Konten dari Pengguna

Ancaman Nyata Neo Domein Verklaring

Junet Hariyo Setiawan
Editor Yure Humano Journal of Law, Editor Ordonnantie and Delegatie Journal of Law, Penulis Buku Sejarah KAI 2021, Aktivis Literasi Hukum Indonesia
26 Januari 2022 15:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Junet Hariyo Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buruh tani. Foto: ANTARA FOTO/Yusran Uccang
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buruh tani. Foto: ANTARA FOTO/Yusran Uccang
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Penyerahan pengelolaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kepada negara tersebut adalah upaya pembatasan sifat serakah, dan usaha untuk mewujudkan pemerataan kemakmuran. Lima belas tahun kemudian, pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) sebagai pedoman rinci pelaksanaan amanah mulia tersebut. Pertanyaannya adalah bagaimana bila ternyata Negara lebih serakah dari individu (rakyat), dan upaya apa yang harus dilakukan untuk mengembalikan jiwa pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut?.
Pertanyaan di atas bukan tanpa alasan, keserakahan dalam bidang agraria yang dilakukan penguasa dan koorporasi pernah mewarnai sejarah Bangsa Indonesia dalam kerangka politik agraria kolonial. Keserakahan tersebut dimulai dari masa Verenidge Oost Indische Copainie (VOC) tahun 1600-san hingga puncaknya pada saat diterapkan kebijakan Agrarische Besluit tahun 1870.
ADVERTISEMENT
Agrarische Besluit merupakan by pas yang dilakukan penjajah untuk menguasai tanah secara lebih besar dal lebih luas lagi dari sebelumya. Terlebih lagi setelah bergulir kebijakan domein verklaring yang menyatakan bahwa tanah-tanah yang terletak di luar daerah permukiman, yang tidak memiliki bukti jelas dari penduduk, dinyatakan sebagai tanah negara (a'landa domein). Dengan ketentuan tersebut Hindia belanda menguasai tanah yang sangat luas dan menyediakan untuk para pengusaha (investor).
Jiwa yang terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 serta UUPA merupakan cerminan dari perlawanan atas pengalaman masa lalu, dan kemudian digunakan sebagai landasan kebijakan agraria nasional. Meskipun demikian, perubahan suprasturktur hukum pasca kemerdekaan, tidak sepenuhnya mampu mengubah mindset dan ruh agraria yang pernah diterapkan oleh kolonial. Mindset dan ruh domein verklaring itu masih menghinggapi para pengambil kebijakan di semua orde yang pernah ada bahkan pada zaman reformasi yang berjalan saat ini.
ADVERTISEMENT
Neo Domein Verklaring
Sebagaimana kita ketahui, pemerintah Indonesia telah menerbitkan UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang didalamnya memuat klaster pertanahan. Pengaturan itu kemudian akan menjadi dasar bagi terbentuknya Bank Tanah dengan segala kewenangannya. Meski Undang-Undang tersebut masih dalam proses penyempurnaan pasca terbitnya Putusan MK Nomor 6/PUU-XIX/2021, tetapi persoalan kluster tanah tidak menjadi materi putusan. UU Cipta Kerja bahkan telah menjadi dasar bagi terbitnya Permen ATR/BPN No. 16/2021 tentang sertifikat elektronik. Bila dicermati, semua kebijakan dan pengaturan tentang pertanahan yang diterbitkan pasca lahirnya UU PMA 1960 justru lebih dekat pada kebijakan domein verklaring yang secara yuridis telah lama dihapuskan.
Sebelumnya, pada tahun 2016, pemerintah juga merumuskan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanahan yang belum kelar sampai dengan saat ini. Meskipun tahun 2022 ini ditarik dari Prolegnas DPR-RI, tetapi RUU tersebut merupakan bagian dari dinamika pengaturan pertanahan yang dapat dibahas dan disahkan sewaktu-waktu. Rancangan Undang-Undang pertanahan itu telah menghapus total klausul pasa1 21 ayat (3) dan (4) UUPA yang menyatakan bahwa warga asing yang memiliki hak milik akibat pewarisan dan perkawinan harus melepaskan haknya, serta larangan hak milik bagi orang yang memiliki dua kewarganegaraan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya pada pasal 22 ayat (1) menyatakan bahwa tanah rakyat yang tidak dikelola dan dimanfaatkan dapat mengakibatkan terhapusnya hak milik, dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Sementara di dalam pasal (4) menjelaskan bahwa untuk tanah negara yang tidak dimanfaatkan tidak mengalami penghapusan hak.
Ruh kebijakan domein verklaring juga terdapat di dalam pasal 104 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah. Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa tanah yang belum terdaftar akan menjadi milik negara melalui proses yang cukup sederhana, yaitu hanya dengan lewat pemberitahuan kepada camat, lurah/kepala desa atau pejabat yang berwenang.
Untuk mengembalikan jiwa dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945, pemerintah perlu melakukan revolusi agraria, kembali kepada tatanan semula dan menjalankan secara konsekwen. Mengawali agenda tersebut, pemerintah harus membentuk tim professional yang bertugas melakukan penelitian guna membuktikan keberadaan tanah ulayat dengan pendekatan partisipatif, dan dengan kriteria objektif. Hal tersebut menjadi bagian tugas negara, bukan malah membebani ulayat dengan segudang kelengkapan syarat administratib.
ADVERTISEMENT
Kedua, pemerintah harus memangkas atau menghapus kebijakan-kebijakan agraria yang tidak sejalan dengan UUD 1945 serta UUPA sebagai pondasi awal dari sistem agraria nasional secara bertahap, bukan malah menambah peraturan-peraturan baru yang semakin mengarahkan pada kesesatan, dan menjauhkan Bangsa Indonesia dari tujuannya.