Konten dari Pengguna

"Piye Kabare? Isik Penak Zamanku To?" ala Mesir

HS Syafa
Ayah yang nyambi jadi diplomat. Pemerhati isu Islam, Politik dan Timur Tengah.
20 November 2019 17:41 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari HS Syafa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ternyata setiap masyarakat di setiap negara punya cara yang unik mengekspresikan kerinduan pada pemimpinnya di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan itu saya dapat saat saya naik taksi dalam suatu perjalanan diKota Kairo.
Potongan video viral di Mesir saat pengendara motor berkeliling membawa foto Presiden Husni bertuliskan "Tiada hari tanpa hari harimu Husni"                 Sumber foto :medantahreer.com
zoom-in-whitePerbesar
Potongan video viral di Mesir saat pengendara motor berkeliling membawa foto Presiden Husni bertuliskan "Tiada hari tanpa hari harimu Husni" Sumber foto :medantahreer.com
Si sopir, Ahmad, awalnya mengobrol ringan soal berbagai macam isu sehari-hari. Ia mengeluh kalau belakangan harga barang barang di Mesir semakin mahal. Memang saat itu, Mesir mengalami depresiasi mata uang, dari USD 1 senilai EGP (Pound Mesir ) 8 menjadi sekitar EGP 16.
Dengan kondisi tersebut, barang-barang kebutuhan pokok pun naik setajam roller coaster. Akibatnya, masyarakat harus merogoh kantong lebih dalam dan mengencangkan ikat pinggang.
Sambil curhat soal harga yang serba mahal itu, Ahmad kemudian bilang, “Wallahi, ayyam husni ahsan,” (demi tuhan, zaman Husni lebih baik), Husni yang ia maksud di sini ialah Husni Mubarak, mantan Presiden Mesir.
ADVERTISEMENT
Menimpali perkataannya, saya sampaikan, kalau di Indonesia ada istilahnya untuk mengungkapkan bahwa zaman pemimpin sebelumnya lebih enak. "Akhbaarak eeh, Zamani ahsan, soh? (Piye kabare? Isik penak zamanku to?), kata saya menirukan istilah orang Indonesia yang merindukan 'enaknya' hidup pada masa Pak Harto.
Salah satu eskpresi masyarakat mengenai Pak Harto sumber : ruanginstalasi.files.wordpress.com.
Dengan semangat Ahmad juga membalas, seolah tidak mau kalah, kalau orang Mesir juga punya candaan yang sama, “Wa laa yaum min ayyamak ya Mubaarak,” (tiada hari sebaik hari-harimu wahai Mubarak/Husni Mubarak).
Memang tidak bisa begitu saja disalahkan, Ahmad dan sama seperti warga Indonesia yang merindukan masa keemasan Pak Harto, sebenarnya hanya ingin agar kehidupan mereka bisa jauh lebih baik dibanding saat ini.
Apa-apa murah dan terjangkau, yang didapat dan yang dikeluarkan seimbang. Karena dengan begitu hidup menjadi lebih pasti, dan dengan kepastian itu hidup menjadi lebih mudah.
ADVERTISEMENT
Itu lah kenapa mereka menganggap masa Husni Mubarak atau zaman Pak Harto-nya Indonesia itu dianggap lebih enak. Di masa dua pemimpin itu, yang berkuasa lebih dari 30 tahun dan sama-sama dijatuhkan dengan people power, stabilitas keamanan dan harga-harga barang terjamin.
Buat masyarakat kecil, seperti Ahmad, penjelasan soal demokrasi, reformasi, serta proyeksi negara akan maju pada periode tertentu terlalu abstrak dan susah dipahami.
Buat mereka, negara atau pemimpin itu dikenal baik kalau hari ini mereka bisa makan dan hasil kerja mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Sembako terjangkau, listrik murah, minyak murah. Kalau misalkan pedagang, dagangannya laris. Kalau tukang taksi, taksinya ramai.
Tentu, kita semua tahu bahwa tidak mungkin Indonesia kembali ke masa Pak Harto. Saat demokrasi sudah menjadi ikhtiar bangsa ini, kita harus konsisten merawatnya. Apa pun hambatan dan kesukaran yang dihadapi. Kita semua harus move on, move forward.
ADVERTISEMENT
Tapi di sisi lain, kita juga harus bisa menjaga asa orang orang seperti Ahmad terhadap tujuan hakiki kita bernegara. Karena pada hakikatnya, negara didirikan untuk memberi rasa aman dan untuk kehidupan yang lebih baik.
Mari kita doakan pemimpin kita saat ini agar ucapan “Piye, enak zamanku to,” tidak muncul lagi di tengah tengah masyarakat.