Film The East dan Kekecewaan Seorang Prajurit Antifasis

harsa permata
Alumni Filsafat UGM, pernah mengajar sebagai guru bahasa Indonesia, bahasa Arab, Agama Islam di Sekolah Jubilee, Jakarta. Sekarang menjadi Dosen Tetap di Universitas, Universal, Batam
Konten dari Pengguna
27 Oktober 2021 21:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari harsa permata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
De Vries dan Westerling
zoom-in-whitePerbesar
De Vries dan Westerling
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kalau hanya senyum yang engkau berikan
Westerling pun tersenyum
Dua larik lagu "Pesawat Tempurku", ciptaan Iwan Fals, selalu teringat, jika mendengar dan melihat nama Westerling. Dalam pelajaran sejarah Indonesia, tokoh yang bernama lengkap Raymond Pierre Paul Westerling tersebut, digambarkan sebagai tokoh sadis yang dengan brutal membantai rakyat Indonesia di berbagai daerah.
ADVERTISEMENT
Hal yang selalu jadi pertanyaan dalam pikiran saya adalah "Apa motif Westerling membantai orang sebanyak itu?" Pertanyaan inilah yang ingin sekali saya temukan jawabannya dalam Film "The East", atau "De Oost" (Bahasa Belanda), yang dirilis tahun 2020, besutan sineas Belanda, keturunan Maluku, Jim Taihuttu.
Dari prolog awal, sebenarnya sudah coba digambarkan secara samar-samar, kondisi kesadaran masyarakat Eropa, khususnya Belanda pada masa itu. Kesadaran anti-Nazi, dan antifasis, adalah kesadaran dominan saat itu.
Kesadaran inilah yang ada di kepala para tentara Belanda muda yang datang ke Indonesia yang baru merdeka saat itu. Bagi mereka, Hindia Belanda yang molek dan indah, sudah dirusak begitu rupa oleh fasis Jepang, yang pada perang dunia ke-2, beraliansi dengan negara-negara fasis, seperti Nazi Jerman, dan Fasis Italia.
ADVERTISEMENT
Soekarno, seperti disampaikan oleh Komandan mereka, saat briefing sebelum diterjunkan ke medan tempur, adalah boneka fasis Jepang. Negara Indonesia, bagi mereka, dengan demikian adalah juga negara boneka fasis Jepang.
Seorang tentara Belanda muda, Johan De Vries, yang diperankan oleh aktor Belanda Martijn Lakemeier. Adalah bagian dari para tentara muda tersebut. Ia juga memiliki idealisme tersendiri, yaitu bahwa ia diterjunkan ke Indonesia, untuk menolong rakyat, dari pengaruh buruk dan kekejaman negara Indonesia.
Suatu ketika, bertemulah ia dengan Raymod Westerling, yang diperankan oleh Marwan Kenzari, aktor Belanda keturunan Tunisia, di suatu pasar. Sosok Westerling cukup populer dan selalu jadi bahan pergunjingan para tentara muda di barak mereka. Bagi para tentara muda, jika Westerling yang memimpin pasukan Belanda, maka misi mereka untuk mengembalikan kedamaian di bumi Indonesia, atau Hindia Belanda, akan cepat terwujud.
ADVERTISEMENT
Saat itu di pasar, seorang rakyat jelata, protes marah, karena miliknya dirampas sepasukan tentara Jepang. Westerling yang memahami situasi, langsung menodongkan pistol pada pimpinan tentara Jepang tersebut, Johan jugaikut menodongkan senapan, hal yang menarik perhatian Westerling. Para tentara Jepang tersebut kemudian mengembalikan barang yang mereka rampas tersebut, dan pergi dengan setengah kesal.
Peristiwa inilah, yang menandai kedekatan Westerling dengan Johan. Berbagai misi vigilante, kemudian mereka lakukan secara bersama-sama, berdasar atas pengaduan dari rakyat pro-Belanda, yang merasa terancam oleh para tentara dan pejuang Indonesia. Westerling sendiri bilang pada Johan, saat mereka berdua bersantap di sebuah restoran, “Mereka bilang saya ratu adil”, untuk menggambarkan bagaimana simpati sebagian rakyat terhadap Westerling. Inilah yang mungkin melatari Westerling, untuk menamai pasukan pembantainya di kemudian hari, dengan nama, Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
ADVERTISEMENT
Kebencian Johan pada tentara dan pejuang Indonesia, semakin dalam ketika temannya, Werner, ditembak secara diam-diam oleh pejuang Indonesia, yang menggunakan taktik perang gerilya, ketika yang bersangkutan menyeberangi sungai. Werner lah yang membela Johan dari intimidasi tentara senior di barak, pada saat mereka datang pertama kali di sana.
