Konten dari Pengguna

Hiruk Pikuk Munafiknya Partai Politik dalam Pilkada Jakarta

Haryo aji
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas
20 Agustus 2024 9:34 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Haryo aji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dibuat oleh penulis melalui Canva.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dibuat oleh penulis melalui Canva.com
ADVERTISEMENT
Pembahasaan dalam tulisan ini menggunakan premis “Hiruk Pikuk” yang berarti suatu keributan sudah terjadi di dalam sebuah peristiwa, lalu kenapa menggunakan pembahasaan hiruk pikuk itu sendiri?. Pilkada Jakarta dianggap tempat yang banyak partai politik rebutkan dengan mengusung calon-calon yang mereka pertimbangkan baik dengan intuisi, etik, ataupun pikiran moral. Tetapi jika kita melihat fenomena politik yang terjadi selama dua periode pemerintahan Jokowi, bisa penulis katakan bahwa dinamika politik sudah tidak ada di dalamnya dikarenakan Jokowi sudah membangun otoritarianisme ke dalam tubuh partai-partai politik yang ia ajak makan siang di istana lalu diberikan sebuah kenang-kenangan berupa jabatan di kementrian atau jabatan-jabatan strategis lainnya. Penulis menggunakan analisis political system yang mana sebuah sistem politik yang di dalamnya memiliki input, process, dan output. Political system yang dibangun oleh rezim politik selama 10 tahun belakangan ini dikatakan sangat amat hancur dinilai dengan tiga proses tadi yang tidak berjalan dengan lancar. Dalam input sebuah sistem politik sangat dibutuhkan kaderisasi partai politik yang komprehensif dan mengedepankan etik dalam berpolitik. Setelah ditempa oleh proses kaderisasi partai politik, lalu para kader partai menjalankan hasil-hasil kaderisasi itu di dalam jabatannya sebagai penanggung jawab politik yang rakyat bayar. Proses dalam sistem politik itu sendiri secara bentuk sangatlah banyak dimulai dengan sidang, rapat, perumusan, dan lain-lain. Jika proses dalam sistem politik itu berjalan lancar, maka output dari proses itulah yang nantinya akan berjalan di halayak politik secara umum. Output dalam sistem politik itu sendiri banyak bentuknya dimulai dari kebijakan, peraturan, bahkan keputusan yang semua itu ditentukan oleh proses yang sebelumnya penulis tekankan. Jadi ketiga tahap dalam sistem politik atau political system itu saling koheren dan menghasilkan hasil yang rakyat inginkan.
ADVERTISEMENT
Hiruk pikuk dan carut marut muncul ketika satu dari ketiga tahap itu diakali atau dalam pembahasaan kasarnya diamputasi oleh cawe-cawe sampah oleh partai politik. Dalam buku Etika Nikomakea oleh Aristoteles disampaikan bahwa “politisi sangat berhati-hati untuk mengambil posisi dalam perenungannya terhadap kebahagiaan, karena ia ingin menjadikan warga baik dan taat hukum”. Pada potongan dari buku itu, diartikan bahwa politisi sudah berhati-hati dalam pengambilan langkah sejak awal dikarenakan mereka akan mengonsepkan masyarakat ke dalam satu hukum yang baik untuk mereka. Dalam singgungan kalimat tersebut sekelompok politisi berpikir hegemoni dalam pencalonan paslon dalam sebuah kompetisi politik seperti Pilkada. Amputasi-amputasi itulah yang membuat masyarakat geram dengan rezim dan menganggap bahwa political system yang berjalan sebagai cara untuk bertahan hidup sudah diacak-acak oleh cawe-cawe dalam partai politik.
ADVERTISEMENT
Menuju November 2024, kotoran politik semakin nampak ke permukaan. Kenapa penulis mengatakan kotoran? Ya karena pada awalnya otak dari politisi ini sudah buruk. Bayangkan saja jika semua bumbu dapur dijadikan satu apakah akan menghasilkan rendang yang enak? Atau malah menghasilkan pizza yang lezat? Atau malah orang hanya menganggap masakan itu ketumpahan air selokan?. Itulah jika semua partai sudah buta etika dan mengedepankan kepentingan golongan tanpa mempertimbankan rakyat sebagai pemilik hati untuk kota tercintanya ini yakni Kota Jakarta. Sampai saat ini 12 partai berkoalisi mengusung paslon Ridwan Kamil sebagai Calon Gubernur Jakarta dan Suswono sebagai Calon Wakil Gubernur Jakarta. Bagaimana menurut pembaca, apakah ini sebuah ujian yang harus diselesaikan lalu dikumpulkan, atau malah ini merupakan berita kemalangan dari politik Jakarta?. Ke-12 partai politik ini mengusung calon melalui Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai kereta mereka dalam mencapai tujuan partai-partai mereka.
ADVERTISEMENT
Penulis analisis ke-12 partai politik yang mengusung merupakan partai munafik yang nantinya akan memakan jatah kursi yang pemerintah periode baru akan bangun. Mereka seolah-olah menjilat partai pemenang Pemilu 2024 dengan mendukung calon yang diusung partai pemenang Pemilu dalam Pilkada Jakarta 2024. Dari 18 partai yang mengikuti Pemilu 2024, 12 diantaranya mendukung Paslon yang maju di Pilkada Jakarta 2024. Itu artinya hanya tersisa 6 partai yang tidak mendukung Paslon Ridwan Kamil-Siswono dalam pencalonannya di Pilkada Jakarta. Apakah 6 partai yang tidak menjilat kekuasaan adalah partai yang mengerti tentang Political Ethics atau malah mengerti tentang morality dalam politik?. Setidaknya 6 partai tersebut tidak munafik dalam pencalonan dan idealismenya dalam politik
Hiruk pikuk yang terjadi di Jakarta belakangan ini menimbulkan pertanyaan yaitu bagaimana nasib warga Jakarta kedepannya? Seperti apa figur pemimpin yang diinginkan oleh masyarakat Jakarta? Apakah warga Jakarta sadar akan pengotoran sistem politik di daerahnya?. Warga Jakarta sangatlah skeptis dengan keputusan para partai politik di kotanya. Rakyat Jakarta merupakan rakyat yang revolusioner ditandai dengan banyaknya sejarah yang sudah tergores di tanah Jakarta. Rakyat Jakarta terkadang merasa termarjinalkan oleh kekuasaan di tanah yang mereka injak. Harapan dan emik dari masyarakat Jakarta adalah pemimpin yang dijauhkan dari bisikan para penguasa, pemimpin yang teredukasi akan etika dan moral, dan pemimpin yang tidak munafik kepada masyarakat Jakarta itu sendiri.
ADVERTISEMENT