Ketika Kaum Gondrong Menuntut Kesetaraan

Harry Siswoyo
Menulis, pecandu kopi hitam dan penyuka gunung, pantai dan hutan
Konten dari Pengguna
13 Juni 2019 2:03 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harry Siswoyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kalau saja para mahasiswa yang saya temui ini hidup di era tahun 1970-an, mungkin malam itu kami akan digelandang polisi atau tentara. Terbayang, mereka akan dibariskan berjejer di jalanan dalam kondisi setengah telanjang, persis di depan orang banyak.
ADVERTISEMENT
Lalu diinterogasi dengan bengis di depan mesin tik tua sembari menyebutkan nama lengkap, anaknya siapa, alamat di mana, dan lainnya. Barulah setelah itu mereka 'dijagal' massal dengan gunting untuk digunduli.
Komunitas mahasiswa gondrong di Bengkulu/Harry Siswoyo
Ya, rela atau tidak, mahkota yang dulu pernah dipersembahkan Arung Palakka pada 1672 usai kemenangannya di Makassar lewat ritual khusus itu akan dibabat habis tanpa ampun.
Menentang, malah bikin tambah runyam. Sebab pilihannya harus siap-siap dilabeli subversif, pemberontak, atau PKI, dan mungkin sampai mati tidak akan bisa memiliki KTP, SIM, dan berbagai hak sebagai warga negara lainnya. Singkatnya, tamatlah sudah masa depan orang-orang ini. Ngeri.

Komitmen Kaum Gondrong

Sebagian pendiri Komunitas Mahasiswa Gondrong Pertanian Universitas Bengkulu (KMGP)/Harry Siswoyo
"Sampai hari ini orang gondrong masih sering dicap kriminal," ujar Kharisma Kareza yang kini menjadi nakhoda dari Komunitas Mahasiswa Gondrong Pertanian (KMGP) di Universitas Bengkulu. Di 'kapalnya'-lah kini ada 16 laki-laki yang sedang sama-sama berjuang mengubah pandangan orang tentang orang gondrong.
ADVERTISEMENT
Kawanan pemuja rambut panjang ini resmi mengibarkan panjinya sejak 23 Oktober 2018. Ihwal pendiriannya sederhana saja, yakni mengubah persepsi publik tentang gondrong.
Karena itu, bersama pendiriannya, mereka juga merumuskan anggaran dasar organisasi, termasuk juga membuat logo, bendera, dan kaos khusus anggota. Bahkan sebagai perwujudan untuk mengubah citra gondrong, KMGP telah beberapa kali menggelar aksi sosial.
Komunitas gondrong di Bengkulu menggelar penggalangan dana untuk korban banjir/Harry Siswoyo
"Kami ingin buktikan kepada masyarakat bahwa gondrong itu tak seburuk yang dikira," tambah Adetya Bayu Kurniawan bersemangat sembari mengusap rambut keritingnya yang mengembang usai kuncirnya dilepas.
Dan mengenai pendanaan organisasi, KMGP mengaku masih mengandalkan urunan anggota. Meski memang sebelumnya telah diatur mengenai uang kas sebesar Rp 5.000 per orang setiap pekan, sebagai bantuan pendanaan organisasi. Namun, masih belum berjalan mulus.
ADVERTISEMENT
"Kami macam (seperti) emak-emak arisan jadinya karena masalah uang kas. Makanya, urunannya dadakan saja kalau ada kegiatan," ujar Adetya yang disambut tawaku dan pentolan KMGP lainnya.

