Politik Dua Kaki, Bukti Pemodal Tak Mau Rugi

harsa permata
Alumni Filsafat UGM, pernah mengajar sebagai guru bahasa Indonesia, bahasa Arab, Agama Islam di Sekolah Jubilee, Jakarta. Sekarang menjadi Dosen Tetap di Universitas, Universal, Batam
Konten dari Pengguna
24 Desember 2018 14:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari harsa permata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Politik Dua Kaki, Bukti Pemodal Tak Mau Rugi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Akhir-akhir ini, frasa politik dua kaki, mulai dikeluarkan kembali. Adalah Partai Demokrat, sebagai mantan partai penguasa di Indonesia tahun 2004-2014, yang dianggap memainkan politik dua kaki, sebagai cara untuk kembali berkuasa, setelah 5 tahun berjarak dari kekuasaan. Sebenarnya, kalau bicara politik dua kaki, partai yang paling ahli memainkannya di era reformasi, adalah Partai Golkar (Golongan Karya).
ADVERTISEMENT
Untuk memahami kelihaian salah satu partai alumni Orde Baru ini, ada baiknya kita melihat ke belakang, sekitar 14 tahun yang lalu, atau tahun 2004. Waktu pemilihan presiden (Pilpres) langsung, pertama kali diadakan di Indonesia. Saat itu, dalam Pilpres, Partai Golkar secara resmi mengusung pasangan Wiranto, yang juga seorang kader Partai Golkar dan Gus Sholah (Salahuddin Wahid), akan tetapi, salah seorang kader Golkar, yang juga pengusaha/pemilik modal besar, yaitu Jusuf Kalla (JK), memilih untuk menjadi calon wakil presiden (cawapres), mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang maju sebagai calon presiden (capres).
Pasangan yang diusung Partai Golkar, yaitu Wiranto-Wahid, harus tersingkir pada putaran pertama. Partai Golkar, pada putaran kedua memilih mendukung pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi, yang kemudian dikalahkan oleh pasangan SBY-JK. Walaupun calon resminya kalah dalam Pilpres, Partai Golkar yang memenangi pemilu legislatif tahun 2004, tetap bisa menempatkan kader-kadernya seperti Aburizal Bakrie dan Fahmi Idris, dalam kabinet SBY-JK.
ADVERTISEMENT
Golkar secara resmi menjadi bagian dari partai penguasa, pada kabinet SBY-JK, yaitu adalah ketika JK mengambil alih kepemimpinan Partai, dengan menjadi ketua umum menggantikan Akbar Tanjung. Boleh dikata, pada era pertama pemerintahan SBY, tahun 2004-2009, Golkar lah yang menjadi partai penguasa yang dominan. Mengapa? Secara politik, dengan kemenangan Partai Golkar dalam pemilu legislatif tahun 2004, maka mereka berhasil mendominasi legislatif, dengan meraih kursi terbanyak, yaitu 128 kursi (Alam Burhanan dalam https://www.liputan6.com/, akses 24/12/2018).
Pada tahun 2009, hal sama yang terulang lagi, hanya saja dengan pola yang berbeda. Partai Golkar, yang waktu itu memiliki kepercayaan diri tinggi, bersikap mengusung calon dari internal partai, yaitu petahana Ketua Umum Partai Golkar, yang juga Wakil Presiden, Jusuf Kalla. Ia didampingi oleh Ketum Partai Hanura (Hati Nurani Rakyat), yang maju sebagai cawapres. Bagaimana hasil akhirnya? Dalam pemilu legislatif, Golkar harus puas jadi runner-up, di bawah pemenang pemilu 2009, yaitu Partai Demokrat, dengan raihan 150 kursi di DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)/Legislatif.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi hal tersebut, tidak menghalangi Golkar untuk merapat ke pemerintah dan menjadi bagian dari partai penguasa. Kurang lebih sebulan, setelah hasil pilpres 2009 ditetapkan, yaitu tanggal 26 September 2009, Kosgoro, salah satu ormas Partai Golkar, yang diketuai oleh Agung Laksono, menyatakan dukungan terhadap pemerintahan SBY (https://kompas.com/, akses 24/12/2018). Dalam perkembangannya, Agung Laksono kemudian mendapat kursi di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, sebagai Menko Kesra (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat). Kader Golkar lain yang juga mendapat kursi menteri pada periode kedua SBY adalah Fadel Muhammad, MS Hidayat, dan Sharif Cicip Sutarjo, yang menggantikan Fadel Muhammad sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (Yandi Mohammad dalam https://beritagar.id/, akses 24/12/2018).
