Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Ironi Pembentukan Undang-Undang
6 Juni 2020 12:27 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Harry Setya Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam dua tahun terakhir, proses legislasi di negara kita terlihat semakin menjauh dari apa yang seharusnya dilakukan oleh para pembuat undang-undang. Keberadaan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) yang memuat cukup banyak kaidah formil dan materil pun, pada akhirnya terkesan ada namun seolah-olah tidak ada. Hal ini pada akhirnya menjadi sebuah ironi dalam pembentukan undang-undang dan membuat banyak dari kita juga bertanya tentang ke mana sesungguhnya arah politik hukum pembentukan perundang-undangan saat ini?
ADVERTISEMENT
Jika kita melihat secara cermat UU No. 12 Tahun 2011, dapat diketahui bahwa terdapat setidaknya empat arah politik hukum pembentukan perundang-undangan di Indonesia. Pertama, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah memperhatikan kaidah-kaidah formil dalam pembentukannya. Kaidah formil sebagaimana dimaksud di antaranya memiliki kejelasan tujuan, berdayaguna, dan berhasil guna bagi rakyat, serta partisipatif dan transparan.
Kedua, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah memperhatikan kaidah-kaidah materil dalam materi muatannya. Kaidah materil sebagaimana dimaksud di antaranya berkemanusiaan, berkeadilan, dan berkepastian hukum.
Ketiga, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah dilakukan dengan basis kajian yang dapat dipertanggungjawaban.
Keempat, bahwa apabila proses dan materi muatan dari suatu peraturan perundang-undangan dinilai cacat prosedur maupun cacat materil, terdapat mekanisme hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak yang dirugikan, baik melalui legislatif review, eksekutif review, maupun yudisial review.
ADVERTISEMENT
Namun sungguh disesalkan. Hadirnya beberapa UU kontroversial maupun beberapa RUU lainnya yang masih dalam proses pembahasan menunjukkan bahwa para pembentuk undang-undang saat ini sedang tidak memposisikan dirinya dengan baik sebagai penyelenggara kekuasaan negara di bidang pembentukan undang-undang.
Pertama, soal RUU KPK yang telah sah menjadi UU No. 19 Tahun 2019 dan kita tahu UU tersebut kini masih dalam proses uji formil dan materil di MK. Dalam prosesnya, publik terlihat begitu mengecam keras perubahan UU KPK. Hal ini dikarenakan perubahan dilakukan dengan materi perubahan yang justru bertendensi pada pelemahan KPK. Tentu hal ini sangat disayangkan saat data menunjukkan bahwa terjadi peningkatan Indeks Persepsi Korupsi dari tahun 2018 yang sebelumnya berada pada angka 38 menjadi 40 di tahun 2019. Tidak hanya itu, proses perubahannya pun dinilai cacat prosedur karena melanggar Pasal 5 huruf e, Pasal 5 huruf g, Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (3), Pasal 88, serta Pasal 89 UU P3 jo Pasal 163 ayat (2), Pasal 173 ayat (1) UU MD3.
ADVERTISEMENT
Kedua, soal RUU KUHP. Meskipun pemerintah dan DPR mengambil sikap untuk menunda pengesahan RUU tersebut, namun desakan dari mayoritas masyarakat menunjukkan bahwa ada persoalan serius dalam proses dan materi pembentukan RUU KUHP. Beberapa pasal kontroversial dalam RUU KUHP dikhawatirkan pada akhirnya akan menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan dan kesewenang-wenangan, hukum akan dirasakan terlalu membatasi kebebasan rakyat, rakyat menjadi tidak bahagia karna hukum mencampuri aspek-aspek yang kecil dan sangat pribadi dalam kehidupan manusia, hingga hukum pada akhirnya dijadikan sebagai alat penekan dengan reformasi dan supremasi hukum sebagai alat pembenar.
Ketiga, soal RUU Cipta Kerja yang dinilai bermasalah baik secara formil maupun materil. Dalam aspek formil, RUU Cipta Kerja bermasalah karna disusun dengan menggunakan konsep omnibus law dengan menabrak beberapa ketentuan yang terdapat dalam UU P3, sebut saja soal asas kejelasan tujuan, kesesuaian jenis dan materi, kejelasan rumusan maupun keterbukaan proses perumusan dan pembahasannya. Dalam aspek materil, RUU Cipta Kerja dapat dinilai akan mereduksi hak otonomi seluas-luasnya yang di miliki oleh daerah sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, dinilai akan mereduksi prinsip perekonomian yang berkelanjutan berwawasan lingkungan sebagaimana amanat Pasal 28 H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, dan dapat dinilai akan mereduksi hak setiap orang untuk bekerja dan mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana amanat Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Tidak hanya itu, pada aspek materil lainnya RUU Cipta Kerja juga dapat dinilai tidak sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan sebagaimana amanat Pasal 6 UU P3.
ADVERTISEMENT
Keempat, RUU Minerba yang pada beberapa waktu lalu sah menjadi undang-undang. Layaknya RUU Cipta Kerja, RUU Minerba yang telah sah menjadi UU juga dinilai memiliki problem formil dan materil. RUU Minerba memiliki problem formil karna proses perubahannya tidak memenuhi kriteria carry over sebagaimana amanat Pasal 71A UU P3, tidak memperhatikan keterlibatan DPD sebagaimana amanat Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945 dan Putusan MK No. 92/PUU-X/2012, serta mengabaikan prinsip keterbukaan sebagaimana amanat Pasal 5 UU P3. Dalam aspek materil, beberapa norma yang terdapat dalam UU Minerba dinilai menabrak ketentuan yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945. Sebut saja norma yang mengatur soal perpanjangan KK dan PKP2B menjadi IUPK dinilai tidak sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (2) dan (3) serta norma mengenai perizinan usaha minerba sentralistik yang dinilai kontraproduktif dengan amanat Pasal 18A UUD NRI Tahun 1945.
ADVERTISEMENT
Harry Setya Nugraha, S.H., M.H (Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman)