Konten dari Pengguna

Nelayan dan Kompleksitas Pengelolaan Perikanan Tangkap Indonesia

Harry Hardiyana
Analis Kebijakan Kelautan dan Perikanan - Pusat Kajian dan Pemberdayaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
27 April 2025 13:28 WIB
·
waktu baca 16 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harry Hardiyana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Cara Pandang Terhadap Perikanan Tangkap
Lautan yang mengisi sekitar 70% wilayah Indonesia merupakan potensi yang perlu dioptimalkan. Sebagai sumber daya common pool resource lautan bukanlah semata-mata proprerti milik bersama yang bebas pemanfaatan. Common pool dapat diartikan memiliki karakter pemanfaatan yang terbatas pada wadah atau ruang yang sangat rentan dipengaruhi oleh faktor eksternalitas. Begitu juga dengan sumber daya perikanan laut, sangat dipengaruhi oleh wadah atau ruang laut sebagai tempat hidup sumber daya ikan yang keberlengsungannya rentan dipengeruhi faktor eksternalitas tersebut.
ADVERTISEMENT
Sumber daya perikanan laut dalam pengelolaannya memerlukan dua pendekatan sekaligus, yang pertama adalah pendekatan wadah atau ruang laut sebagai tempat hidup sumber daya ikan dan pendekatan kedua adalah bagaimana cara mengeksploitasinya. Pendekatan pertama menekankan kepada perlunya memastikan ruang laut menjadi ruang hidup sumber daya ikan yang memadai untuk lestari. Sumber daya ikan sangat bergantung kepada ruang laut atau perairan yang kompatible untuk spawning ground, nursery ground, dan feeding ground, maka pengelolaan ruang laut dan pesisir yang baik dan mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan adalah mutlak hal pertama yang perlu dilakukan. Tantangannya adalah pengelolaan ruang laut merupakan ruang yang ber-arsiran dengan kepentingan multi sektor. Misal sektor industri, sektor energi, sektor transportasi-logistik dan sektor lainnya yang bisa jadi mempersempit atau mempengaruhi wadah atau ruang sumber daya ikan untuk memperbaharui populasinya (save biological limit).
ADVERTISEMENT
Pendekatan kedua yang tidak kalah penting adalah pendekatan bagaimana cara kita mengeksploitasi sumber daya ikan secara lestari, atau kita sebut sebagai pengelolaan perikanan tangkap yang aktor utamanya adalah nelayan. Penekanan nelayan sebagai aktor atau subjek perlu diinsafi dengan seksama, bahwa nelayan bukan objek kebijkan atau regulasi yang hanya harus patuh-tunduk dalam menjalankannya. Nelayan adalah pemeran kunci bagaimana kita mengelola dan meng-eksploitasi sumber daya ikan secara lestari. Bagaimana cara nelayan menangkap ikan, penggunaan alat penangkap dan alat bantunya, waktu penangkapan, jalur dan lokasi penangkapan, serta faktor eksternalitas lainnya yang mempengaruhi nelayan dalam menangkap ikan. Semua itu harus diatur dan harapannya nelayan sebagai pemeran utama secara sadar terdorong untuk menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan yang science based behavior atau paling tidak berdasar pada kearifan lokal yang berorientasi keberlanjutan atau Food and Agriculture Organization (FAO) menyebutnya sebagai Kode Etik Perikanan yang secara normatif sebetulnya sudah diratifikasi kedalam sistem Perundang-undangan kita.