Hikayat Gondrong

Kumpulan mahasiswa gondrong di Universitas Bengkulu berkumpul di depan rektorat kampus/Harry Siswoyo
Nun jauh sebelum lahir KMGP, atau tepatnya lebih dari setengah abad lalu. Negeri ini pernah punya masalah serius dengan kaum gondrong. Bahkan saking bencinya dengan lelaki yang memelihara rambut, pemerintah sampai memburu mereka dan melabelinya dengan hal-hal yang berbau negatif.
Presiden Sukarno misalnya. Ia pernah menyebut gondrong itu adalah bagian dari hegemoni budaya kaum imperialis-kapitalis. "Kontra revolusioner," demikian kira-kira ucap Sukarno saat itu, tepat di kala The Beatles tengah digandrungi dan fenomena kaum Hipies Eropa mulai meruyak di beberapa negara.
Yang lebih kusutnya lagi adalah di era Presiden Soeharto. Rezim ini bahkan sampai mengaitkan gondrong sebagai perwujudan dari orang yang melawan pemerintahannya.
ADVERTISEMENT
Itu bermula dari ulah Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro yang menerbitkan instruksi tertulis agar melarang laki-laki berambut panjang bagi keluarga ABRI serta karyawan sipilnya.
Oleh bedindenya, titah itu malah salah kaprah, sehingga menyasar siapa pun yang justru tak terpaut dengan ABRI. Itulah yang terjadi di Sumatera Utara pada tahun 1973. Di mana gubernurnya bahkan sampai membentuk Bakorperagon, singkatan dari Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong.
"Orde Baru membuat stigma negatif yang melekat di kaum gondrong bertambah parah," tulis Yudhistira seperti dikutip dalam bukunya, Dilarang Gondrong (2010). Pria ini serius membahas gondrong dalam skripsinya, dan kini fenomenal karena banyak menjadi rujukan bagaimana perlakuan orde baru terhadap mereka yang berambut panjang.
Sebuah pemberitahuan 'larangan' berambut gondrong di Indonesia beberapa tahun lalu/net
Sejak itulah, kebencian akan gondrong itu akhirnya bak menjadi sebuah izin bagi aparat untuk memburu anak muda yang kedapatan berambut panjang dengan menggelar razia di jalanan. Orang-orang gondrong akan ditangkapi, digunduli di depan umum dan pastinya akan masuk dalam daftar orang-orang yang dalam pengawasan.
ADVERTISEMENT
Termasuk pula mereka akhirnya dianggap haram untuk membuat KTP, SIM, dan Surat Keterangan Bebas G30 S PKI. "Siapa pun yang punya rambut gondrong akan kena gunting, denda, dan lembaga publik menolak melayani mereka," kata Yudhistira lagi dalam bukunya.
Kebencian tentang gondrong itu pun akhirnya meluas dan menjejak di kepala siapa pun. Termasuklah hingga kini masih melekat, meski negara ini telah melewati beberapa fase kesadaran, dan kini menjadi salah satu alasan lahirnya KMGP.

Belajar Sabar

Aksi sosial yang digelar oleh komunitas gondrong di Bengkulu beberapa waktu lalu/Harry Siswoyo
"Sejak jadi gondrong, kesabaran saya tambah terlatih," celetuk Darmis Putra di seberang meja. Di luar tempat kami berkumpul, hujan masih mengamuk. Kelak muntahan air inilah yang menjadi bencana besar di Bengkulu yang membuat 12 ribu orang mengungsi dan lebih dari 24 orang meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
"Maksudnya?" tanya saya mencoba mencerna kalimat Darmis. "Gondrong itu kan sering diejek, diomelin, disindir-sindir. Jadi kita mesti punya ilmu sabar," kata Darmis sembari terkekeh lalu diaminkan yang lain.
Mayoritas pendiri KMGP memang memiliki banyak cerita berbeda mengapa memilih gondrong. Ada yang karena memang keinginan sejak lepas SMA, ada juga yang termotivasi orang tua mereka sebelumnya, dan ada juga yang sekadar ingin tampil beda.
"Kalau saya lebih kepada kebebasan memiliki hak. Salah satunya rambut," jawab Sihol Pandapotan. Bujangan berdarah Batak ini mengaku gondrong sebenarnya bukan ciri khas dari sukunya. Tapi ia memilih risiko untuk mengambil jalur berbeda. "Batak itu anti-urak-urakan," tambahnya.
Terlepas itu, yang pasti kini KMGP masih terus berjuang. Mereka meyakini, jika suatu saat publik akan bisa melihat sisi positif dari gondrong. "Semua orang pernah muda, tapi tidak semua pernah gondrong. Dan pastinya, jangan selalu menilai gondrong itu kriminal atau berandalan," ujar Erizan disambut riuh rekannya sekaligus menjadi akhir obrolan kami di sebuah kafe kecil di depan kampus, tempat di mana KMGP dicetuskan oleh para mahasiswa ini.
ADVERTISEMENT