yang luas, menyembunyikan semua dataran dari pandangan mata. Dan, di atas lautan awan ini, terlihat lapisan atmosfer yang berada di atasnya dipenuhi kabut aneh. Sehingga batas cakrawala terlihat buram. Garis batas yang tajam dan lurus memisahkannnya dari langit biru di atasnya.
Menjelang siang, sinar matahari sangat kuat bersinar. Terasa cukup panas dan kering. Sementara, angin timur laut bertiup cukup kencang. Sehingga membuat suhu menjadi lebih dingin. Untuk memberi kehangatan, para porter megumpulkan batu dan menyusunnya membentuk tembok kecil. Lalu, menyalakan api kecil dengan menggunakan kayu yang sudah dibawa sebelumnya. Sementara, Junghuhn memasang peralatannya, seperti teodolit, barometer dan termometer.
ADVERTISEMENT
Dari hasil pengukurannya, diketahui puncak Mahameru berbentuk elips – melingkar dengan lebar sekitar 800 meter dari selatan ke utara. Sedangkan dari timur ke barat, hampir dua kali lipatnya. Panjangnya sekitar 1.300 meter. Pada arah pertama, cukup datar dan dipisahkan oleh lereng-lerang yang batasannya tegas, tetapi sempit, sedalam sekitar 40 – 50 meter, di depan dan lereng utara, sebelum sepenuhnya menjadi satu.
Kolom asap keluar dari kawah Jonggring Saloko di puncak Mahameru. Foto: Harley Sastha (1995)
Pada arah lain, dari timur ke barat, membentuk tonjolan datar dan cembung, yang secara bertahap tenggelam ke barat hingga perlahan semakin dalam tenggelam. Lalu, secara perlahan menyatu tapa batas, tajam ke sisi gunung di sisi yang sama tempat Junghuhn dan rombongannya mendaki.
Seluruh puncak terdiri dari campuran pasir dan batuan kerikil, berwarna abu-abu kehitaman. Tidak tertutup sehelai rumput pun dan lumut. Pada beberapa bagian lainnya, juga banyak ditutupi batuan berukuran lebih besar, tajam dan tidak beraturan bentuknya yang tersebar secara acak. Beberapa diantara merupakan batuan lava beku berwarna abu-abu kemerahan yang kebanyakan retak dan pecah pada permukaannya.
ADVERTISEMENT
Diameter terbesar kawah, dari barat daya ke timur laut, sekitar 1.400 meter – 1.600 meter. Jarak bibir kawah terdekat dengan tempat dirinya berdiri (tepi tenggara puncak barat laut), menurut Junghuhn, sekitar 1.600 meter. Di sisi tenggara, bibir kawah ditembus oleh celah dalam yang menuruni lereng gunung. Ini adalah pusat kawah aktif dari mana letusan selama ini berkembang.
Matahari bersinar begitu cerah. Sehingga, setiap orang bisa menghitung setiap batu di tepi kawah yang terlihat seperti mati. Tetapi, tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang mengerikan dan bagian puncak bergetar. Semua yang ada disana melompat dan terkejut. Serempak mengarahkan pandangan ke kawah. Massa hitam-batu membara, bergerigi, seperti tebing yang menonjol keluar dari dasar kawah. Berkembang, menjadi bola. Diikuti ratusan bola serupa lainnya dengan kecepatan kilat dan berputar di sekitar pusatnya sendiri dengan cepat membentuk sebuah kolom yang hanya terdiri dari pusaran bola individu. Melonjak dalam beberapa detik, dengan gemuruh gunung berapi.
Para pendaki Eropa di Ranu Kumbolo. Foto: Koleksi Tropen Museum, Belanda (1900 - an)
Tulis Junghuhn, semua saraf dalam dirinya dan para porter bergetar, sedemikian tinggi sehingga, berpikir dapat melihatnya di puncak. Leboh ratusan ribu pecahan batu besar dan kecil, keluar dari lubang kawah, terlontar ke segala arah. Jatuh di lereng gunung dan berguling-guling dengan pesat. Hantaman puing-puing ini bergabung dengan suara desahan dan raungan.
