Membakar Suluh Seni Gambar Naif di Nusantara

Harry Siswoyo
Menulis, pecandu kopi hitam dan penyuka gunung, pantai dan hutan
Konten dari Pengguna
16 Februari 2020 22:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harry Siswoyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mata spidol bertinta hitam yang menari di atas kertas itu tak pernah diam. Sesekali ia meliuk ke kanan lalu sekejap kemudian melengos ke kiri. Kadang-kadang juga ia meloncat ke atas. Spidol itu seperti menari suka-suka dan meninggalkan banyak bentuk objek asimetris di kertas putih.
ADVERTISEMENT
Sukar menebak itu gambar apa. Sebab setiap objeknya kadang bertindihan, berlawanan, dan bahkan cenderung seperti tak beraturan. Persinggungan garisnya pun juga tak pernah setemuan. Sehingga mirip garis yang patah-patah atau tak usai.
"Ini gaya menggambar naif (naive art). Berakar dari gaya menggambar anak-anak," kata Muhammad Affif sembari terus mencoreti ruang kosong di atas kertas yang ada di depannya, pekan lalu.
"Menggambar di kertas itu adalah keintiman. Tidak harus rapi dan buat orang suka," tambahnya.
Affif menyebut pola menggambar naif miliknya merupakan gaya menggambar yang bisa dilakukan dari beragam arah, latar cerita dan waktu. Karena itu gaya ini umum dikenal dengan gaya RWD atau Ruang Waktu Datar.
Muhammad Affif bersama anak-anak dan karya mereka/Harry Siswoyo
Dalam bahasa rupa, gaya ini melampaui pengaturan komposisi, ruang, dan waktu. Semuanya melebur jadi satu dan memuat sebuah cerita. Persis dengan kebiasaan anak-anak saat menggambar yang mengabaikan keindahan tapi lebih kepada isi cerita yang dilukiskannya. "Anak-anak itu bercerita melalui gambar," kata Affif.
ADVERTISEMENT
Isi ceritanya bisa berupa pengalaman atau imaji personal dari pembuatnya atau mungkin juga sebuah cerita lain yang ingin disampaikan kepada publik. Dan tentunya tak mudah untuk mencerna setiap objek yang nampak.
"Harus mendekat dan bertanya ke penggambarnya," kata Affif menjawab bagaimana agar publik memahami karyanya.
Sebuah karya gambar bergaya naif yang dibuat oleh M Affif/Harry Siswoyo
Sebab, seperti khasnya gaya menggambar RWD, dalam sebuah karyanya bisa terdiri dari beberapa adegan, beberapa latar, dan objeknya digeser serta bergerak dalam ruang dan waktu. Sehingga semuanya tumpah dalam satu kesatuan namun memiliki pertalian cerita.
Tidak ada objek yang diunggulkan. Semua setara dan memiliki perannya masing-masing meski kadang cuma penyeimbang. "Bahkan ada objek yang kadang saya juga tidak tahu apa itu. Tapi saya taruh agar bisa seimbang kiri dan kanannya," kata Affif.
ADVERTISEMENT
Pola ini, katanya, jauh berbeda dengan teknik menggambar NPM atau Naturalis Perspektif Momenopname, yakni metode menggambar yang mengharuskan objek lebih serupa dengan aslinya atau persis dengan cara orang mengambil foto untuk membekukan objek.
Sebagai gaya menggambar yang bukan terlahir di Indonesia dan kini nyaris menghegemoni seluruh aliran seni di nusantara, maka NPM cenderung praktis dan sangat terikat dengan komposisi, waktu dan keindahan yang akhirnya membuat pembuat karya jadi terkesan terbunuh kreativitasnya.
Gambar dengan teknik Ruang Waktu Datar yang dibuat oleh perupa Bengkulu M Affif/Harry Siswoyo
Karya gambar yang jelek, anti-komposisi, dan semrawut akan dianggap tidak sesuai dengan estetika publik. Dan dari itu juga menjawab mengapa banyak pelajar Sekolah Dasar akhirnya kehilangan ruh RWD-nya ketika masuk sekolah. Gambar gunung dan sawah yang kadang dilengkapi dengan jalannya akhirnya memenuhi kepala anak-anak. Tujuan menggambar untuk bercerita pun jadi terdistorsi dengan pakem keindahan, bentuk, ruang dan waktu.
ADVERTISEMENT
"Padahal kita semua melewati fase menggambar RWD. Namun kemudian melupakannya dan berganti dengan gaya NPM," kata jebolan Institut Seni Indonesia di Padang Panjang Sumatera Barat itu.
Affif tak menampik jika selama berproses ia pernah mengenyam dan menyelami beragam gaya melukis, mulai dari Surealisme, Realisme, kubisme dan lain sebagainya. Namun demikian, ia mengaku tak bisa menemukan dirinya dalam beragam gaya menggambar itu.
"Saya tidak bisa cerita dengan jujur dan ide di kepala tidak bisa sempurna," kata Affif.
Dari itulah, ia kemudian memutuskan diri untuk hanyut dalam gaya menggambar naif atau RWD. Ia ingin menghidupkan suluh seni menggambar bahwa tak selamanya tanpa komposisi, tanpa garis tegas dan tanpa bentuk konkret bukanlah sebuah karya seni rupa.
ADVERTISEMENT
Namun juga bisa mengembalikan hakikat tradisi bercerita melalui gambar yang pernah ada di tradisi Indonesia, baik itu yang terpampang di gua tua, seni ukir atau tato suku Dayak atau Mentawai, relief candi, wayang dan lain sebagainya. "NPM bukan satu-satunya cara berseni rupa," ujar Affif.
Jelas mimpi itu memang tak mudah untuk terwujud. Namun Affif mengaku tetap optimis dan terus berupaya berkarya baik itu melalui pameran atau pun mengembuskannya di media sosial dan ruang edukasi di publik.
Sejauh ini, setidaknya selama tujuh tahun berproses dan mendalami gaya menggambar naif. Affif selalu tekun menyimpan setiap karyanya. Ia sampai tak bisa menghitung berapa banyak karya itu. Ia berharap kelak bisa mencetak semua karya itu dalam sebuah buku.
ADVERTISEMENT
"Ini (karya) semacam arus untuk orang yang gambarnya jelek. Biar berani dan jujur," ujar lelaki berkulit legam ini. "Kenapa kita selalu suka jadi orang lain. Padahal lebih baik jadi diri sendiri."