RUU HIP dalam Optik Perundang-undangan

Harry Setya Nugraha
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Konten dari Pengguna
30 Juni 2020 8:37 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harry Setya Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Gedung DPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gedung DPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hingga hari ini, konfigurasi politik yang terjadi di Senayan (baca: gedung DPR) tidak hentinya menimbulkan kegaduhan publik. Setelah sebelumnya RUU Cipta Kerja, dan pengesahan terhadap perubahan UU Minerba, kini RUU HIP (baca: Haluan Ideologi Pancasila) turut menjadi perbincangan hangat tidak saja di kalangan politisi, dan akademisi, tetapi juga hangat menjadi perbincangan oleh gerakan-gerakan atau organisasi keagamaan yang turut andil dalam pembangunan negeri. Hal ini dapat terlihat dengan hadirnya pernyataan sikap oleh berbagai organisasi keagamaan terkait RUU a quo.
ADVERTISEMENT
Oleh sebagian kelompok agama, RUU ini dinilai akan membuka ruang tumbuh dan berkembangnya paham-paham terlarang dinegara Indonesia layaknya komunisme, marxisme dan lain sebagainya. Namun terlepas dari pendapat yang berkembang tersebut, ada apa sesungguhnya dengan RUU HIP hingga pada akhirnya mendapat penolakan publik?
Jika kita buka lembaran RUU HIP, ada semangat positif memang yang coba dibangun oleh para pengusul. Bagi pengusul, perlu adanya kerangka landasan berfikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat dalam bentuk Haluan Ideologi Negara dengan tujuan untuk mencapai tujuan bernegara. Hanya saja cukup disayangkan ketika semangat itu tidak didukung dengan pilihan politik yang tepat. Pengusul justru memilih langkah untuk menginternalisasikan semangat itu dalam suatu undang-undang yang justru menuai berbagai polemik.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada 5 catatan penulis soal RUU HIP jika kita melihatnya dalam optik ilmu perundang-undangan. Pertama, materi muatan RUU HIP sesungguhnya tidak memenuhi prasyarat materi muatan undang-undang sebagaimana amanat Pasal 10 ayat (1) UU P3 (baca: Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Jikapun pengusul berdalih bahwa RUU HIP hadir sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat, faktanya adalah, 3 dari 4 identifikasi masalah yang diangkat dalam naskah akademik RUU HIP justru menonjolkan kegagalan Penyelenggara Negara dalam menyusun, merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan pembangunan nasional. Tidak tepat juga rasanya juga persoalan ini justru dijawab dengan suatu undang-undang.
Kedua, penyusunan RUU HIP mengabaikan 2 asas penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana amanat Pasal 5 UU P3. Asas sebagaimana dimaksud yakni asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; serta asas kejelasan rumusan. Asas-asas tersebut adalah 2 dari 7 asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak boleh dikesampingkan dalam pembentukan produk peraturan perundang-undangan karna sifatnya yang komulatif. Pengabaian terhadap 2 asas tersebut dapat dilihat dengan materi muatan RUU HIP yang justru kental dengan muatan Ketetapan MPR. Tidak hanya itu, materinya pun bersifat abstrak, multitafsir, memuat norma-norma yang bersifat tunggal, hingga dibeberapa pasal memuat penyataan-pernyataan politik.
ADVERTISEMENT
Ketiga, RUU HIP berpotensi mendegradasi kedudukan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm. Dalam studi ilmu perundang-undangan, kita tentu mengenal die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen yang dikembangkan oleh Hans Nawiasky. Teori ini merupakan pengembangan dari Stufentheorie yang sebelumnya dikemukakan oleh Hans Kelsen. Oleh Nawiasky, dikatakan bahwa selain norma itu berjenjang sesungguhnya norma itu juga berkelompok. Pengelompokan itu mulai dari Staatsfundamentalnorm, Staatsgrundgesetz, Formell Gesetz, hingga Verordnung & Autonome Satzung yang keberlakuannya secara hierarkis. Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, Pancasila sebagai Philosofische Grondslag sesungguhnya menempatkan dirinya dalam kelompok Staatsfundamentalnorm. Maka praktis kedudukanya sebagai sumber dari segala sumber hukum di negara Indonesia. Apabila kemudian nanti nila-nilai Pancasila itu diterjemahkan lebih lanjut dalam suatu UU, maka bukan tidak mungkin Pancasila akan mendudukan dirinya pada dua kedudukan sekaligus yakni Staatsfundamentalnorm dan Formell Gesetz yang pada akhirnya selain mendegradasi kedudukan Pancasila sebagaimana dikatakan diawal, tetapi juga mengganggu sistem pengujian norma di negara ini.
ADVERTISEMENT
Keempat, RUU HIP membuka ruang hadirnya penafsiran-penafsiran politik terhadap Pancasila atau setidak-tidaknya membuka ruang Pancasila ditafsirkan sesuai pesanan dan selera pembentuk UU. Hal ini tidak dapat dinafikkan karna pada dasarnya UU adalah produk politik. Faktanya, hadir norma dalam RUU HIP yang bertentangan dengan konsensus kenegaraan sebagaimana termuat dalam Pasal 7, hadirnya norma yang bertentangan UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana termuat dalam Pasal 24 huruf c, hadirnya norma yang bertentangan dengan semangat konstitusionalisme sebagaimana termuat dalam pasal 44 ayat (1), hingga hadirnya norma yang kontradiktif dengan peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2) hingga Pasal 55 RUU HIP.
Kelima, RUU HIP bukan cara yang tepat untuk membumikan Pancasila. Dalam berbagai kesempatan, tidak jarang pengusul menyampaikan bahwa hadirnya RUU ini juga merupakan cara untuk membumikan Pancasila. Terhadap pendapat tersebut, tegas penulis katakan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa RUU HIP merupakan cara untuk membumikan Pancasila adalah pendapat yang tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan. Hal ini karena nilai instrumental sebagai pengejawantahan Pancasila sebagai sebuah nilai dasar telah diperankan oleh pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945.
ADVERTISEMENT
RUU HIP: Mau dibawa kemana?
Menyikapi kegaduhan yang hadir ditengah-tengah publik, beberapa waktu lalu Pemerintah melalui Menkopolhukam dan Menkumham mengambil sikap untuk menunda pembahasan RUU a quo. DPR pun mengamini permintaan tersebut. Penulis mengapresiasi sikap DPR walau sesungguhnya tidak ada yang spesial dari sikap tersebut. Hal ini karna pada dasarnya pembahasan tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa adanya utusan Pemerintah.
ADVERTISEMENT
Harry Setya Nugraha, S.H., M.H
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman)