Konten dari Pengguna

Rayya, Komikus Cilik Jember yang Raih Kejuaraan Nasional hingga Internasional

Haryo Pamungkas
Majnun yang mencariMu. Mahasiswa FEB Universitas Jember dan asisten bidang IT dan Publikasi Imaji Sociopreneur.
15 Maret 2022 19:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Haryo Pamungkas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rayya saat proses membuat komik. Koleksi pribadi Gunawan Tri untuk Haryo Pamungkas.
zoom-in-whitePerbesar
Rayya saat proses membuat komik. Koleksi pribadi Gunawan Tri untuk Haryo Pamungkas.
ADVERTISEMENT
Usianya masih tergolong muda, namun lewat karya komiknya, Rayya Sri Sadana Al-Ayyubi, bocah 11 tahun asal Dusun Watukebo, Desa Andongsari, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember, Jawa Timur ini telah memenangkan berbagai kejuaraan. Beberapa di antaranya bahkan mencakup kejuaraan tingkat nasional dan internasional.
ADVERTISEMENT
Ketika saya berkunjung pada Minggu, 13 Maret 2022 pagi ke kediamannya, Rayya yang masih duduk di bangku kelas V di MI Muhammadiyah 1 Watukebo ini tengah mengikuti kelas minat dan bakat Imaji Academy yang rutin dilaksanakan tiap pekan di halaman belakang rumahnya.
Menjelang siang, ditemani desir angin sejuk yang turut menggerakkan dedaunan rimbun, barulah saya, Rayya, dan Gunawan Tri Pamungkas, orang tuanya, mulai mengobrol di bangunan mirip saung di halaman belakang. Tentang bagaimana mula-mula Rayya tertarik dalam dunia gambar dan komik, dukungan keluarga, buku-buku hingga impiannya untuk serius menekuni dunia komik ke depannya.
“Dulu, kata bapak aku mulai gambar-gambar dari usia tiga tahun. Tapi seingatku komik strip pertamaku jadi waktu TK,” ceritanya.
ADVERTISEMENT
Dengan segera tuturan Rayya diamini oleh Gunawan. Bapak tiga anak itu menambahkan, bakat menggambar Rayya memang sudah tampak sejak kecil. Bahkan, sebelum bisa membaca, Rayya sudah bisa menggambar berbagai bentuk.
“Ya, di usia tiga tahun memang Rayya sudah sering gambar-gambar, meskipun belum berbentuk utuh,” jelas Gunawan. Menyadari bakat itu, Gunawan kemudian menyediakan berbagai fasilitas pendukung untuk mengembangkan bakat putranya, termasuk mengenalkan Rayya dengan seni ilustrasi komik dan berbagai buku bacaan.
Rayya dan komiknya. Foto: Haryo Pamungkas
“Kebetulan rumah saya juga jadi TBM dan pusat pendidikan minat dan bakat anak, jadi akses Rayya ke buku cukup mudah. Meskipun, agaknya Rayya juga sering mendapatkan inspirasi dari lingkungan dan obrolan saya dengan kawan-kawan,” tambahnya.
Ketika saya bertanya seberapa sering Rayya membaca buku dan tema apa saja yang diminatinya, Rayya menjawab dengan mantap: sejarah dan evolusi manusia. Aduh, batin saya, sejujurnya saya cukup terperanjat mendengar jawaban itu. Di usianya sekarang, meskipun sebenarnya bukanlah sesuatu yang mengagetkan, Rayya telah melahap buku-buku yang sanggup membikin kepala orang dewasa macam saya pengar.
ADVERTISEMENT
Sapiens karya Yuval Noah Harari, misalnya, juga segenap buku-buku ‘babon’ lainnya. Rayya juga akrab dengan novel-novel Abinaya Ghina Jamela, penulis cilik asal Yogyakarta yang tak kalah berbakatnya. Bahkan, kini ia mengaku sedang membuat komik berdasarkan salah satu novel Abinaya.