ADVERTISEMENT
Nelayan Sebagai Aktor Utama
Secara budaya nelayan sudah memiliki khazanah kearifan dan pengetahuan lokal bagaimana cara menangkap ikan dan itu di turunkan secara turun temurun. Bahkan sebelum republik ini berdiri dan pemerintah mengatur perikanan tangkap, nelayan sudah mengatur komunitas nya sendiri bagaimana cara menangkap ikan. Masalahnya adalah semakin meningkatnya jumlah kapal dan berkembangnya modifikasi alat penangkapan ikan, muncul rakitan alat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan mendegradasi ekosistem laut. Sebagai contoh, adanya alat penangkapan ikan garok ondol-ondol atau garok teripang di pesisir utara jawa yang digunakan nelayan untuk menangkapan teripang serta ikan yang telah merusak ekosistem dasar perairan. Dimana prinsip dari alat penangkapan ikan ini adalah meng ‘garok’ atau mengeruk dasar perairan sehingga semua biota yang terdapat didasar terangkat--terangkut dan substrat di dasar perairan menjadi rusak. Dahulu alat penangkapan ini digunakan untuk menangkap teripang atau ondol-ondol, namun dengan karakternya yang merusak eksositem, menyebabkan hari ini teripang sulit ditemukan bahkan dinyatakan hampir punah.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan pertanian dimana aktivitas menanam akan timbul akibat memanen, perikanan tangkap adalah aktivitas yang dianggap memanen tanpa perlu menanam. Mamanen ikan atau menangkap ikan dianggap sebagai anugerah Tuhan yang diberikan untuk dieksploitasi. Sehingga pada sebagian nelayan beranggapan bahwa perikanan tangkap anugerah Tuhan yang dapat dieksploitasi dengan sebesar besarnya tanpa pengelolaan dan batasan. Bahkan penulis pernah mendengar dari salah seorang nelayan pernyataan yang kurang lebih seperti ini “Kalau produksi mau tinggi, sebetulnya nelayan ga perlu diatur harus pake alat apa dan menangkap dimana, di bebaskan saja tidak perlu diatur”. Masalahnya adalah sumber daya ikan adalah sumber daya yang memiliki keterbatasan biologi dalam mereproduksi (memperbaharui) populasinya sendiri. Jika laju penangkapan lebih tinggi dibandingkan kemampuan ikan mereproduksi dirinya, maka yang terjadi akan sama seperti ondol-ondol atau teripang.
ADVERTISEMENT
Pengelolaan perikanan tangkap adalah pengelolaan sumber daya yang terbatasi wadah dan sumber dayanya memiliki kemampuan batasan tertentu untuk memperbaharui dirinya sendiri. Pengelolaannya menjadi kompleks dan semakin rumit ketika sumber daya tersebut pada dasarnya tidak terlihat oleh mata kepala langsung (berada di badan air) dan beberapa jenis ikan sifatnya berpindah-pindah (ruaya). Konsekuensi tersebut adalah sulitnya menentukan tingkat potensi dan batasan jumlah tangkapan yang ideal. Semakin kompleks pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia juga dipengaruhi oleh komoditas ikan tangkapan yang beragam (multi spesies), menggunakan berbagai macam alat tangkap dan alat bantu penangkapan ikan (multi fishing gear), memiliki musim dan waktu tertentu dalam penangkapan beberapa spesies, dan memiliki habitat yang beragam dengan karakteristik yang berbeda-beda (multi habitat). Sehingga pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia membutuhan instrumen aturan yang banyak dan pengelolaannya tidak mudah.
ADVERTISEMENT
Pengaturan dan pengelolaan perikanan tangkap yang kompleks tersebut pada akhirnya bertumpu pada bagaimana nelayan mampu mengejawantahkan aturan kedalam aktivitas penangkapan ikan yang berkelanjutan. Jangan sampai aturan yang kompleks tersebut pada dasarnya tidak dipahami oleh nelayan dan implementasi penangkapan ikan yang legal, reported, and regulated hanya menjadi sebuah formalitas. Maka diperlukan strategi untuk menjadikan nelayan tidak hanya sekedar patuh terhadap aturan (objek hukum), namun nelayan harus menjadi subjek dalam pengelolaan dengan memiliki pemahaman, kesadaran dan dorongan sendiri untuk menerapak prinsip-prinsip penangkapan ikan yang berkelanjutan.