Pada periode pertama pemerintahan Jokowi, tahun 2014, Golkar seperti mengulang tahun 2004, ketika JK maju sebagai cawapres mendampingi capres dari partai lain, yaitu Jokowi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Golkar, yang pada pilpres 2014 mendukung pasangan Prabowo-Hatta Rajasa, kemudian merapat ke pemerintahan Jokowi (walaupun calon yang mereka dukung kalah dalam pilpres), dan kembali menempatkan kader-kadernya dalam pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Dari kilasan manuver politik Partai Golkar pada era pemilu langsung tersebut, kita bisa lihat bagaimana, partai yang rata-rata dipimpin oleh pengusaha atau pemodal tersebut, selalu memainkan politik dua kaki dan akan bersikap mendukung kekuasaan (apapun hasil akhir pemilu legilatif dan eksekutif), serta menjadi bagian dari partai penguasa, siapa pun presidennya. Sikap partai yang didominasi pemodal (kapitalis) ini adalah cerminan dari sikap mayoritas pemodal di Indonesia. Tujuannya adalah supaya tetap berkuasa dan memperoleh akses terhadap kekuasaan politik, hal yang juga berbanding lurus dengan kekuasaan di bidang ekonomi. Karena kalau tak memiliki akses terhadap kekuasaan maka akses ekonomi juga akan sulit.
Hal ini mungkin yang juga menyebabkan pengusaha seperti Erick Thohir, secara halus juga memainkan politik dua kaki saat sekarang ini. Saat ini yang bersangkutan menjabat sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) paslon (pasangan calon) Jokowi dan Kiai Ma'ruf Amin. Selain itu, yang bersangkutan tercatat sebagai pemegang saham minoritas di TV One (https://kompas.com/, akses 24/12/2018). Salah satu dari dua stasiun televisi yang menyiarkan secara langsung aksi demonstrasi Reuni Gerakan 212, pada tanggal 2 Desember 2018. Secara keseluruhan, ada dua stasiun tv yang menayangkan acara reuni Gerakan 212 tersebut, yaitu iNews TV dan TV One (https://kumparan.com/, akses 24/12/2018). Demonstrasi ini, secara tidak langsung adalah panggung politik Prabowo, karena hanya dia satu-satunya capres pilpres 2019, yang berkesempatan untuk memberikan pidato di tengah lautan massa.
ADVERTISEMENT
Erick Thohir juga dikenal sebagai sahabat karib dari cawapres Sandiaga Uno, yang maju mendampingi Prabowo Subianto. Erick juga memastikan bahwa ia akan tetap bersahabat dengan Sandiaga Uno, walaupun beda kubu dalam Pilpres 2019 (https://kumparan.com/, akses 24/12/2018). Untuk memastikan apakah Erick Thohir dan Sandiaga Uno, yang juga seorang pengusaha tersebut, memainkan politik dua kaki, kita lihat saja hasil pilpres tahun depan, siapa yang akan merapat pada kubu pemenang.
Demokrasi Indonesia, yang mengedepankan asas musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan, sangat kondusif untuk gaya politik dua kaki ini. Berbagai kompromi politik biasanya selalu diadakan oleh dua kubu yang sebelumnya berlawanan pada Pilpres. Oleh karena itu, sebenarnya tak ada gunanya dua kubu pendukung capres dan cawapres, yaitu cebong dan kampret, saling bertarung di media sosial dan dunia nyata, karena pada dasarnya kompromi politik akan selalu dibangun dalam alam demokrasi di Indonesia, entah sampai kapan. Kasarannya, kalian gontok-gontokan, sementara, para elit politik yang kalian dukung, akan saling berpelukan, berbagi senyuman, ngopi atau ngudud bareng. Sedangkan untuk nasib mayoritas rakyat, biasanya menunggu setelah para elit sejahtera dulu, dan kalau mereka ingat, serta menguntungkan mereka secara politik dan ekonomi, maka nasib rakyat baru mulai dibicarakan.
ADVERTISEMENT