Lepas dari itu, saya melihat sesuatu yang menarik dari obrolan kami. Bagaimana Rayya menginterpretasikan bacaan-bacaan babon itu dan menuangkannya lewat komik, juga, tentang suara murni anak-anak. Saya kira, bagian terpentingnya berada di sini: Sejak kecil Rayya sudah terbiasa menyuarakan apa-apa yang ia pikirkan lewat sebuah karya, dan suara murni ini, pada gilirannya bakal menjadi semacam penegasan untuk menonjok perut orang dewasa yang sering memicingkan mata terhadap apa-apa yang disampaikan anak-anak.
Seandainya napas kreatifnya ditakdirkan panjang, saya membayangkan Rayya kelak akan tumbuh menjadi seniman ilustrasi yang jempolan.
ADVERTISEMENT
“Boleh aku lihat karya-karya komiknya?” tanya saya, di sela-sela obrolan. Rayya kemudian beranjak, bergegas masuk ke rumahnya dan kembali dengan menenteng sketch book dan sejumlah map tebal. Karya-karya komiknya terkumpul di dalam sana.
Saat melihat-lihat karya Rayya, dugaan saya semakin membulat. Karya ini bagus bukan main, pikir saya, dan ini semacam gabungan antara kepolosan, satire, keluguan, dan kegelisahan murni dari kaca matanya yang ditujukan untuk orang dewasa yang membikin dunia kelewat rumit dengan hasrat dan ambisi tanpa ujung. Tidak bisa tidak, sebagai bagian dari orang dewasa yang keblinger, kepala saya seperti digodam oleh rasa bersalah.
Rayya dan komik 'Orang Utan Hijrah' karyanya. Foto: Haryo Pamungkas
Komik berjudul ‘Orang Utan Hijrah’, misalnya, yang mengantarkan Rayya masuk sebagai lima besar pemenang dalam Kontes Komik Strip tingkat Nasional dengan tema Hutan yang diselenggarakan hutanitu.id pada 2021, mengandung satire setajam katana para samurai.
ADVERTISEMENT
“Apa yang ingin disampaikan Rayya lewat komik ini?” tanya saya.
“Karena habitat orang utan makin hari makin hancur seiring pembabatan hutan sama cukong-cukong, jadi ada satu keluarga orang utan yang terdiri dari bapak, ibu, dan anaknya yang memutuskan buat hijrah. Tapi, bayi orang utan ini dititipkan dulu ke manusia sementara orang tuanya mencari-cari hutan baru. Tapi ternyata hutan-hutan sudah habis—gundul, jadi kedua orang tua orang utan itu tinggal di apartemen dan menyuruh si cukong dan ‘wong pinter’ buat jadi pelayannya,” terangnya.
Mendengar itu saya cukup terkejut. Satu. Dua. Tiga. Dada saya seperti ditonjok sekali lagi.
Saya menelan ludah dan berpura-pura terus mengamati komik itu. Minyak rambut saya ikut meleleh seiring keringat sebiji jagung yang bermunculan dan satu-satunya yang saya pikirkan saat itu cuma rasa bersalah yang kelewat penuh.
ADVERTISEMENT
Ini satire canggih yang membuat saya merenung dan berpikir sesampainya di rumah. Sementara kita, para orang dewasa terus membabat alam demi melayani kepentingan kapitalisme yang bobrok, ada sepasang mata kecil yang diam-diam melihat kelakuan itu dan dengan tegas menyatakan sikap bahwa hal itu keliru secara kreatif dan imajinatif.
Di sisi lain, anak orang utan yang dititipkan dalam cerita itu bisa juga adalah simbol dari harapan. Harapan dari kaca mata anak-anak agar para orang dewasa segera menyadari dan membenahi apa-apa yang mereka rusak sendiri sebelum semuanya terlambat.
Terima kasih, Rayya, terima kasih untuk harapan yang kamu titipkan. Teruslah menyampaikan apa-apa yang berkelindan dalam pikiran dan imajinasimu. Dan, tentu, terbanglah ke mana hati membawamu. Tabik. (*)
ADVERTISEMENT