Konten dari Pengguna

Ketidakadilan di Balik Fenomena Fufufafa

Junet Hariyo Setiawan
Editor Yure Humano Journal of Law, Editor Ordonnantie and Delegatie Journal of Law, Penulis Buku Sejarah KAI 2021
22 September 2024 15:56 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Junet Hariyo Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Anonim Fufufafa: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Anonim Fufufafa: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Fenomena akun anonim "fufufafa" bukan hanya menyangkut perilaku individu, melainkan mencerminkan persoalan mendalam mengenai kepemimpinan, moralitas publik, dan keadilan dalam masyarakat. Sejak 2014 hingga 2024, kita melihat peningkatan ketidakpuasan rakyat terhadap para pemimpin yang dianggap amoral dan tidak beretika. Ketidakadilan dalam penegakan hukum turut memperburuk situasi, karena masyarakat merasa sistem tidak menerapkan standar yang sama bagi semua, terutama mereka yang memiliki kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif teori kepemimpinan, John C. Maxwell dalam bukunya "The 21 Irrefutable Laws of Leadership" menegaskan bahwa kepemimpinan sejati diukur dari kemampuan untuk memengaruhi orang lain dengan integritas, bukan dari seberapa besar kekuasaan yang dimiliki. Ketika seorang pemimpin gagal menjaga kepercayaan publik, dia akan kehilangan legitimasi. Fenomena akun "fufufafa" mencerminkan adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin yang dianggap tidak memegang prinsip moral.
Rasa ketidakikhlasan masyarakat bukan hanya ungkapan emosi semata, melainkan bentuk protes terhadap ketidakadilan. Teori keadilan distributif dari John Rawls dalam "A Theory of Justice" menjelaskan bahwa keadilan berarti distribusi hak yang merata tanpa memandang status atau kekuasaan. Namun, fenomena "fufufafa" menunjukkan adanya ketimpangan dalam penegakan hukum, di mana masyarakat biasa yang menyuarakan ketidakpuasan dihukum keras, sementara pihak yang berkuasa tampaknya bebas dari konsekuensi hukum meskipun terlibat dalam provokasi yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Ketidakadilan ini merusak esensi negara hukum. Hans Kelsen dalam "Pure Theory of Law" menegaskan bahwa hukum seharusnya objektif dan impersonal. Jika hukum hanya berlaku bagi sebagian orang, keadilan substantif tidak lagi berjalan. Inilah yang terjadi pada fenomena "fufufafa," di mana kritik terhadap sistem dianggap sebagai pelanggaran, sementara kekuasaan bebas mencemooh tanpa konsekuensi.
Dalam kepemimpinan publik, etika politik seharusnya menjadi landasan utama. Michael Josephson, pakar etika, menyatakan bahwa etika kepemimpinan bukan hanya soal kepatuhan hukum, tetapi bagaimana pemimpin bertindak sesuai dengan prinsip moral. Pemimpin beretika harus mempertanggungjawabkan setiap tindakannya di hadapan publik.
Fenomena fufufafa mengungkap kelemahan sistem dalam menjaga moralitas publik. Rakyat membutuhkan lebih dari pemimpin yang kompeten; mereka mendambakan pemimpin yang tulus, beretika, dan mampu menjadi teladan. Ketika pemimpin gagal memenuhi harapan ini, ketidakpercayaan terhadap pemerintah akan semakin mendalam, mengancam stabilitas sosial.
ADVERTISEMENT
Sebagai bangsa, kita harus merenungkan kembali arti keadilan dan kepemimpinan yang baik. Pemimpin harus menunjukkan integritas dan akuntabilitas karena hanya dengan kepemimpinan yang etis, masyarakat dapat percaya bahwa keadilan ditegakkan.