Paradigma Perikanan Tangkap Berkelanjutan
Paradigma awal yang berkembang sepanjang sejarah manusia dalam mengeksploitasi laut adalah menganggap bahwa laut sebagai milik bersama, atau dalam doktrin bangsa Romawi dahulu disebut dengan res communis omnium. Doktrin ini menganggap semua orang adalah pemilik sumber daya laut dan bebas untuk mengeksploitasinya. Termasuk dalam penangkapan ikan di laut, hingga bergulirnya revolusi industri dan di era modern penangkapan ikan di laut telah mencapai titik krusial.
ADVERTISEMENT
FAO telah mencatat terdapat peningkatan rata-rata penangkapan ikan laut yang signifikan secara global dari tahun 1950 ke tahun 1980an, atau dalam kurun waktu 30 tahun meningkat dari rata-rata 20 juta ton/tahun ke 80an juta ton/tahun. Capaian produksi perikanan tangkap global ini kemudian mengalami titik paling tinggi pada tahun 2018 sebesar 84,51 juta ton/tahun. Hingga tahun 2022, capaian produksi perikanan tangkap global belum pernah melampaui capaian produksi pada tahun 2018 tersebut.
Tren Penangkapan Ikan Laut Global. Sumber : FAO
Adanya tren stagnasi dan cenderung menurun angka produksi perikanan tangkap laut global ditengah semakin banyaknya jumlah kapal perikanan dan meluasnya area tangkapan menunjukan bahwa sumber daya perikanan memiliki batas limit biologi untuk memperbaharui dirinya sendiri. Bahkan beberapa spesies tertentu disinyalir telah mengalami over fishing dan terancam populasinya.
ADVERTISEMENT
Menghadapi ancaman tersebut dunia telah banyak membuat instrumen konvensi global mulai dari hukum laut internasional tahun 1982, hingga konvensi yang berkaitan dengan perikanan tangkap yang legal, reported, and regulated. Konvensi perikanan tangkap yang dilakukan pada dasarnya merubah paradigma dunia bahwa sumber daya laut merupakan tanggung jawab bersama yang pengelolaannya harus memperhatikan hak dan kewajiban antar negara dan pengelolaannya harus dilakukan dengan prinsip-prinsip berkelanjutan.
Penegasan entitias perikanan tangkap yang legal, reported, and regulated adalah upaya untuk memastikan bahwa seluruh pengelolaan perikanan tangkap dikelola dengan sudut pandang pengendalian. Penjabarannya yaitu harus legal baik secara input maupun secara output. Legal secara input misalnya perlunya pendaftaran kapal perikanan dan perizinan penangkapan ikan pada wilayah tertentu, dan legal output misalnya memastikan tangkapan ikan merupakan spesies dan ukuran yang diperbolehkan. Kemudian reported adalah pengendalian yang memastikan bahwa seluruh aktivitas penangkapan ikan harus terekam dan terlaporkan secara detail mulai dari jumlah tangkapan, jenis spesies tangkapan, waktu dan musim tangkapan, titik koordinat atau lokasi penangkapan, serta data dukung lainnya yang dapat memotret kondisi populasi spesies ikan di wilayah tertentu. Potret dari pelaporan (reported) penangkapan ikan tersebut nantinya dapat dijadikan sebagai dasar dalam menentukan tingkat potensi dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan.
ADVERTISEMENT
Sementara regulated adalah pengaturan yang dilakukan oleh regulator dalam hal ini pemerintah dalam mengatur pengelolaan perikanan tangkap secara holistik. Pengaturan ini dapat meliputi dari pengaturan ukuran kapal perikanan, jalur dan zona penangkapan ikan, penggunaan alat tangkap dan alat bantu penangkapan ikan, spesies yang dilarang, jumlah tangkapan yang diperbolehkan, dan pengaturan lainnya yang menunjukan bahwa pengelolaan perikanan tangkap dikelola melalui sudut pandang pengendalian. Sudut pandang pengendalian ini secara umum telah banyak diulas dan menjadi paradigma perikanan tangkap berkelanjutan dengan memperhatikan keseimbangan 3 aspek, yaitu aspek sosial, ekonomi, dan bio-ekosistem.
