Konten dari Pengguna

Sejarah Politik Identitas Etnis di Kalimantan

Haryo aji
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas
29 Mei 2024 8:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Haryo aji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini menggambarkan munculnya politik identitas etnis di Kalimantan Barat dan mempertanyakan sejauh mana mereka mampu menawarkan kemungkinan akan civility (disamping kemungkinan kekerasan yang lebih terkenal). Awal dari tulisan ini menunjukkan politik etnis Dayak dan Melayu sebelum terjadinya reformasi tahun 1998. Politik etnis dalam hal ini mengacu kepada perpolitikan yang dilakukan atau dipimpin oleh para elit etnis dalam rangka mendapatkan perwakilan mereka di bidang eksekutif dan legislatif. Tulisan ini menunjukkan bahwa mencuatnya etnis Dayak dalam kancah politik setelah tahun 1998 bukanlah gerakan yang instan melainkan reaksi terhadap penindasan terhadap mereka yang telah berlangsung sejak masa kolonial.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, Kalimantan Barat juga memiliki populasi etnis yang beragam, Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, dua kelompok etnis yang paling besar di Kalimantan Barat ialah etnis Dayak dan Melayu, baru kemudian disusul oleh etnis Jawa, Cina, Madura, dan Bugis. Pada dasarnya, istilah Dayak pada mulanya digunakan oleh orang Melayu dari Borneo untuk menyebut suku-suku asli di Kalimantan, selain suku Punan yang nomaden. Lebih lanjut, istilah Dayak kemudian dipopulerkan oleh para penjelajah Eropa melalui tulisan-tulisan mereka (Lumholtz 1920, 1:23). Istilah Dayak yang sering digunakan untuk menggambarkan suku asli di Kalimantan sebenarnya tidak tepat karena istilah ini mencakup ratusan suku yang heterogen. Suku-suku tersebut menjadi satu karena berbagai tekanan kekuatan dari luar, misalnya kebijakan yang diskriminatif dari Kesultanan Melayu dan oleh penjajah Belanda, dan juga karena agama.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan istilah Dayak yang berasal dari luar, istilah Melayu telah digunakan secara luas sebelum kedatangan orang-orang Eropa di Nusantara. Istilah mengacu kepada penduduk yang menempati berbagai wilayah di sepanjang Pantai Sumatera dan Semenanjung Malaysia. Istilah melayu di Kalimantan Barat pertama kali digunakan untuk menunjuk kepada orang Sumatera dan Semenanjung Malaysia yang datang ke Kalimantan Barat untuk berdagang dan menyebarkan agama. Kemudian, penggunaan istilah ini diperluas untuk mencakup orang Dayak yang telah memeluk agama Islam.
Keotoritarian Orde Baru membangun daerah-daerah di indonesia dengan wajah pemimpin lokal yang kuat, karena hal tersebut mengancam kepemimpinan pusat dan lebih gawat lagi mengundang separatisme. Berbeda dengan istilah Dayak yang berasal dari luar, istilah Melayu telah digunakan secara luas sebelum kedatangan orang-orang Eropa di Nusantara. Istilah mengacu kepada penduduk yang menempati berbagai wilayah di sepanjang Pantai Sumatera dan Semenanjung Malaysia. Istilah melayu di Kalimantan Barat pertama kali digunakan untuk menunjuk kepada orang Sumatera dan Semenanjung Malaysia yang datang ke Kalimantan Barat untuk berdagang dan menyebarkan agama. Kemudian, penggunaan istilah ini diperluas untuk mencakup orang Dayak yang telah memeluk agama Islam.
