Konten dari Pengguna

Yurisdiksi Hukum Adat dan Pelanggaran UU ITE

Junet Hariyo Setiawan
Editor Yure Humano Journal of Law, Editor Ordonnantie and Delegatie Journal of Law, Penulis Buku Sejarah KAI 2021, Aktivis Literasi Hukum Indonesia
2 Februari 2022 11:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Junet Hariyo Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Penegak Hukum (Desain Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Penegak Hukum (Desain Pribadi)
ADVERTISEMENT
Sejak disahkan pada tahun 2008, Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 telah menjerat banyak korban. Southeast Asia Freedom of Expression Network melaporkan sampai dengan tahun 2020 terdapat sebanyak 374 daftar kasus netizen yang terjerat UU ITE. Data terbaru juga dihimpun oleh Gatra, yang menyebutkan bahwa dari bulan Januari sampai September 2021, Kepolisian Republik Indonesia sedikitnya telah menerima 2.207 laporan terkait UU ITE. Angka yang tidak sedikit, dan angka tersebut terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
ADVERTISEMENT
Terdapat banyak larangan yang diatur di dalam UU ITE, mulai dari pasal asusila, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan atau pengancaman, penyebaran berita bohong dan hasutan kebencian, atau permusuhan yang berdasarkan atas Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
Tampaknya, selain berhubungan dengan perorangan, UU ITE juga berhubungan dengan kelompok-kelompok masyarakat. Hal tersebut terdapat di dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE yang berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA)”.
Sebagaimana bunyi pasal tersebut, dapat dipahami dengan jelas, bahwa UU ITE memasukkan SARA, sebuah akronim yang menjadi pokok konflik sosial yang sangat sensitif bagi sebagian besar publik. Barangkali, para penyusun Undang-Undang tersebut, punya tujuan untuk meminimalisir isu-isu dan konflik SARA, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, isu dan konflik yang bernuansa SARA semakin hari makin meningkat, utamanya dalam konteks UU ITE.
ADVERTISEMENT
Pasal 28 ayat 2 UU ITE tersebut menjadi pasal krusial dan menjerat banyak orang. Hal itu bukan merupakan persoalan berat bila perkara yang terjadi hanya pada tataran antar individu. Persoalan menjadi berbeda pada saat yang berperkara adalah kelompok masyarakat, dalam posisi sebagai pelaku maupun sebagai korban. Perbedaan masalah itu bukan terletak pada banyak dan sedikitnya orang yang terlibat, tetapi disebabkan oleh adanya hukum adat dan pemahaman tentang batas-batas hukum tersebut.

Tuntutan Hukum Adat

Barangkali, pada awal-awal pelaksanaan UU ITE, isu-isu dan kasus yang melibatkan keberadaan adat tidak banyak muncul di permukaan. Tentu saja karena yang terlibat dalam perkara adalah individu yang melahirkan defamasi. Tetapi, beberapa tahun belakangan, kita banyak menemukan kasus UU ITE yang melibatkan kelompok masyarakat tertentu dengan nuansa SARA.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan kasus yang demikian itu, kemudian muncul tuntutan-tuntutan dari masyarakat untuk mengadili pelaku berdasarkan hukum adat, bukan berdasarkan sanksi sebagaimana diatur dalam UU ITE. Ironisnya, tuntutan itu banyak mendapatkan dukungan masyarakat, dan jarang ditemukan komentar para pakar yang mencoba untuk mendudukkan hukum pada tempatnya.
Kita tentu masih ingat dengan komentar Ade Armando di media sosial (medsos) soal aplikasi “Alkitab berbahasa Minang” yang kemudian dilaporkan oleh Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari (Bakor KAN) ke Polisi. Tidak hanya itu, Ade Armando juga dituntut dengan ancaman hukum adat. Beberapa hari belakangan ini, media sosial dan media massa kembali digegerkan dengan kasus wartawan senior Edy Mulyadi yang dilaporkan ke Polisi, buntut pernyataannya tentang “tempat jin buang anak”, dengan dugaan telah melakukan penghinaan terhadap masyarakat Kalimantan. Terhadap kasus tersebut, Dewan Adat Dayak (DAD) juga meminta Majelis Adat Dayak Nasional, untuk menjatuhkan hukuman adat terhadap Edy Mulyadi.
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi, publik banyak mendukung usulan tersebut, tanpa ada yang memberikan komentar atau meluruskan. Bahkan kuasa hukumnya juga seperti mengamini tuntutan tersebut, dengan menyatakan bahwa kliennya siap menjalani hukum adat terkait dengan kasus yang menimpa kliennya. Terlepas apakah pernyataan itu merupakan bagian dari strategi meredam kemarahan massa, tetap saja harus ada yang menjelaskan tentang pemberlakuan hukum adat, agar ke depannya tidak terulang kasus serupa.

