Konten dari Pengguna

Mafia Peradilan: Menggugurkan Keadilan atau Meneguhkan Reputasi?

Junet Hariyo Setiawan
Editor Yure Humano Journal of Law, Editor Ordonnantie and Delegatie Journal of Law, Penulis Buku Sejarah KAI 2021, Aktivis Literasi Hukum Indonesia
4 November 2024 7:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Junet Hariyo Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tiga hakim yang vonis bebas Ronald Tannur. Dari kiri: Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, Mangapul. Foto: Dok. ANTARA/Nur Aprilliana Br Sitorus/ PN Surabaya
zoom-in-whitePerbesar
Tiga hakim yang vonis bebas Ronald Tannur. Dari kiri: Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, Mangapul. Foto: Dok. ANTARA/Nur Aprilliana Br Sitorus/ PN Surabaya
ADVERTISEMENT
Penangkapan Zarof Ricar dan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap kembali masalah serius dalam peradilan Indonesia: keberadaan mafia peradilan yang melemahkan kredibilitas sistem hukum kita. Kejadian ini membuka tabir lemahnya pengawasan internal Mahkamah Agung serta urgensi reformasi yang komprehensif. Bagi masyarakat, kasus ini hanyalah satu dari serangkaian skandal yang mencederai kepercayaan terhadap institusi hukum. Tanpa reformasi yang nyata, sistem peradilan akan terus diwarnai praktik korup yang memperjualbelikan keadilan.
ADVERTISEMENT
Mafia peradilan—jaringan korup yang melibatkan hakim, jaksa, pengacara, dan aparat penegak hukum lainnya—menciptakan peluang untuk manipulasi hukum demi kepentingan tertentu. Menurut laporan dari Transparency International, indeks persepsi korupsi Indonesia masih rendah dibandingkan negara-negara tetangga, yang menandakan adanya persepsi kuat bahwa korupsi tetap merajalela dalam institusi-institusi vital, termasuk peradilan. Survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga menunjukkan penurunan tajam kepercayaan publik terhadap pengadilan, dengan lebih dari 50% responden meragukan integritas peradilan. Kondisi ini mengindikasikan adanya ketimpangan dalam akses keadilan di Indonesia, di mana keadilan hanya dapat diperoleh oleh mereka yang memiliki uang dan koneksi. Mafia peradilan menandai gejala akut yang membutuhkan langkah cepat dan menyeluruh.
Krisis Pengawasan dalam Mahkamah Agung
ADVERTISEMENT
Di tengah maraknya kasus korupsi yang melibatkan aparat peradilan, sistem pengawasan internal Mahkamah Agung seharusnya menjadi benteng terakhir untuk menjaga integritas. Namun, kenyataan menunjukkan sebaliknya. Penangkapan Zarof Ricar dan hakim lainnya mengungkap kelemahan struktural dalam pengawasan. Dr. Agus Surono, pakar hukum tata negara, menjelaskan bahwa kelemahan utama pengawasan ini disebabkan oleh rendahnya transparansi, lemahnya sanksi bagi pelanggar, serta independensi lembaga pengawas yang sering dipengaruhi oleh pihak berkepentingan. Mahkamah Agung tidak bisa lagi berfungsi hanya sebagai simbol keadilan; perlu ada reformasi struktural agar pengawasan berjalan sesuai fungsinya.
Kelemahan ini sebenarnya merupakan masalah laten yang telah mengakar. Transparansi yang minim dan sanksi yang tidak efektif menciptakan ruang bagi mafia peradilan untuk tumbuh subur. Jika pengawasan Mahkamah Agung tidak diperbaiki, maka penangkapan aparat peradilan hanya akan menjadi rangkaian kasus tanpa akhir. Sistem pengawasan yang lemah ini memberi peluang bagi praktik-praktik korupsi di semua lini, dari penanganan kasus-kasus kecil hingga kasus besar yang melibatkan kepentingan publik. Dengan lemahnya pengawasan ini, para aparat hukum yang korup merasa aman untuk menjalankan praktik-praktik yang mencederai keadilan.
ADVERTISEMENT
Kerusakan Kepercayaan Publik
Kepercayaan publik adalah fondasi utama dari sistem peradilan yang efektif. Tanpa kepercayaan, legitimasi institusi peradilan akan runtuh, membuat putusan pengadilan rentan diragukan oleh masyarakat. Masyarakat yang merasa terkhianati oleh sistem akan cenderung mencari jalan lain untuk mendapatkan keadilan, bahkan jika itu berarti menempuh jalur informal atau ilegal. Situasi ini berpotensi membentuk peradilan bayangan, yang tidak hanya berbahaya bagi hukum tetapi juga bagi stabilitas sosial di Indonesia.