Keseimbangan 3 Aspek dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan Sumber Gambar : Pribadi
Pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan memerlukan tiga aspek diatas berjalan secara seimbangan, dimana kepentingan sosial, ekonomi, dan biologi-ekosistem menemukan satu titik pertemuan. Menurut Kusumastanto sebagaiman dikutip dalam Jurnal Kebijakan Indonesia bahwa perikanan yang berkelanjutan bukan semata-mata ditujukan untuk kepentingan kelestarian ikan itu sendiri (as fish) atau keuntungan ekonomi semata (as rents) tapi lebih dari itu adalah untuk keberlanjutan komunitas perikanan (sustainable community) yang ditunjang oleh keberlanjutan institusi (institutional sustainability) yang mencakup kualitas keberlanjutan dari perangkat regulasi, kebijakan dan organisasi untuk mendukung tercapainya keberlanjutan ekologi, ekonomi dan komunitas perikanan.
ADVERTISEMENT
Paradigma Perikanan tangkap berkelanjutan adalah upaya untuk memastikan hadirnya keberlanjutan sumber daya ikan serta terjaganya ekosistem laut yang memberikan keuntungan ekonomi untuk saat ini dan keuntungan ekonomi bagi generasi mendatang (irisan aspek biologi-ekosistem dan ekonomi), namun tetap memperhatikan pemberdayaan nelayan dan masyarakat pesisir agar mandiri dan sejahtera. Jangan sampai pembangunan perikanan tangkap menyisihkan nelayan khususnya nelayan kecil dan masyarakat pesisir dengan proses industrialisasi misalnya tanpa memperhatikan aspek sosial mereka.
Permasalahan dan Arah Kebijakan Perikanan Tangkap Berkelanjutan
Pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia secara yuridis sebetulnya sudah dipayungi oleh berbagai macam instrumen hukum yang cukup holistik. Misal saja pada aspek pengelolaan perikanan diatur dalam Undang Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan yang kemudian direvisi pada Undang Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Pada aspek ekosistem dan ruang laut terdapat Undang Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, pada aspek sosial terdapat Undang Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Sedangkan pada aspek ekonomi Undang Undang Cipta Kerja secara menyueuruh mengatur perizinan berusaha termasuk di dalamnya perizinan berusaha sektor perikanan tangkap.
ADVERTISEMENT
Undang-undang diatas beserta aturan turunnya secara normatif sebetulnya telah meratifikasi berbagai macam konvensi di tingkat global maupun regional berkaitan dengan pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Bahkan pada tahun 2016 Indonesia meratifikasi terkait ketentuan negara pelabuhan yang telah disepakati dalam Forum FAO dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2016 tentang Pengesahan Agreement On Port State Measures To Prevent, Deter, And Eliminate Illegal, Unreported, And Unregulated Fishing (Persetujuan Tentang Ketentuan Negara Pelabuhan Untuk Mencegah, Menghalangi, Dan Memberantas Penangkapan Ikan Yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, Dan Tidak Diatur). Peraturan Pemerintah tersebut semakin mengeaskan komitmen Indonesia dalam penguatan pengelolaan perikanan tangkap legal, reported, and regulated.
Permasalahan
Peraturan yang holistik tidak serta-merta implementasi perikanan tangkap berkelanjutan di Indonesia menjadi mudah. Dengan karakteristik perikanan tangkap yang kompleks sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya seperti perikanan tangkap yang multi spesies, multi alat tangkap dan alat bantu penangkapan ikan, multi habitat, multi stakeholder, musim penangkapan yang berbeda-beda, serta ditambah dengan luasnya wilayah dan keterbatasan sumber daya manusia semakin berkelindan dalam kompleksitas tersebut.
