Membaca Gaya Komunikasi Non-Verbal Pasangan Capres-Cawapres

Rudi Haryono
Dekan Fakultas Kesehatan dan Sains, Mahasiswa S3 Linguistik Terapan Bahasa Inggris UNIKA Atma Jaya Jakarta, Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Bogor Raya (UMBARA)
Konten dari Pengguna
30 Januari 2024 5:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rudi Haryono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bicara. Foto: aerogondo2/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bicara. Foto: aerogondo2/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Riuh rendah dan semarak kampanye pasangan capres-cawapres semakin ramai dan masif. Berbagai upaya simpatik terus dilakukan oleh para pasangan capres-cawapres dalam meraih suara rakyat dalam pencoblosan nanti 14 Februari 2024. Aneka warna pro-kontra terhadap gaya pasangan capres-cawapres di panggung kampanye pun bermunculan.
ADVERTISEMENT
Pro-kontra terhadap gimmick yang dilakukan terhadap komunikasi atau simbol non-verbal juga. Ada publik yang menilainya berlebihan dan biasa-biasa saja. Gimmick atau sederhananya cara atau upaya yang dilakukan untuk menarik perhatian publik dengan melakukan gerakan atau bahasa tubuh tertentu untuk menimbulkan respons dari orang lain dan meningkatkan daya tarik yang tersembunyi (Dictionary.com).
Penulis tertarik dengan fenomena komunikasi non-verbal secara umum yang ditampilkan oleh para pasangan capres-cawapres dalam berkampanye atau berkomunikasi non-verbal.

Efektivitas Komunikasi Non-Verbal

Sebagai makhluk sosial manusia memiliki kecenderungan untuk mau mengenal dan berinteraksi dengan individu lainnya. Penelitian ilmiah tentang komunikasi perilaku dan komunikasi non verbal manusia pertama kali dipublikasikan oleh Charles Darwin pada tahun 1872 dalam publikasinya yang berjudul " The Expressions of the Emotions in Man and Animals. " Mengacu kepada publikasi tersebut terdapat 9 jenis komunikasi non verbal yang dilakukan oleh manusia: raut wajah (facial expressions), isyarat tubuh (gestures), paralinguistics (suara atau vokal), body language, proxemic (tingkat/jarak berkomunikasi personal), eye gaze/haptic (sentuhan), appearance (penampilan), dan artifacts (benda atau gambar).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan jenis komunikasi non-verbal di atas, kita dapat menerjemahkan secara praktisnya dalam realitas kampanye pasangan capres-cawapres seperti senyuman, gelak tawa, joged, lambaian tangan dalam menyapa (waving), menari, raut muka, simbol jari, dan gerakan tubuh lainnya yang dilakukan oleh para pasangan capres-cawapres.
Menurut hemat penulis, efektivitas gaya komunikasi non-verbal yang digunakan dalam berkampanye oleh pasangan capres-cawapres bergantung kepada tingkat literasi, intelektualisme dan level edukasi pemilih atau audiens pada saat kampanye. Dalam konteks kampanye yang sifatnya kolosal dan berkerumun (crowd) dan outdoor maka komunikasi non-verbal dengan gaya yang fun dan menghibur lebih disukai oleh audiens.
Secara kesan pertama sebelum publik menyimak dari paparan lisan dalam kampanye atau debat, maka komunikasi non-verbal juga menjadi ukuran atau penilaian oleh sebagai bagian dari daya tarik (personal appeals) dari individu pasangan capres-cawapres.
ADVERTISEMENT
Senyuman, kontak mata dan raut muka menjadi etalase awal atau kawah candradimuka dari "strategi marketing" para pasangan capres-cawapres. Fakta menariknya, ternyata komunikasi non-verbal lebih efektif dan signifikan dalam menyampaikan makna (meaning) dan pesan (message) dari individu.
Hal tersebut berdasarkan hasil studi penelitian terhadap efektivitas komunikasi non-verbal bahwa 90 persen dari komunikasi non-verbal (non-verbal signals), bukan lisan, lebih membawa pengaruh atau efek dalam berkomunikasi (Guerero & Floyd, 2006). Hal tersebut juga berdampak kepada kesan, persepsi dan penilaian sikap (attitude) individu yang bersangkutan.
Hal tersebut dikarenakan komunikasi verbal (lisan/ucapan/tindak tutur) memiliki keterbatasan dalam menyampaikan pesan, konsep atau makna sebuah maksud (intention). Individu capres-cawapres yang murah senyum, ramah, humble, fleksibel, casual, dan akan cenderung disukai oleh publik, walaupun juga tentunya tidak 100 persen menjadi jaminan keberhasilan dalam menarik (attract) simpati dan preferensi masyarakat dalam memilih.
ADVERTISEMENT

Pentingnya Komunikasi Non-Verbal

Komunikasi yang baik tentunya harus terus dirawat, dikuatkan, dikonsolidasikan dan menjadi sebuah personal branding. Sebuah kontestasi pemilihan dimanapun levelnya adalah masalah gaya komunikasi dan strategi. Individu capres-cawapres harus smart dalam melakukan strategi komunikasi dan adaptif dengan situasi dan konteks forum yang dijalankan atau dilalui.
Kesalahan minor dalam berkomunikasi atau menjadi sebuah mistake dan menjadi bahan lelucon atau kampanye negatif oleh pengikut atau simpatisan tim pasangan capres-cawapres lainnya. Di tengah tengah rendezvous dan kecanggihan media sosial dan kecerdasan buatan (AI) maka sangat mudah bagi publik atau individu (buzzer) untuk "menggoreng" isu atau hal negatif dalam berkampanye.
Di tengah literasi masyarakat yang kurang baik dan masyarakat yang cenderung hobi menonton (viewing) gemar dengan sharing video-video editan yang mudah dikonstruksi sesuai selera, daripada budaya membaca (literasi). Pasangan capres-cawapres harus benar-benar dapat menampilkan cara berkomunikasi yang baik dan juga kematangan sikap dan emosi dalam setiap momen atau sesi publik yang mereka hadapi.
ADVERTISEMENT
Sebab, objek yang mereka hadapi adalah juga manusia yang sama-sama memiliki kesamaan dalam harkat dan martabatnya sebagai manusia, terlebih satu suara (vote) sangat berharga dalam proses pemilihan nanti. Satu suara adalah sama nilainya di bilik suara. Tidak membedakan apakah suara penguasa, pejabat atau rakyat jelata.