Konten dari Pengguna

Pilpres 2019, Mesir, dan Politik Jalan Tengah

HS Syafa
Ayah yang nyambi jadi diplomat. Pemerhati isu Islam, Politik dan Timur Tengah.
15 November 2019 12:53 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari HS Syafa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Bro, plong bro, akhirnya, alhamdulillah", demikian komentar salah seorang teman saya mengomentari pertemuan Jokowi-Prabowo di MRT bulan Juli yang lalu. Pertemuan pertama mereka pasca-bertarung sengit dalam Pilpres.
Pertemuan pertama Jokowi-Prabowo pasca pilpres   foto: Dok Sek Kabinet/Tribunnews
zoom-in-whitePerbesar
Pertemuan pertama Jokowi-Prabowo pasca pilpres foto: Dok Sek Kabinet/Tribunnews
Momen itu adalah pertemuan simbolis dua tokoh besar yang selama pemilu sudah menyebabkan energi anak bangsa terkuras. Tidak terhitung lagi berapa yang saling unfriend, unfollow, leave group WA hanya karena perbedaan pilihan politik. Antara nomer 1 atau 2, jadi cebong atau kampret. Saling sindir, nyinyir, sarkas, sudah jadi pemandangan yang biasa di laman status medsos. Bangsa kita saat itu di bibir jurang perpecahan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat yang terpecah seperti pada musim Pilpres 2019, mengingatkan saya pada situasi politik serupa di Mesir.
Dalam dua tahun, Mesir punya 2 revolusi. Revolusi 2011, yang menyebabkan Presiden Husni Mubarak tumbang setelah 30 tahun berkuasa dan revolusi 2013 yang menyebabkan Presiden Mursi, harus jatuh. Bukan hanya kehilangan kekuasaannya, kedua Presiden juga kemudian harus menjalani proses hukum. Tuduhannya bermacam macam.
Setelah revolusi 2011, tahun 2012 Mesir menyelenggarakan Pilpres, yang menurut banyak pengamat, merupakan Pilpres paling demokratis sejak zaman Firaun. Pemilu 2012 telah mengantar Muhammad Mursi, biasa disebut Mursi, menjadi Presiden Mesir. Warga sipil yang berasal dari kelompok Ikhawanul Muslimin (IM), Mursi seperti sebuah antitesa dari Presiden sebelumnya, yang berasal dari kalangan Militer dan mewakili kelompok nasionalis.
Revolusi 30 Juni yang menjatuhkan Muhammad Mursi Foto : Egypttoday/Mohamed Zein
Masyarakat Mesir yang terbelah dimulai saat Mursi menjabat. Kelompok anti-Mursi menilai kebijakannya tidak ramah dengan kelompok minoritas dan memaksakan ikhwanisasi di setiap sendi kehidupan bernegara. Sebaliknya, pendukung Mursi, umumnya kader dan simpatisan ikhwanul muslimin, membela bahwa Mesir selama ini sudah salah urus. Jadi perlu pendekatan yang radikal.
ADVERTISEMENT
Ujung dari ketegangan dua kubu pro dan anti-Mursi tersebut, Mursi dijatuhkan oleh sebuah gelombang revolusi pada bulan juni 2013. Belakangan biasa disebut 'Revolusi 30 Juni'. Bagi mereka yang pro Mursi, penjatuhan Mursi tidak lain adalah bentuk kudeta dari sebuah pemerintahan yang sah
Revolusi ini kemudian mengantarkan Jenderal Abdel Fattah El-Sisi menjadi Presiden Mesir. Sisi, biasa dikenal, adalah perwira karier militer yang sebelumnya menjadi Menhan saat Mursi Presiden.
Akibat tajamnya perbedaan politik, hari ini, ribuan kader IM ditahan. Menjalani persidangan hingga beberapa di antaranya harus dijatuhi vonis hukuman mati. Termasuk Mursi sendiri, meski pada akhirnya ia meninggal di penjara.
Jatuhnya Mursi dan naiknya Sisi telah membuat masyarakat Mesir terbelah. Perdebatan soal siapa yang salah dan siapa yang benar jadi tema yang biasa. Sesama saudara, keluarga, tetangga dekat, teman satu kantor pun didebat. Argumen nomer dua, yang penting bisa mempermalukan lawan bicara. Saling sindir, saling nyinyir.
Kiri: Jenderal Sisi saat menjadi Menhan bersama dengan Presiden Mursi Foto : raymondibrahim.com
Perdebatan soal benar salah terus berlanjut hingga ke warung-warung kopi di seantero negeri. Saya pernah harus menunggu dua orang pegawai money changer selesai berdebat soal Sisi atau Mursi yang paling pas dan benar sebelum saya bisa menukar uang.
ADVERTISEMENT
Di akhir perdebatan, salah satu pegawai bertanya kepada saya, "Inta Indonisi?" (Anda orang Indonesia). Saya jawab, "Aiwa," (Iya). "Inta ma'a min, Mursi wa la Sisi?" (Anda milih siapa, Mursi atau Sisi). Dengan diplomatis saya menjawab, "Maalish, ana ma'a almisriyyin," (Maaf, saya bersama orang-orang Mesir).
Kalau sudah begitu, saya memilih untuk tidak meladeni perdebatan yang kalau diteruskan tiada berujung. Apalagi, ini persoalan dalam negeri mereka.
Dua kutub ini semakin mengeras akibat pendekatan Sisi yang memang zero tolerance terhadap IM, organisasi tempat Mursi berasal. Bahkan, IM ditetapkan menjadi organisasi teroris.
Kalau sudah demikian, memang arah rekonsiliasi antara dua kutub di Mesir memang semakin runcing. Tidak ada jalan tengah. Sama-sama keras.
ADVERTISEMENT
Melihat masyarakat yang terpecah seperti itu, kita patut bersyukur pada akhirnya Pak Jokowi dan Pak Prabowo bertemu, bahkan sekarang Pak Prabowo menjadi Menhan di Kabinet Pak Jokowi. Barangkali Indonesia patut berbangga. Di tengah kebuntuan kita selalu punya jalan tengah. Selalu ada optimisme.
Tinggal sekarang bagaimana pesan persatuan di level elite bisa turun ke bawah. Tidak lagi berdebat siapa yang pantas, layak atau paling benar. Namun sudah harus berpikir bagaimana energi positif kedua tokoh bangsa ini bisa membuat Indonesia lebih baik.