Konten dari Pengguna

Usulan Hak Angket MK Salah Alamat

Junet Hariyo Setiawan
Editor Yure Humano Journal of Law, Editor Ordonnantie and Delegatie Journal of Law, Penulis Buku Sejarah KAI 2021, Aktivis Literasi Hukum Indonesia
1 November 2023 9:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Junet Hariyo Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sidang Paripurna DPR RI (Foto: Viry Alifiyadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sidang Paripurna DPR RI (Foto: Viry Alifiyadi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia minimal Calon Presiden dan Wakil Presiden masih menjadi polemik dan semakin memanas ketika salah satu anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu, mengusulkan hak angket pada Rapat Paripurna DPR RI 31 Oktober 2023.
ADVERTISEMENT
Hak angket merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh DPR yang diberikan secara langsung dalam pasal 20A ayat (2) UUD 1945. Selanjutnya di dalam undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD menyatakan bahwa "Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan".
Konstruksi dari pasal di atas dapat dirinci setidaknya memiliki tiga unsur yaitu pertama, hak DPR untuk melakukan penyelidikan. Kedua, terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Membaca secara utuh pasal 79 ayat (3) di atas, maka dapat dikatakan bahwa usulan penggunaan hak angket dalam kasus ini adalah tindakan salah alamat. Objek hak angket seharusnya bukan MK yang merupakan bagian dari Yudikatif, hak angket seharusnya dilakukan pada objek pemerintah.
Objek hak angket ini dapat digunakan apabila pemerintah mengeluarkan kebijakan strategis dan penting yang berdampak luas kepada kehidupan masyarakat bangsa dan negara dan itu dinilai melanggar peraturan perundang-undangan. Di luar itu tidak tepat digunakan hak angket.
Maknanya adalah usulan angket terhadap MK adalah bentuk dari kegagalan dalam memahami dan memaknai pasal 79 ayat (3) UU No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Ajakan untuk menggulirkan hak angket, apalagi di tengah proses sidang Majelis Kehormatan MK beberapa hari ini seperti orang yang hampir tenggelam, apa pun kemudian dipegang asal selamat. Dalam konteks berpikir kritis, ajakan menggulirkan hak angket tersebut sama halnya dengan ajakan menggali kuburan bagi DPR.
ADVERTISEMENT

Intervensi Politik di Lembaga Peradilan

Ilustrasi KPK. Foto: Hedi/kumparan
Masih segera dalam ingatan masyarakat usulan kontroversial mengenai hak angket pernah terjadi pada tahun 2017 terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) buntut pernyataan penyidik KPK Novel Baswedan yang menyatakan bahwa anggota Komisi V DPR, Miryam S Haryani, ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengatakan fakta sebenarnya dalam korupsi pengadaan proyek KTI-elektronik.
Pelaksanaan angket ini memakan waktu yang panjang di mana terjadi perdebatan di kalangan masyarakat dan para pakar. Bahkan banyak pihak yang tidak menyetujui usulan angket terhadap KPK tersebut. Tetapi DPR menyatakan bahwa KPK merupakan objek hak angket dalam konteks pelaksanaan pengawasan UU No 30 tahun 2002.
Terdapat perbedaan signifikan antara kasus angket KPK dengan usulan angket terhadap Mahkamah Konstitusi ini di mana KPK bukan merupakan lembaga peradilan, terlebih KPK berada di dalam rumpun eksekutif. Bahkan untuk melakukan angket tersebut, DPR harus menunggu terlebih dulu putusan dari MK di mana KPK melalui lima orang pegawainya mengajukan materi judicial review soal keabsahan Panitia Angket DPR ke MK.
ADVERTISEMENT
Perdebatan tersebut berakhir pada MK menetapkan Putusan Nomor 40/PUU-XV/2017, MK menegaskan bahwasanya KPK termasuk lembaga eksekutif yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan notabene sebagai penunjang pemerintah serta melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai lembaga eksekutif.
Meskipun putusan telah final, dalam konteks pembahasan hukum, hal itu masih relevan untuk dikaji kembali karena Putusan tersebut bertentangan dengan beberapa putusan MK sebelumnya yang menyatakan bahwa KPK bukan bagian dari eksekutif.
Kasus angket tersebut sejatinya sarat dengan kepentingan politik serta menjadi bagian dari intervensi DPR terhadap lembaga yudikatif. Sama halnya dengan usulan angket terhadap MK saat ini juga menjadi bentuk intervensi dan sangat mengganggu independensi dan kemandirian MK terlebih lagi bahwa yang mengusulkan adalah anggota DPR dari PDI Perjuangan.
ADVERTISEMENT
Sejatinya campur tangan politik terhadap proses peradilan bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum yang dianut oleh Negara Republik Indonesia. Terdapat prinsip negara hukum salah satunya adalah tentang pembagian kekuasaan antar lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Maka argumentasi Masinton yang bahwa Putusan MK Nomor 40/PUU-XV/2017 juga melegitimasi angket terhadap MK adalah bentuk kejumudan pikir.

Mahkamah Konstitusi & Pemilu 2024

Suasana gedung MK jelang putusan sistem Pemilu, Kamis (15/6/2023). Foto: Luthfi Humam/kumparan
Berdasarkan pada pengamatan secara mendalam atas dugaan pelanggaran kode etik Hakim MK terutama yang dilakukan oleh Anwar Usman dalam putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 beberapa waktu lalu dapat dipahami bahwa semuanya hanya persoalan perebutan pengaruh dan elektabilitas menjelang Pemilu 2024 yang akan datang.
Dalam kesempatan lain penulis telah membuat penjelasan bahwa apa yang dituduhkan pada Anwar Usman tidak memiliki dasar hukum dan bukti-bukti yang jelas.
ADVERTISEMENT
Upaya judicial review terhadap Pasal 169 huruf (q) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum tidak dilakukan oleh Gibran Rakabuming, serta bukan dalam rangka untuk memuluskan jalan Gibran sebagai Calon Wakil Presiden.
Berdasarkan pada petitum, Gibran hanya menjadi salah satu dari sekian banyak tokoh yang dijadikan contoh oleh pemohon. Selain itu juga tidak ada berkas atau surat resmi yang berhubungan dengan pengangkatan Gibran sebagai Bakal Calon Wakil Presiden dari Partai Politik.
Maknanya adalah bahwa semuanya hanya didasarkan pada persepsi semu. Adapun setelah itu Gibran ditetapkan sebagai Calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto adalah persoalan lain, persoalan hak politik setiap warga negara Indonesia.
Upaya intervensi politik justru terjadi pasca putusan MK di mana beberapa kalangan kemudian menghubungkan proses putusan tersebut dengan conflict of interest serta bentuk dari praktik KKN, terlebih lagi muncul usulan angket dari anggota DPR RI yang notabenenya adalah kader PDI Perjuangan.
ADVERTISEMENT
Padahal saat ini sedang berlangsung sidang Mahkamah kehormatan MK untuk membuktikan perkara yang berkaitan. Mencampuradukkan masalah politik dengan peradilan merupakan tindakan yang berbahaya bagi keberlangsungan penegakan hukum Indonesia ke depan.
Cukup angkat terhadap KPK saja yang menjadi bagian dari kecelakaan sejarah, jangan sampai merembet ke Mahkamah Konstitusi. Bila usulan semacam ini kemudian ditindaklanjuti, maka dikhawatirkan bila sewaktu-waktu terdapat putusan yang tidak disukai oleh DPR, maka angket akan dengan mudah diusulkan.