Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Menyoal Pilkada di Tengah Pandemi
11 Juni 2020 17:03 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Harry Setya Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah sebelumnya dijawab melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2020, perdebatan mengenai tahapan Pilkada Serentak tahun 2020 kembali hangat diperbincangkan. Hal ini didasari atas kondisi pandemi COVID-19 yang belum menunjukkan gejala membaik di Indonesia. Bahkan pertambahan kasus positif pada skala nasional disetiap harinya menunjukkan angka-angka yang mengejutkan. Sementara di satu sisi, tahapan Pilkada Serentak tahun 2020 yang baru akan mulai dilaksanakan pada 15 Juni 2020 mendatang.
ADVERTISEMENT
Tidak dapat dipungkiri bahwa semua negara dibuat repot dengan pandemi yang kini terjadi. Tidak terkecuali Indonesia, dampak yang ditimbulkan dari hal tersebut tidak saja mengakibatkan keadaan darurat pada bidang kesehatan masyarakat, tetapi juga pada bidang ekonomi. Makin kesini, dampak dari keadaan yang demikian pun terasa pada bidang sosial-politik, khususnya pada penyelenggaraan Pilkada Serentak tahun 2020 yang akan dilaksanakan.
Jika kita buka Perppu Nomor 2 Tahun 2020, dapat terlihat bahwa pada pokoknya politik hukum negara untuk menunda pelaksanaan Pilkada Serentak tahun 2020 adalah untuk menjaga agar Pilkada Serentak tahun 2020 tetap berlangsung secara demokratis dan berkualitas serta untuk menjaga stabilitas politik dalam negeri.
Benar saja keputusan yang diambil negara untuk menunda pelaksanaan Pilkada Serentak tahun 2020 pada bulan Desember nanti. Hanya saja perlu diingat bahwa skenario untuk menunda Pilkada Serentak tahun 2020 hingga bulan Desember diputus dengan salah satu pertimbangan dan asumsi bahwa keadaan sebagai dampak covid-19 akan membaik pada bulan Juni, sehingga tahapan Pilkada dapat dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
Namun pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah keputusan itu masih dianggap tepat jika fakta menunjukkan bahwa keadaan justru belum menunjukkan membaik hingga saat ini?
Berbicara mengenai politik hukum penundaan Pilkada Serentak tahun 2020 melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2020, pertama soal demokratisasi Pilkada. Meskipun Pilkada merupakan wujud nyata implementasi demokrasi di level daerah, faktanya tidak selamanya pemilihan bersifat demokratis. Oleh karenanya, Pilkada sebagai salah satu aspek demokrasi juga harus diselenggarakan secara demokratis.
Pilkada yang demokratis bukan hanya sekadar lambang, tetapi Pilkada yang demokratis haruslah kompetitif, berkala, inklusif dan definitif. Tidak dapat dipungkiri, mewujudkan Pilkada yang demokratis tentu bukan perkara yang sederhana.
Dibutuhkan tidak saja seperangkat instrumen regulasi yang tepat agar dapat mendukung terselenggaranya Pilkada yang demokratis, namun perilaku peserta dan penyelenggara Pilkada pun juga memberi banyak sumbangsih untuk mewujudkan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Di sinilah kita dapat mengatakan bahwa keberhasilan Pilkada Serentak tahun 2020 demokratis tidak saja bergantung pada institusi demokrasi, tetapi juga bergantung pada aktor demokrasi serta relasi keduanya (baca: institusi dan aktor demokrasi).
Kedua soal kualitas Pilkada. Banyak pendapat berkembang soal ukuran dari Pilkada yang berkualitas. Tetapi setidaknya kita dapat menilai ukuran kualitas pilkada melalui: 1) kualitas administratif proses elektoral (soal ketepatan jadwal, kesiapan regulasi, anggaran dan daftar pemilih); 2) kualitas politis proses elektoral (soal kemandirian dan legitimasi penyelenggara dapat dijamin dan minimnya intensitas konflik); dan 3) kualitas produk Pilkada (soal pemimpin yang dihasilkan dari penyelenggaraan Pilkada).
Ketiga soal stabilitas politik dalam negeri. Mengutip pendapat Harold Crouch, stabilitas politik ditandai dengan dua hal: 1) adanya pemerintahan yang stabil dalam arti dapat memerintah bertahun-tahun atau dapat menjalankan programnya sesuai dengan batas-batas yang telah ditentukan; 2) sistem pemerintahan stabil, dalam arti sistem tersebut mampu menerima perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dengan tidak mengubah sistem pemerintahan yang ada. Jika dikontekskan dengan Pilkada tahun 2020, tentu hal ini berkaitan dengan upaya menghindari rechstvacuum atau kekosongan jabatan Kepala Daerah yang segera akan berakhir.
ADVERTISEMENT
Terhadap ketiga point yang penulis uraikan di atas, harus diakui bahwa dalam keadaan normal sekalipun semua unsur-unsur untuk menjadikan Pilkada berjalan secara demokratis, berkualitas dan terwujudnya stabilitas politik nasional adalah hal yang sangat sulit untuk dipenuhi (meskipun bukan tidak mungkin).
Apalagi jika negara memaksakan untuk tetap melaksanakannya dalam keadaan yang bisa dinilai tidak normal (abnormal). Belum lagi negara akan dihadapkan dengan risiko-risiko kesehatan serta partisipasi pemilih yang bukan tidak mungkin akan menurun dari tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini justru akan membuat pelaksanaan Pilkada hanya bersifat seremonial atau bahkan pada akhirnya tidak legitimate. Jika ini terjadi, tentu akan menjadi preseden buruk dalam sejarah penyelenggaraan Pilkada di negara Indonesia.
Faktor-faktor inilah yang menurut hemat penulis membuat negara harus berfikir ulang untuk kembali menunda pelaksanaan Pilkada. Terlebih peluang untuk kembali menunda pelaksanaan Pilkada begitu terbuka lebar berdasar instrumen hukum yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Pasal 21A ayat (3) Perppu Nomor 2 Tahun 2020 menegaskan bahwa “Dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122A”.
Lebih lanjut penjelasan Pasal a quo menjelaskan bahwa “Pemungutan suara serentak pada bulan Desember 2O2O ditunda dan dijadwalkan kembali apabila tidak dapat dilaksanakan karena bencana nasional pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) belum berakhir”.
Harry Setya Nugraha, S.H., M.H (Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman)