Kearifan Sri Sultan HB X dalam Polemik Pemotongan Nisan Salib

harsa permata
Alumni Filsafat UGM, pernah mengajar sebagai guru bahasa Indonesia, bahasa Arab, Agama Islam di Sekolah Jubilee, Jakarta. Sekarang menjadi Dosen Tetap di Universitas, Universal, Batam
Konten dari Pengguna
20 Desember 2018 23:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari harsa permata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sri Sultan Hamengku Buwono X (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sri Sultan Hamengku Buwono X (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Perkembangan terakhir dari kasus pemotongan nisan salib di Makam Jambon, Kampung Purbayan, Kotagede, Yogyakarta, adalah sebuah pelajaran kebijaksanaan, yang diberikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) X, selaku Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sekaligus Raja Keraton Yogyakarta. Pada saat acara jumpa pers di Balaikota, Yogyakarta, Kamis (20/12), Sultan HB X meminta maaf pada keluarga mendiang Slamet Sugihardi, Kevikepan DIY, serta pihak paroki Gereja Kotagede (Yogie Fadila, https://www.idntimes.com/, akses 20/12/2018).
ADVERTISEMENT
Seperti yang diketahui, pada Senin (17/12), terjadi pemotongan nisan salib di Makam Jambon, Kampung Purbayan, Kotagede, Yogyakarta. Nisan salib tersebut diperuntukkan bagi makam mendiang Slamet Sugihardi, yang wafat pada hari itu. Warga setempat yang mayoritas muslim, menyetujui mendiang dimakamkan di areal pemakaman itu, dengan syarat tidak ada simbol-simbol agama, sebagaimana diungkapkan oleh Kapolsek Kotagede, Kompol Abdul Rochman. Lebih lanjut, Rochman juga mengatakan bahwa pemotongan salib tersebut sudah atas izin keluarga besar mendiang Slamet Sugihardi (https://kumparan.com/, akses 20/12/2018).
Walaupun, ada beberapa media yang memberitakan bahwa tindakan pemotongan salib tersebut merupakan wujud intoleransi, akan tetapi sikap Sultan HB X dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada intoleransi dalam kasus tersebut. Hal tersebut, menurut Sri Sultan, adalah sebuah kesepakatan antara warga setempat dengan keluarga mendiang (https://www.republika.co.id/, akses 20/12/2018).
Makam Slamet di pemakaman Jambon Purbayan. (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Makam Slamet di pemakaman Jambon Purbayan. (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
Sultan HB X pada dasarnya paham bahwa musyawarah untuk mufakat adalah budaya masyarakat Yogyakarta, khususnya Kotagede. Karena itulah, beliau kemudian menegaskan bahwa intoleransi tidak terjadi dalam kasus pemotongan nisan salib tersebut. Akan tetapi, dalam konferensi pers di Balaikota, Yogyakarta, (20/12), Sultan HB X tetap meminta maaf, khususnya pada keluarga mendiang.
ADVERTISEMENT
Sultan HB X juga mengatakan bahwa kesepakatan yang telah dibuat warga, terkait pemotongan salib tersebut, adalah untuk memelihara kerukunan, mencari solusi, dan menghindari gejolak. Walaupun demikian, Sultan HB X mengakui bahwa tindakan pemotongan salib tersebut bertentangan dengan konstitusi terkait pengaturan simbol keagamaan (https://nasional.tempo.co/, akses 20/12/2018).
Sikap Sultan HB X ini adalah contoh kearifan seorang pemimpin, beliau tidak menyalahkan siapapun dalam kasus pemotongan salib tersebut. Akan tetapi, beliau tetap meminta maaf pada keluarga mendiang, dan perwakilan pihak gereja. Kearifan Sultan HB X ini sebenarnya sangat efektif untuk menjaga perdamaian dan meredam polemik terkait persoalan pemotongan salib tersebut.
ADVERTISEMENT
Persoalan agama, adalah persoalan yang cukup sensitif di Indonesia. Jika persoalan yang berkaitan dengan sebuah agama tertentu, terjadi, dan tidak diselesaikan dengan bijak, maka gejolak sosial yang besar akan terjadi. Kita bisa lihat pada kasus dugaan penistaan agama, yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok.
Karena ketiadaan langkah penyelesaian yang bijak dari pemerintah pusat, demonstrasi berjilid-jilid dilakukan oleh rakyat, sebagai wujud protes terhadap hal tersebut. Walaupun akhirnya Ahok harus mendekam dalam penjara, akibat vonis bersalah atas tindakan penistaan yang didugakan padanya, akan tetapi, bangsa Indonesia sudah telanjur terpolarisasi menjadi cebong dan kampret.
Sikap arif Sultan HBX ini seharusnya bisa menjadi pelajaran dan contoh bagi para pemimpin nasional, terutama dua calon presiden, yaitu Jokowi dan Prabowo, yang akan berlaga pada kontestasi pemilu (pemilihan umum) tahun depan. Sayang sekali, Sri Sultan HB X bukanlah seorang kandidat calon presiden pada pemilu 2019, karena dengan sikap dan gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh beliau tersebut, tidak menutup kemungkinan, beliau bisa menjadi kompetitor yang cukup tangguh untuk dua capres pada pemilu tahun depan.
ADVERTISEMENT
Akhir kata, demokrasi Indonesia yang berdasarkan musyawarah dan kearifan lokal, adalah berbeda dengan demokrasi liberal barat, yang mengedepankan persaingan bebas, dan perdebatan yang saling menjatuhkan. Oleh karena itulah, untuk melihat semua fenomena dan peristiwa dalam alam demokrasi Indonesia, seharusnya tidak menggunakan perspektif/kacamata barat.
Kacamata ke-Indonesiaan lah yang harus selalu digunakan untuk memahami berbagai hal tersebut. Penggunaan perspektif, selain perspektif ke-Indonesiaan, dalam melihat masyarakat Indonesia, hanya akan berujung pada kesalahpahaman. Hal yang membahayakan adalah jika kesalahpahaman tersebut disebarluaskan, yang bisa menjadi ancaman yang cukup serius bagi persatuan bangsa Indonesia.