Anjay: Kata Kasar atau Bukan?

Harun Al Aziz
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Konten dari Pengguna
22 Desember 2020 21:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harun Al Aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Google
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Google
ADVERTISEMENT
Fenomena kata anjay mencuat ke ruang publik belakang ini. Luthfi Agizal, itulah nama seorang publik figure yang meminta pelarangan kata anjay untuk digunakan karena dianggap merupakan kata kasar. Umpatan, kata-kata kotor, ucapan jorok/cabul/carut, sumpah serapah, caci-maki, atau ungkapan tidak senonoh adalah ungkapan bahasa yang secara sosial bersifat ofensif, menistakan, atau merendahkan orang lain. Kata-kata ini dalam bahasa inggris disebut juga Slank Words. Kata-kata kotor seringkali identik dengan sebuah perilaku yang merugikan orang lain dan menyakiti seseorang jika diucapkan dengan makna kotor tersebut.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, bahasa kotor sering kali diperumpamakan dengan binatang. Contoh yang lebih mudah saja, monyet, anjing, babi, atau bahkan kotoran itu sendiri yaitu tai. Kata-kata itu disebut kata kotor jika dipergunakan untuk membandingkan seseorang dengan binatang atau kotoran itu sendiri. Namun padap penggunaannya untuk menyebut nama binatang, kata seperti anjing, monyet dan babi tidaklah kotor.
Bahasa bersifat arbitrer dan kovensional yakni bahasa itu bersifat sewenang-wenang dan disepakati secara bersama. Jika ada sebuah benda berbentuk segi 4 dan digunakan untuk duduk disebut bangku dan disepakati bersama, maka benda itu disebut bangku. Namun jika benda berbentuk segi 4 yang digunakan untuk duduk itu disebut meja dan tidak disepakati karena meja bukanlah tempat untuk duduk, maka benda itu tidak bisa disebut meja. Pada dasarnya bahasa bergantung pada kesepakatan bersama.
ADVERTISEMENT
Begitupun pada pemaknaan kata—anjay— yang belakangan disebut sebagai kata kasar atau kata kotor. Benarkah demikian? Kata “anjay” berasal dari kata “anjing” pada mulanya, kata “anjing” memang memiliki makna konotatif yang kasar, namun ternyata berbeda halnya dengan kata anjay. Tak bisa dipungkiri, jika kita cermati lebih dalam, kata “anjay” diucapkan ketika kita takjub untuk melihat seseorang. Kekaguman kita terhadap hal-hal tersebut membuat kata “anjay” justru tidak seburuk yang dibayangkan. Saya coba buatkan kronologi pergeseran bahasa sebagai berikut:
Pada mulanya anjing digunakan untuk menunjukkan keterkejutan dalam konteks kekaguman pada bahasa gaul sehari-hari. Contoh kata tersebut adalah: “Anjing, bagus banget sepatu lu. Iri deh gue” Setelah waktu berjalan, tak jelas siapa yang pada mulanya memperkenalkan kata anjay. Namun pada awal kemunculannya, kata anjay digunakan untuk memperhalus kata anjing yang terkesan memiliki makna konotatif yang sangat kasar. Contoh kalimat yang terbentuk setelah kata anjay itu muncul adalah: “Anjay sepatu lu keren banget. Gua juga pengen beli deh”
ADVERTISEMENT
Pada kasus tersebut menunjukkan bagaimana kata Anjay mengalami pergeseran bahasa dari sebuah kata kasar menjadi sebuah kata yang bermakna terhadap sebuah kekaguman. Secara mendasar, konsekuensi yang diakibatkan oleh perubahan arti ada dua macam, yaitu evaluasi denotative dan evaluasi konotatif. Evaluasi denotatif terkait dengan evaluasi wilayah arti dari sebuah ungkapan yang bisa jadi meluas atau menyempit; sedangkan evaluasi konotatif terkait dengan evaluasi nilai emotif dalam arti sebuah ungkapan yang bisa jadi membaik atau memburuk.
Dalam raung lingkup pembelajaran semantik, pergeseran bahasa tersebut lumrah saja terjadi pada beberapa kata. Perubahan makna yang terjadi tak tentu penyebabnya, bisa jadi karena perkembangan zaman, kenaikan kelas kata dari kata yang bermakna negatif menjadi positif, atau bahkan itu hadir sendiri di tengah masyarakat karena ada yang mempopulerkan.
ADVERTISEMENT
Hal-hal yang demikian itu juga dapat dilihat pada perubahan arti kata-kata berikut ini: kata pendeta dahulu bermakna ‘orang yang berilm’ namun sekarang arti kata dari pendeta itu sendiri telah berubah menjadi ‘orang yang memiliki ilmu yang tinggi mengenai agama Kristen dan harus melalui jenjang pendidikan sehingga mendapat gelar sarjana theologia. Selain itu terdapat juga kata Sarjana yang dulu bermakna ‘orang pandai’ atau ‘orang yang dianggap pandai’. Namun kini seiring berkembangnya waktu dan kadar pendidikan yang meningkat dalam jajaran pendidikan formal di Indonesia, kata Sarjana ditujukan kepada mereka yang telah lulus di bangku perkuliah seminimal-minimalnya adalah Strata satu (S1) pada perguruan tinggi.
Perubahan makna yang menyempit memiliki arti bahwa makna sebelumnya terlalu luas ketika diinterpretasikan sehingga perlu pemaknaan yang lebih spesifik pada makna yang baru. Perubahan makna pun dibedakan menjadi 2, yaitu makna positif dan makna negatif. Jenis perubahan makna yang menimbulkan makna negatif disebut penyorasi. Contoh dari perubahan makna yang negatif ini antara lain; dahulu kata bini merupakan sebuah kata yang terhormat untuk pasangan wanita yang sudah menikah. Namun kini kata ‘bini’ memiliki makna yang negatif dengan munculnya kata baru yaitu istri. Begitu juga dengan kata ‘bunting’ yang dahulu memiliki makna yang sopan untuk wanita yang sedang mengandung, namun kini kata ‘bunting’ terkesan kasar dan diperuntukkan bagi binatang.
ADVERTISEMENT
Selain jenis-jenis perubahan yang maknanya berubah menjadi negatif, ada pula kata-kata yang memiliki perubahan arti yang mengandung makna positif yang disebut ameliorasi. Ameliorasi adalah pemaknaan suatu kata baru yang kedudukannya lebih tinggi atau lebih baik nilainya dari makna yang lama.