ADVERTISEMENT
Diterapkannya Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang mencoba merubah rezim limited entry (perizinan-input) kepada pengelolaan penangkapan ikan berbasis quota tangkapan (output) dan zona wilayah penangkapan ikan menjadikan pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia semakin menantang. Sebetulnya penerapan fish quota management system (QMS) di beberapa negara di dunia sudah diterapkan sejak lama misal saja di Selandia Baru sejak tahun 1980an, di Islandia sudah diberlakukan Individual Transferable Quota (ITQ) sejak tahun 1975, dan masih banyak lagi seperti yang paling terakhir bagaimana Tiongkok menerapkan pengelolaan perikanan tangkap berbasis kuota pada tahun 1998.
Tantangan pengelolaan penangkapan ikan terukur di Indonesia adalah pada akuntabilitas pelaporan jumlah tangkapan yang sangat bergantung pada integritas dan kemampuan nelayan memahami instrumen pelaporan. Selain itu diperlukan teknologi terkait monitoring kapal perikanan yang beroperasi menangkap ikan dan teknologi pelaporan tangkapan ikan yang memadai dan harus terus di kembangkan (VMS dan e-logbook) agar mudah dipahami dan digunakan oleh nelayan. Kuncinya adalah mendorong nelayan untuk menerapkan penangkapan ikan terukur secara akuntabel dan berintegritas. Sementara adanya protes di bebebrapa wilayah dimana nelayan menolak memasang teknologi monitoring kapal terutama kapal perizinan daerah yang bermigrasi kepada perizinan pusat meng-indikasikan bahwan kebijakan penangkapan ikan terukur belum masif dipahami dan dianggap memberatkan bagi nelayan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kunci dari penerapan penangkapan ikan terukur dengan diberlakukannya kuota penangkapan adalah terkait transparansi pemberian kuota kepada pelaku usaha. Transparansi harapannya dapat menghadirkan keadilan dan ketepatan dalam memberikan kuota kepada setiap pelaku usaha. Penerapan kuota juga harus mengakomodir kepentingan dan keberlangsungan nelayan kecil dan tradisional disetiap zona yang telah di tetapkan.
Melihat bagaimana transformasi kebijakan penerapan penangkapanan ikan berbasis kuota di berbagai negara, diperlukan transformasi yang holitisk dan masif terutama bagaimana mentransformasi dan memberdayakan nelayan dalam mengimplementasikan penangkapan ikan berbasis kuota tersebut. Sekali lagi, nelayan harus dijadikan sebagai subjek utama dalam pengelolaan perikanan tangkap. Jangan sampai kebijakan publik tidak memperhatikan dampak kepada entitas kelompok masyarakat yang paling rentan dalam hal ini nelayan. Setiap perubahan kebijakan pasti memiliki ekses dan adaptasi yang bisa jadi bagi nelayan memiliki dampak sosial yang merugikan seperti berkurangnya pendapatan, semakin rumit dan detailnya pelaporan penangkapan yang menyulitkan, dan dampak sosial lain yang perlu untuk dimitigasi dan ditanggulangi.
ADVERTISEMENT
Kita meyakini bahwan pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan adalah langkah terbaik dengan memperhatikan aspek sosial, ekonomi, dan biologi-ekosistem. Namun diperlukan pemberdayaan, pemberian pemahaman dan dorongan untuk menumbuhkan kesadaran kepada nelayan untuk mau terlibat dalam implementasi perikanan tangkap yang berkelanjutan. Maka diperlukan arah kebijakan yang menuntun implementasi perikanan tangkap yang hari ini dirasa masih sporadis.