Penurunan kepercayaan publik terhadap peradilan dapat memicu fenomena vigilante justice, di mana masyarakat mengambil tindakan sendiri untuk menyelesaikan konflik karena menganggap institusi resmi tidak dapat dipercaya. Ini adalah ancaman serius yang menggerogoti nilai-nilai hukum itu sendiri. Jika kasus mafia peradilan terus terjadi, maka persepsi publik terhadap hukum akan semakin memburuk, mengakibatkan krisis kepercayaan yang sulit dipulihkan.
ADVERTISEMENT
Langkah Reformasi Sistem Pengawasan
Reformasi pengawasan di Mahkamah Agung harus menjadi prioritas nasional. Beberapa langkah penting perlu diambil, termasuk peningkatan transparansi, penegakan sanksi yang tegas, serta pembangunan sistem akuntabilitas yang jelas. Penerapan teori “broken windows” dari George L. Kelling dan James Q. Wilson juga relevan dalam konteks ini. Teori ini menyatakan bahwa membiarkan pelanggaran kecil yang tidak dihukum akan membuka jalan bagi pelanggaran yang lebih besar. Dalam peradilan, membiarkan praktik korupsi kecil akan menciptakan budaya korupsi yang mengakar.
Langkah konkret yang bisa diambil meliputi peningkatan keterbukaan dalam proses pengawasan, pelatihan antikorupsi bagi para aparat hukum, dan penerapan sanksi yang lebih tegas. KPK dan Mahkamah Agung perlu bekerja sama untuk mengungkap mafia peradilan hingga ke akar-akarnya, bukan hanya menangkap oknum kecil. Selain itu, partisipasi masyarakat juga perlu diperkuat, misalnya melalui sistem pelaporan yang mudah diakses dan perlindungan bagi pelapor. Ini akan memberi sinyal tegas bahwa sistem hukum Indonesia berkomitmen untuk melakukan reformasi.
ADVERTISEMENT
Pembelajaran dari Kasus ‘Mani Pulite’ di Italia
Kasus ‘Mani Pulite’ atau ‘Clean Hands’ di Italia pada awal 1990-an adalah contoh reformasi peradilan yang sukses. Operasi ini berhasil membongkar jaringan korupsi besar-besaran yang melibatkan pejabat tinggi, pengusaha, hingga tokoh politik. Keberhasilan ini dicapai karena adanya komitmen yang kuat dari penegak hukum dan dukungan publik yang luas. Meski operasi tersebut menimbulkan kontroversi dan tantangan, namun mampu mengubah wajah sistem peradilan di Italia.
Indonesia dapat mengambil pelajaran dari ‘Mani Pulite’ bahwa reformasi peradilan harus dilakukan dengan komitmen penuh dan tanpa kompromi. Butuh keberanian dan keteguhan dari seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah, lembaga penegak hukum, dan media, untuk mendukung upaya pembersihan sistem hukum kita. Reformasi ini bukan hanya tentang menangkap pelaku korupsi, tetapi juga membangun budaya transparansi dan akuntabilitas dalam peradilan. Kasus ‘Mani Pulite’ mengajarkan bahwa reformasi harus menyentuh semua aspek, mulai dari hukum hingga etika, agar perubahan yang dihasilkan bersifat jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Saatnya Bergerak Demi Keadilan
Penangkapan Zarof Ricar dan hakim lainnya adalah momentum penting bagi Mahkamah Agung untuk melakukan pembenahan menyeluruh. Reformasi pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Ini bukan hanya tugas Mahkamah Agung, tetapi juga tanggung jawab pemerintah, KPK, dan masyarakat. Dengan langkah-langkah yang nyata, komitmen dari semua pihak, dan penegakan hukum yang konsisten, kita bisa membangun sistem peradilan yang tepercaya dan adil. Reformasi ini adalah fondasi bagi negara hukum yang kuat, di mana keadilan bisa diakses oleh setiap warga negara tanpa pengecualian.
Integritas sistem peradilan adalah elemen esensial dari negara hukum. Tanpa reformasi yang mendalam, kita hanya akan menyaksikan kasus-kasus serupa terulang, merusak kepercayaan publik, dan menjauhkan keadilan dari mereka yang paling membutuhkan. Masa depan Indonesia yang adil dan berintegritas hanya bisa dicapai melalui reformasi yang konsisten dan komprehensif, demi terciptanya keadilan bagi semua pihak.
ADVERTISEMENT