ADVERTISEMENT
Pasir dan batu apung berjatuhan menghujani bagian puncak. Pada saat bersamaan, ia melepaskan diri dari kawah di bawah, menjadi bebas dan gemuruh batu pun terhenti beberapa detik setelah kolom asap asap menghilang, tertiup oleh angin timur. Melayang dan mengambang seperti awan. Lalu, semuanya kembali tenang.
Apa yang diceritakan Junghuhn pada 1844, sebenarnya masih sama persis saat saya beberapa kali mendaki Semeru, antara tahun 1990-an hingga 2000-an. Saat berada di puncak Mahameru, setiap beberapa menit sekali, terdengar suara bergemuruh dari arah kawah Jonggring Saloko. Diikuti keluarnya kolom asap seperti bola berwarna abu-abu kehitaman yang membumbung tingga beserta lontaran pasir dan pecahan batuan. Selama berada di puncak, kejadian itu terus berulang. Dengan tinggi kolom asap sekitar 500 meter dari atas puncak.
ADVERTISEMENT
Bermalam di Puncak Mahameru
Karena keperluan penelitian, Junghuhn memutuskan untuk bermalam di puncak Mahameru. Ia menghangatkan tubuhnya dengan kayu bakar yang dibawa oleh porter. Pada sekitar pukul 12.30 malam, letusan Semeru yang pertama di hari itu terjadi. Dirinya terus melakukan pengamatan bentang alam Semeru dan sekitarnya dari puncaknya. Menjelang pagi, sempat terjadi embun beku yang menyapu bagian puncak Mahameru.
Salah satu pesona dari landskap alam Semeru. Foto: Harley Sastha (2013)
Beberapa waktu kemudian, kembali terdengar suara bergemuruh. Namun, ini sepertinya lebih besar. Lalu para porter berlarian untuk turun. Mereka mengambil perlengkapan tanpa mengemasnya. Karena sudah tidak ada lagi porter di atas, Junghuhn pun mengatakan, kalau dirinya juga langsung merapihkan peralatannya untuk kemudian bergegas menyusul turun.
Jadi, Junghuhn meninggalkan puncak setelah pukul lima pagi. Dalam waktu yang sangat singkat, ia telah mencapat batas vegetasi kembali.
ADVERTISEMENT
Para Pelancong Pertama Gunung Semeru
Dalam risalahnya, Junghuhn juga menuliskan, sebelum Clignett yang berhasil menggapai puncak Mahemeru, sebelumnya ada pelancong lain yang mendaki Semeru.
Jadi, sebenarnya, upaya pertama pendakian gunung Semeru, pertama kali dilakukan pada 5 Agustus 1836, oleh penduduk asal Pasuruan: JFW Van Ness dan JH Dickelman yang asal Malang, Van Der Poel dan Schonke, yang merupakan Controler dan beberapa orang lainnya. Pendakian ini termuat dalam Java Courant atau Koran Jawa, terbitan tanggal 10 September 1836. Merekalah yang pantas mendapat penghargaan sebagai pembuka jalan atau akses pertama pendakian Semeru. Walaupun pada akhirnya, dalam pendakian tersebut, mereka belum mencapai puncak.
Dari beberapa catatan, pada tahun 1836, Semeru mengalami letusan setiap setengah atau tiga per empat jam sekali, dengan fenomena yang hampir sama seperti saat Junghuhn mendaki pada 1844 hingga periode saya mendaki pada 1990-an sampai 2000-an.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, baru kemudian CF Clignett, pada pendakiannya 18 Oktober 1838, berhasil menggapai puncak Mahameru. Lalu, setelahnya, Junghuhn mengatakan belum ada informasi lain upaya orang-orang untuk mendakinya.
Bergenweelde atau Kemewahan Gunung-Gunung
Orang Eropa lainnya yang pernah mencapai puncak Semeru di masa lalu adalah Mr. C.W. Wormer. Mengikuti jejak Junghuhn – orang yang dikaguminya – antara 1910 – 1925, ia pun mendaki 30 gunung dengan ketinggian di atas 2.000 mdpl di Jawa.
Lereng menuju puncak Mahameru, Gunung Semeru. Foto: Koleksi Tropen Museum, Belanda (1900 - an)
Kemudian, catatan perjalanan pendakiannya ia bukukan dengan judul Bergenweldee atau Kemewahan Gunung-Gunung. Tulisan-tulisannya yang indah dalam bukunya tersebut diterbitkan di Belanda untuk pertama kalinya pada 1928.