Arah Kebijakan : Fase Orbir Pengelolaan Perikanan Tangkap
Kecenderungan penerapan kebijakan publik yang sporadis bisa diakibatkan berbagai faktor diantaranya adalah keterbatasan anggaran, yang menyulitkan pemerintah menerapkan kebijakan dalam satu tarikan nafas yang ideal (menyelesaikan masalah secara holistik). Keterbatasan anggaran pada akhirnya menyebabkan kecenderungan pemerintah menerapkan kebijakan untuk mengakomodir semua urusan/program/kegiatan dengan proporsi yang sebetulnya tidak menyelesaikan permasalahan secara utuh.
ADVERTISEMENT
Keterbatasan anggaran dan kemampuan pemerintah untuk menyelesikan permasalahan secara utuh tersebut, menyebabkan diperlukannya panduan dan arah bagaimana melihat suatu kebijakan menggunakan kerangka kepentingan dan kemendesakan. Dalam pengelolaan perikanan tangkap kerangka ini saya sebut sebagai orbit pengelolaan perikanan tangkap, dimana orbit ini merupakan fase yang diperlukan untuk melihat aspek mana yang lebih penting dan mendesak dilakukan pertama kali. Akan tetapi orbit fase ini bukanlah tahapan yang ketika fase pertama dilakukan, maka di fase kedua fase pertama di tinggalkan. Fase orbit ini adalah fase yang dilakukan secara simultan dimana fase berikutnya akan menambah penguatan fase sebelumnya dengan tingkat kemendesakan dan kepentingan terlebih dahulu berada pada orbit yang paling dalam (sebagaimana gambar).
ADVERTISEMENT
Fase Orbit Pengelolaan Perikanan Tangkap. Sumber Gambar : Pribadi
Fase orbit pengelolaan perikanan tangkap ini pada orbit pertama atau yang paling dalam adalah terciptanya ekosistem yang lestari. Karena bagaimanapun infrastruktur dan aturan pengelolaan yang baik, tanpa adanya ekosistem yang lestari tidak akan menghasilkan keuntungan ekonomi dan sosial. Sebaliknya, jika ekosistem berada dalam kondisi baik dan sumber daya melimpah maka aktivitas sosial akan hidup dan ekonomi akan tumbuh dengan pemanfaatan sumber daya yang dihasilkan.
Pada fase orbit yang kedua, maka kita akan berbicara pada aspek sosial dengan perlunya perlindungan dan pemberdayaan nelayan. Fase orbit kedua ini tidak boleh menggerus atau mendegradasi fase orbit pertama. Akan tetapi orbit kedua dilakukan secara simultan dengan orbit pertama dengan tujuan perlindungan dan pemberdayaan nelayan tersebut dengan tetap menekankan kelestarian ekosistem laut.
ADVERTISEMENT
Penempatan perlindungan dan pemberdayaan nelayan pada fase orbit kedua adalah dikarenakan pengelolaan perikanan tangkap tidak dapat terlepas dari peran nelayan sebagai subjek. Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap setelah menegaskan kelestarian ekosistem, harus membangun sumber daya manusia dalam hal ini nelayan yang berdaya dan terlindungi hak-hak nya. Paling tidak, dalam UU No 7/2016 disebutkan tujuan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam bertujuan untuk menyediakan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha; memberikan kepastian usaha yang berkelanjutan; meningkatkan kemampuan dan kapasitas Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam; menguatkan kelembagaan dalam mengelola sumber daya Ikan dan sumber daya kelautan serta dalam menjalankan usaha yang mandiri, produktif, maju, modern, dan berkelanjutan; dan mengembangkan prinsip kelestarian lingkungan; menumbuhkembangkan sistem dan kelembagaan pembiayaan yang melayani kepentingan usaha; melindungi dari risiko bencana alam, perubahan iklim, serta pencemaran; dan memberikan jaminan keamanan dan keselamatan serta bantuan hukum.
ADVERTISEMENT
Jika melihat penjabaran diatas, maka sebetulnya fase kedua perlindungan dan pemberdayaan nelayan adalah fase yang menguatkan fase pertama. Dimana nelayan diberikan kemampuan, keberdayaan dan kesadaran untuk mandiri dan berusaha dengan menerapkan asas keberlanjutan yang mendorong eksosistem tetap lestari.