Yurisdiksi Hukum Adat

Seperti halnya pengaturan-pengaturan atau hukum pada umumnya, hukum adat memiliki unsur-unsur pembentuk, salah satunya adalah kawasan adat yang memiliki kedudukan penting di dalam hukum adat, karena berkorelasi secara langsung dengan pemberlakuan hukum adat itu sendiri.
Keberadaan kawasan adat tersebut kemudian akan menciptakan sebuah garis batas yurisdiksi dari pemberlakuan hukum adat yang berkaitan. Artinya adalah, bahwa hukum adat tersebut hanya berlaku di dalam masyarakat adat yang bersangkutan, tidak mencakup wilayah adat yang lain, apalagi mencakup semua masyarakat di dalam suatu negara. Ketentuan itu berlaku untuk semua aspek hukum adat, baik itu menyangkut pertanahan, asusila, kriminal dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan kasus Ade Armando dan Edy Mulyadi yang telah dikemukakan sebelumnya?. Dalam menyikapi kasus tersebut, pertama harus dilihat apakah yang bersangkutan “pelaku” atau terduga dan atau terdakwa merupakan anggota dari masyarakat adat yang menjadi penuntut atau dirugikan atau bukan. Kedua harus dilihat di manakah perbuatan yang dianggap melanggar hukum itu dilakukan, di dalam kawasan masyarakat adat atau diluar kawasan masyarakat adat terkait.
Berangkat dari argumentasi itu, dalam Kasus Ade Armando, masih dapat dipahami sebagai sesuatu yang logis, mengingat bahwa yang bersangkutan memiliki darah Minangkabau, meskipun saat kejadian, orang yang bersangkutan tinggal di luar wilayah adat (Jakarta). Apa yang dilakukan oleh Ade Armando itu, selain melanggar daripada UU ITE juga dapat disebut melanggar delik adat.
ADVERTISEMENT
Suepomo (1958) mengartikan delik adat sebagai perbuatan sepihak atau sekumpulan orang, mengancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dalam kehidupan persekutuan, baik bersifat material maupun immateriil terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan.
Maka yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari (Bakor KAN), adalah bentuk dari reaksi adat yang dipercaya dapat memulihkan keseimbangan yang terganggu. Akan tetapi, karena Ade Armando tidak memenuhi kehendak adat itu, maka Ade Armando dihukum dengan cara mencabut statusnya dari warga Minang. Seandainya kehendak adat tersebut dipenuhi, maka sanksi itu tidak serta merta menggugurkan jeratan UU ITE, sebab pelaporan yang dilakukan dengan menggunakan jeratan pasal-pasal dalam Undang-Undang ITE.
Kedua, dalam kasus Edy Mulyadi merupakan persoalan yang berbeda. Perbedaan itu disebabkan karena yang bersangkutan bukan bagian dari suku Dayak, sehingga tidak memiliki keterikatan dengan adat istiadat dan budaya Dayak. Selanjutnya, Edy Mulyadi juga tidak tinggal di wilayah hukum adat Dayak, serta perbuatannya dilakukan di luar yurisdiksi hukum adat Dayak. Dengan demikian maka, tuntutan penyelesaian kasus secara adat tidak dapat diberlakukan kepadanya.
ADVERTISEMENT
Maka satu-satunya hukum yang memiliki yurisdiksi dan mengikat bagi Edy Mulyadi adalah UUD 1945, terlepas dari perdebatan yang berkembang, dalam kapasitas apa Edy Mulyadi berbicara. Pertanyaan itu yang akan digunakan sebagai rujukan hukum lex spesialis, apakah yang bersangkutan akan diadili dengan UU ITE, atau dengan ketentuan UU No 40/199 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik dan peraturan peraturan Dewan Pers.
Pemahaman tentang yurisdiksi hukum adat ini sangat penting untuk dibahas, dalam kaitannya dengan pelanggaran terhadap UU ITE. Dengan pemahaman yang benar, maka akan memudahkan kita semua dalam mendudukkan hukum ke tempatnya masing-masing. Banyak orang tidak menyadari bahwa dalam akronim SARA itu juga ada Agama yang sudah barang tentu memiliki hukumnya sendiri. Maka, bila pelanggaran ITE bisa diadili dengan hukum adat, apakah hal yang sama juga berlaku bagi hukum agama, seandainya penghinaan itu dilakukan kepada Agama tertentu?.
ADVERTISEMENT
Tentu saja bila hal tersebut terjadi, maka tidak akan tercapai adanya keselarasan antara negara wilayah-wilayah yang berada di dalam kekuasaannya. Selain itu juga akan merusak tatanan sistem hukum yang ada di Indonesia dengan meniadakan perbedaan antara hukum tertulis dengan hukum yang tidak tertulis. Akhirnya, semuanya itu harus kita kembalikan pada tempat masing-masing seperti peribahasa jawa “Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata” yang bermakna bahwa setiap desa mempunyai adat sendiri, dan negara mempunyai hukum sendiri.