ADVERTISEMENT
Sumber: dpmptsp.kapuashulukab.go.id
Terlepas kebijakan anti-SARA yang ketat, rezim Orde Baru tidak dapat mencegah pecahnya konflik etnis, terutama yang terjadi antara suku Dayak da Madura. Kebanyakan konflik antara Dayak dan Madura tidak timbul karena motivasi politis. Meskipun demikian, para elit politik selalu berusaha mencari keuntungan politis, terutama yang terjadi pada tahun 1997 hingga 1999. Salah satu motivasi mereka menjadi terlibat adalah mendapatkan konsesni etnis. Dalam konflik tersebut, orang-orang Dayak melalui Dewan Adat menuntuk agar mereka mendapatan jabatan politik. Pada kenyataannya, politik etnis, masih terjadi walaupun secara samar dalam birokrasi
Kalimantan Barat pada tahun 1966. Pertentangan biasanya terjadi antara elit Dayak dan Melayu atau dari dalam internal Melayu sendiri yakni antara Melayu pantai dan Melayu pedalaman. Tuntutan dimulai dengan kegagalan Politisi Dayak terhadap beberapa posisi di birokrasi yang berujung pada pengancaman kemenangan Golkar pada pemilu ditingkat kabupaten pada tahun 1982. Beberapa bulan setelah sebuah seminar nasional mengenai suku Dayak yang sangat sukses, tiga politisi Dayak menulis surat pada gubernur dan pejabat penting pemerintahan serta presiden untuk mengangkat sedikit-dikitnya tiga orang Dayak menjadi bupati. Tuntutan ini barangkali merupakan pembuka bagi dua kasus politik etnis Orde Baru di Kaliantan Barat pemilihan Bupati di Sintang dan di Kapuas Hulu. (1995).
ADVERTISEMENT
Politisasi etnisitas di Kalimantan Barat mempunyai Sejarah Panjang. Hal itu lebih banyak dilakukan oleh underdog orang Dayak ketimbang orang melayu yang mempunyai posisi politik yang lebih kuat. Sebagaimana eit-elit Dayak, orang Dayak jelata juga merasakan marjinalisasi. Pemerintah telah mengubah hutan-hutan dan tanah-tanah adat menjadi daerah transmigrasi, perkebunan, dan penebangan kayu, dengan janji bahwa proyek itu akan menguntungkan mereka.
Meskipun begitu, banyak di antara proyek-proyek itu justru semakin memperburuk standar hidup mereka. Setelah tahun 1990-an, ada laporan-laporan tentang kelompok-kelompok orang desa yang datang ke DPRD untuk menuntut keadilan, misalnya pemberian ganti rugi. Ketika pemerintah tidak menggubris tuntutan-tuntutan itu, tuntutan itu berubah menjadi protes yang diwarnai dengan kekerasan dalam bentuk perusakan areal perkebunan dan blockade terhadap jalan-jalan masuk. Dengan seperti itu, perasaan tertekan para elit politik, para aktivis LSM, dan orang-orang Dayak jelata mulai bertemu dan menyatu emenjadi sebuah kekuatan politik penting.
ADVERTISEMENT
Sepanjang sejarah Kalimantan Barat pasca kemerdekaan, kecuali selama Orde Baru, politik etnis indentik dengan politik elit Dayak. Orang dayak adalah salah satunya segmen masyarakat Kalimantan Barat yang sering terlibat menggunakan setimen etnis. Sebagian besar dari mereka menghendaki representasi lebih besar dalam birokrasi yang diakibatkan oleh sejarah panjang marjinalisasi terhadap mereka. Para elit melayu lebih cenderung menghindari mobilisasi massa namun terlibat dalam politik internal birokrasi, ketika mereka mempunyai pengaruh yang baik. Setelah tahun 1999 dinamika politik diantara orang dayak berubah. Majelis adat yang dulu memainkan peran sangat penting pada tahun 1997-1999 mulai kehilangan pengaruh. Identitas etnis akan terus memainkan peranan penting dalam politik Kalimantan Barat, tetapi dengan cara-cara yang lebih damai. Politik etnis yang sekarang dimainkan secara tidak sadar oleh baik orang dayak maupun melayu tidak hanya berhasil mencegah kekerasan etnis lebih jauh, tetapi juga menjadi bagian dari proses pembelajaran sipil dan demokratis di Kalimantan Barat.
ADVERTISEMENT