Fase ketiga dalam orbit pengelolaan perikanan tangkap adalah perlunya kebijakan untuk mendorong pembangunan infrastruktur pelayanan publik. Fase ini juga merupakan fase yang bertujuan untuk menguatkan fase orbit pertama dan kedua. Dengan adanya infrastruktur pelayanan yang baik dan nelayan sudah berdaya dengan ekosistem yang lestari harapannya dapat meningkatkan produktivitas nelayan. Namun misal kita melakukan analogi terbalik, kita menjalankan kebijakan dengan membangun infrastruktur terlebih dahulu dengan kondisi nelayan yang tidak berdaya saing dan ekosistem yang terancam, maka yang terjadi adalah kemubaziran pembangunan.
ADVERTISEMENT
Fase orbit ke-empat dalam pengelolaan kebijakan perikanan tangkap adalah pengawasan dan penegakan hukum. Sama halnya dengan fase sebelumnya, fase orbit ini harus dilakukan dalam rangka menguatkan implementasi kebijakan di fase sebelumnya. Jika kita melakukan logika terbalik, misal saja pemerintah tidak melakukan perlindungan dan pemberdayaan kepada nelayan, ekosistem terancam, dan pemerintah tidak memberikan infrastruktur pelayanan publik yang memadai, bisa sangat mungkin yang terjadi adalah ketidak patuhan nelayan/pelaku usaha dalam setiap kebijakan dan peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah. Maka setiap fase orbit harus di dilakukan secara simultan dan saling menguatkan. Sehingga terjadi kepatuhan dan kebijakan yang digulirkan pemerintah dapat di implementasikan dengan baik.
Fase kelima harapannya dapat menjadi fase yang mencerminkan keberlanjutan sektor perikanan tangkap. Dimana sektor perikanan tangkap dapat memberikan keuntungan ekonomi yang berkelanjutan dengan memberikan kesejahteraan kepada nelayan, pendapatan kepada negara, dan berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan-pembangunan.
ADVERTISEMENT
Catatan Akhir : Alam dan Nelayan Kecil Ter-Alienasi
Melihat studi kasus pada sektor agraria, dimana alih fungsi lahan menjadi salah satu persoalan utama, yaitu Petani tidak mendapatkan perlindungan untuk akses kepada lahan. Maka pada sektor perikanan tangkap nelayan harus mendapatkan perlindungan (Sebagaimana UU 7/2016) untuk pemanfaatan ruang laut. Jika kita melihat pada fase orbit diatas, biasanya nelayan dan ekosistem menjadi elemen yang tersisihkan dalam pembangunan, sebagai bagian elemen paling rentan. Eksositem atau alam dan nelayan jangan sampai ter-alienasi atau tersisihkan dan asing dikarenakan pemanfaatan ruang laut dan pembangunan mendegradasi mereka.
Disclaimer : Tulisan ini murni merupakan opini pribadi penulis, tidak mewakili instansi profesi penulis
Sumber Rujukan :
1. Banon,. Dkk. 2011. Upaya-Upaya Pengelolaan Sumber Daya Ikan Yang Berkelanjutan Di Indonesia. J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2
ADVERTISEMENT
2. Trenggono. S.W., 2023. Penangkapan Ikan Terukur Berbasis Kuota Untuk Keberlanjutan Sumber Daya Perikanan Di Indonesia. Jurnal Kelautan dan Perikanan Terapan, Edisi Khusus 2023, 1-8
3. Adjiem. M.A. 2023. Tantangan Penerapan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur. Vol. XV, No. 10/II/Pusaka/Mei/2023
4. Buku Ajar Hukum Laut Unversitas Jenderal Soedirman
5. https://openknowledge.fao.org/server/api/core/bitstreams/9df19f53-b931-4d04-acd3-58a71c6b1a5b/content/sofia/2022/capture-fisheries-production.html