Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
'Tabiat Buruk' Alek Sandra di Pameran Seni ARTiFacts Undiksha Bali
12 Januari 2022 13:45 WIB
Tulisan dari Haryo Pamungkas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika kita berkunjung ke Galeri Paduraksa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha, Bali, sekitar pukul 08.00 – 18.00 WITA antara 3 hingga 17 Januari 2022, besar kemungkinan seorang pria kurus dan berambut gondrong akan menyambut di pintu. Pria itu akan mengenalkan diri sebagai ‘Alek Sandra’ dan jika kita cukup jeli, kita akan langsung mengetahui asalnya lewat dialegnya yang kental.
ADVERTISEMENT
Alek adalah seniman muda, dan bersama 18 temannya di Program Studi Pendidikan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni, ia membikin pameran bertajuk ‘ARTifacts’ dan memamerkan sekitar 38 karya seni lukis, patung, grafis, kriya keramik, tekstil, dan prasi. Imran Hossen, seorang kurator asal Bangladesh memuji ARTifacts sebagai ‘pertunjukan karya seniman muda Bali yang jempolan’ dan ‘pameran ini merupakan salah satu pameran seni yang berkesan dari Bali’ serta ‘semua karya seninya memiliki makna implisit yang luar biasa.’
Di luar semua pujian itu, kelak, setelah mengobrol dengan pria gondrong lainnya bernama Putu Dika Pratama, kita akan mengetahui bahwa ARTifacts digelar sebagai tugas akhir mata kuliah studi khusus dan manajemen kuratorial namun bervisi lebih jauh dari sekadar ‘menggugurkan kewajiban prasyarat lulus mata kuliah’. Pameran ini, katanya, menjadi tonggak awal untuk menapaki dunia seni rupa dengan identitas dan karakter masing-masing.
ADVERTISEMENT
“Setelah ini, kami juga bakal menentukan satu bidang seni rupa untuk lebih didalami,” katanya. “Jadi ARTifacts ini semacam tonggak awal buat kami.”
Mendengar itu, kita patut mengacungi dua jempol dan ikut bersenang untuk gairah mereka, para seniman muda itu, seraya berharap nafas kreatif mereka juga bakal panjang.
Setelah mengenalkan diri, niscaya Alek akan unjuk diri untuk mengantarkan kita melihat-lihat koleksi. Bukan masalah jika kita sebetulnya tak terlalu mengerti bagaimana mestinya mengapresiasi karya seni, sebab kita memang hanya perlu menikmatinya. Jadi, baiklah, mari, mari kita masuk dan mulai melihat-lihat.
Di sana, kita bukanlah satu-satunya pengunjung. Pada ruangan berdinding putih itu, kita akan mendapati sekelompok pemuda yang tengah bercakap tentang sulaman ‘Marlena’ di satu sudut, atau seorang paruh baya mengangguk-angguk di depan karya batik ‘Keadilan’ atau pengunjung yang berfoto di samping ‘Angsa Berenang’. Tapi Alek akan mengantarkan kita menuju sudut yang lebih temaram. Di sana, terpacak dua lukisan dengan teknik wood cut berjudul ‘Tabiat Buruk 1’ dan ‘Tabiat Buruk 2’ dan di bawahnya tertulis ‘Alek Sandra.’
ADVERTISEMENT
Karya itu bikinin Alek, tentu saja, tapi ia tak banyak omong buat menjelaskan. Sambil meringis malu-malu dan menggasruk bagian belakang kepalanya berulang kali, ia cuma mengatakan bahwa karya itu dibikin pada 2021 dan tak bermaksud apa-apa. Kita mungkin sebal dan berhasrat menonjok perut dan sikap rendah dirinya, tapi sungguh, tidak ada satu pun karya seni yang tidak ‘bermaksud apa-apa’.
Barangkali, baik Tabiat Buruk 1 & 2 memiliki tema serupa: kekacauan akibat perang. Objek utama kedua karya itu pun sama, yakni pesawat tempur. Pada Tabiat Buruk 1, kita bakal melihat sebuah pesawat menembakkan misil ke objek bersenjata lain. Sedangkan pada Tabiat Buruk 2, sebuah pesawat dengan pabrik berasap di punggungnya tampak sedang menjatuhkan misil ke perkampungan dan itu bakal mengingatkan kita pada peristiwa jatuhnya fat man dan little boy di Nagasaki dan Hiroshima, Agustus 1945.
ADVERTISEMENT
Kita berdiam cukup lama dan menduga Alek sedang bermain-main dengan masa depan lewat karyanya.
Dalam catatan ‘Karya Rupa Generasi Mawas Diri’ yang dimuat di takanta.id pada 1 Januari lalu, Marlutfi Yoandinas menyebut "ada kehati-hatian yang teramat sangat" yang ditawarkan karya Alek.
Saya melihat, dari kedua karya itu, tersimpan suatu maksud untuk selalu mawas diri. Ada kehati-hatian yang bahkan teramat sangat.” Padahal bayangan kehancuran, keluluhlantakan, atau kekalahan sudah mendekati kepastian.
… “(tapi) semua tertahan. Dibekukan. Memberi ruang bagi kemungkinan. Sehingga kehancuran, keluluhlantakan, atau kekalahan bisa saja tidak terjadi.
Alek barangkali memang sedang memperingatkan bahwa masa depan bisa lebih gelap dan itu berarti kita mesti siap menyambut kehancuran-kehancuran dengan lapang. Bahwa kita mesti segera menghapus konsep ‘ideal’ dari kepala agar tetap waras. Barangkali, lewat karyanya, Alek hendak mengajak kita untuk bersiap dengan segala kemungkinan di masa depan. Masa depan baik atau buruk, tugas kita hari ini memang hanya ‘memberi ruang buat segenap kemungkinan’. Ya, hanya itu.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, kita ingin melanjutkan perjalanan, tapi mendadak kita mendengar suara pesawat tempur meraung-raung di langit. Sirine mirip suara banshee saat Jerman menggepur London melengking nyaring. Orang-orang berhamburan dan kilatan-kilatan mulai tampak dari kejauhan. Semuanya terjadi begitu cepat.
Oh, masa depan yang dikhawatirkan Alek itu telah datang. Tak apa, kita hanya perlu bergandengan dan menyambutnya dengan lapang. Mari, mari. *