Kematian Werner meninggalkan dendam di diri Johan, terhadap para pejuang Indonesia, hal inilah yang membuat Johan tega menghabisi seorang pejuang Indonesia, yang tertangkap, yang bersangkutan dituduh sebagai orang yang bertanggung jawab atas kematian Werner. Pejuang ini disiksa berhari-hari oleh Westerling dengan dibantu oleh Johan. Pejuang Indonesia tersebut dihabisi, dengan cara ditembak dari belakang, setelah sebelumnya disuruh lari dengan kedua tangan terikat.
Setelah bertemu dengan seorang petinggi Belanda dalam sebuah pesta, Westerling kemudian ditugaskan untuk memimpin sepasukan tentara khusus, yang bernama Depot Speciale Troepen (DST). Pasukan ini kemudian diberangkatkan ke Sulawesi dalam misi memerangi terror dengan terror.
ADVERTISEMENT
Johan yang awalnya masih bimbang, untuk bergabung dengan DST, setelah diminta langsung oleh Westerling, akhirnya memutuskan untuk bergabung, setelah menemukan cintanya pada Gita, seorang perempuan pelacur di rumah bordil, yang kerap ditidurinya, ternyata hanya bertepuk sebelah tangan. Ia memergoki Gita di dalam rumahnya, dengan seorang laki-laki, yang diakui oleh si perempuan sebagai tunangannya.
Johan yang patah hati, kemudian berangkat bersama Westerling dan pasukannya ke Sulawesi untuk menghabisi orang-orang yang diduga sebagai teroris. Metodenya adalah dengan mengepung perkampungan, yang di dalamnya terdapat nama orang-orang terduga teroris tersebut. Semua daftar nama yang tertulis dalam buku kecil di saku Westerling, adalah nama-nama yang harus dihabisi, dengan cara dipanggil, untuk kemudian ditembak langsung kepalanya, oleh Westerling. Daftar ini didapat sang komandan DST tersebut dari intelijen Belanda.
ADVERTISEMENT
Johan, yang sedari awal sudah memiliki kesadaran antifasis, dan antigenosida, tidak setuju dan protes secara terbuka terhadap metode Westerling yang brutal ini. “Aku tidak ditugaskan untuk melakukan ini”, begitu kira-kira terjemahan dari kata-kata protes Johan terhadap tindak militeristik brutal yang dilakukan oleh Westerling. Tindakan Johan tersebut dianggap sebagai desersi, ia kemudian dihukum untuk meninggalkan daerah tersebut dalam waktu yang singkat. Jika melewati batas waktu, maka ia harus dihabisi.
Akhir kata, Film “The East”, bagi saya bukanlah film yang sekedar menggambarkan sejarah perang yang klise, penuh pembunuhan, dan pembantaian, serta penyesalan dari pelaku perang. Lebih jauh lagi, film ini mencoba menggambarkan bagaimana pergulatan ideologis, hal yang cukup jarang digambarkan dalam film-film sejarah perang lainnya. Johan De Vries, seorang serdadu antifasis, yang walaupun memiliki ayah seorang pejabat tinggi Nazi, ternyata konsisten dengan ideologi antifasisnya.
ADVERTISEMENT
Baginya tindakan Westerling, yang membunuhi banyak orang tanpa ditanyai terlebih dahulu, adalah sama saja dengan tindakan genosida, yang dilakukan oleh Nazi dan sekutu fasisnya pada Perang Dunia Ke-2. Film ini, sekali lagi, walaupun berupa sebuah interpretasi sejarah, adalah film yang sangat layak untuk ditonton, pada masa peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia,saat sekarang ini, guna memahami secara lebih objektif, kondisi riil pada masa itu. Khususnya untuk mengetahui alasan mengapa Westerling dan pasukannya, atau APRA, tega membantai banyak orang di berbagai wilayah Indonesia, pasca proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.