news-card-video
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Pengalaman Kunjungan ke Rumah Sakit Universitas Airlangga

haryveinthan
Seorang Mahasiswa di Universitas Airlangga
9 Desember 2024 17:54 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari haryveinthan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: Universitas Airlangga Official Website
zoom-in-whitePerbesar
sumber: Universitas Airlangga Official Website
ADVERTISEMENT
Sebagai bagian dari kurikulum komunikasi kesehatan dan pelayanan kesehatan dasar, kami diberi kesempatan untuk mengunjungi pusat pelayanan kesehatan sebagai bagian dari tugas kunjungan lapangan. Tujuan utamanya adalah untuk mengamati keterampilan komunikasi dan bentuk komunikasi yang digunakan di lingkungan sekitar, terutama berfokus pada interaksi verbal dan non-verbal karena hal ini memainkan peran penting untuk memastikan perawatan pasien yang efektif dan kolaborasi antarprofesi yang lancar.
ADVERTISEMENT
Layanan kesehatan yang saya kunjungi adalah rumah sakit pendidikan milik Universitas Airlangga yang dikenal sebagai RSUA. Ruang tunggu dipenuhi oleh pasien dari berbagai usia dan latar belakang yang menunggu giliran. Staf layanan kesehatan terdiri dari dokter, perawat, tenaga administrasi dan mahasiswa co-assistant. Tugas yang diberikan kepada saya adalah mengamati secara diam-diam bagaimana komunikasi mengalir di ruang yang sibuk ini.
Salah satu aspek yang paling mencolok dari komunikasi antara tenaga kesehatan dan pasien adalah bahasa yang jelas dan penuh empati. Sebagai contoh, seorang perawat yang sedang mengukur tanda-tanda vital pasien terlibat dalam percakapan yang hangat dan bersahabat. Ia bertanya, “Bagaimana perasaan Anda hari ini?” Dengan nada yang lembut, yang membantu meringankan kegugupan pasien. Namun, ada saat-saat ketika hambatan bahasa muncul. Seorang pasien yang berbicara bahasa Indonesia terbatas kesulitan memahami instruksi untuk tes diagnostik. Dokter mencoba yang terbaik untuk menggunakan kata-kata dan isyarat dasar, tetapi harus berbicara dengan teman-temannya untuk tujuan penerjemahan. Hal ini menyoroti tantangan untuk menyediakan komunikasi yang jelas dalam komunitas multibahasa.
ADVERTISEMENT
Yang tidak kalah pentingnya adalah isyarat non-verbal yang menyertai komunikasi verbal. Para profesional kesehatan sering menggunakan kontak mata untuk menyampaikan perhatian dan empati. Misalnya, ketika mendiskusikan masalah pasien, dokter mencondongkan tubuh sedikit ke depan dan mempertahankan kontak mata yang mantap, yang menandakan bahwa ia sepenuhnya terlibat. Senyuman, anggukan, dan gerakan meyakinkan, seperti sentuhan lembut di bahu, juga umum dilakukan. Tindakan-tindakan kecil ini tampaknya menciptakan rasa percaya dan kenyamanan bagi para pasien.
Sebaliknya, saya melihat beberapa contoh di mana isyarat non-verbal kurang positif. Seorang resepsionis muda tampak kewalahan dan menghindari kontak mata dengan pasien, yang menyebabkan kebingungan dan sedikit frustrasi bagi seorang pasien lansia yang mencoba menanyakan arah. Hal ini menggarisbawahi pentingnya komunikasi non-verbal yang konsisten, bahkan dalam situasi yang penuh tekanan.
ADVERTISEMENT
Komunikasi di antara para profesional kesehatan itu sendiri berjalan dengan efisien dan terarah. Selama pengamatan saya, saya menyaksikan konsultasi singkat antara perawat dan dokter mengenai hasil tes pasien. Perawat menyampaikan informasi secara ringkas, dan dokter merespons dengan instruksi yang jelas. Interaksi mereka ditandai dengan rasa saling menghormati dan profesionalisme.
Tenaga kesehatan juga berinteraksi dengan orang-orang yang bukan pasien langsung, seperti anggota keluarga atau mereka yang mencari informasi kesehatan secara umum. Seorang ibu yang menemani anaknya bertanya kepada perawat tentang jadwal vaksinasi. Perawat dengan sabar menjelaskan prosesnya, sambil menunjukkan bagan yang dicetak untuk memperjelas. Alat bantu visual seperti poster dan brosur di klinik semakin mendukung jenis komunikasi ini, melayani individu yang mungkin lebih suka membaca daripada mendengarkan.
ADVERTISEMENT
Yang menarik, saya memperhatikan bagaimana para profesional kesehatan menyesuaikan nada dan gaya mereka tergantung pada audiensnya. Dengan anak-anak, misalnya, staf menggunakan pendekatan yang ceria dan menyenangkan, sering kali membungkuk hingga sejajar dengan mata mereka. Untuk orang dewasa yang lebih tua, nada bicaranya lebih lambat dan lebih formal, untuk memastikan informasi yang disampaikan dapat dipahami sepenuhnya.
Mengamati komunikasi dalam layanan kesehatan menyoroti sifatnya yang beragam. Komunikasi verbal, meskipun penting, sering kali dilengkapi dengan isyarat non-verbal untuk memastikan kejelasan dan empati. Setiap interaksi-baik antara dokter dan pasien atau di antara rekan kerja-membutuhkan pendengaran aktif, kemampuan beradaptasi, dan rasa hormat. Saya juga menyadari bahwa kesalahan kecil dalam komunikasi dapat menyebabkan kesalahpahaman atau penundaan yang signifikan, sehingga menekankan perlunya kewaspadaan yang konstan dalam aspek ini.
ADVERTISEMENT
Salah satu momen yang paling menginspirasi selama kunjungan saya adalah ketika melihat seorang dokter meyakinkan seorang ibu yang khawatir tentang demam anaknya. Sikap tenang sang dokter, dikombinasikan dengan penjelasannya yang jelas, tampak meredakan kecemasannya. Hal ini memperkuat keyakinan saya akan kekuatan transformatif dari komunikasi yang penuh kasih sayang dalam pelayanan kesehatan.
Di sisi lain, tantangan yang saya amati, seperti kendala bahasa dan miskomunikasi yang kadang terjadi, menyoroti area-area yang perlu ditingkatkan. Pelatihan kompetensi budaya dan penggunaan teknologi, seperti aplikasi penerjemahan, dapat membantu mengatasi masalah ini secara efektif.
Kunjungan lapangan ke layanan kesehatan merupakan pengalaman yang membuka mata yang menggarisbawahi peran penting komunikasi dalam layanan kesehatan. Ini bukan hanya tentang bertukar informasi tetapi juga tentang membangun kepercayaan, mengurangi kecemasan, dan mendorong kolaborasi. Para profesional yang saya amati menunjukkan keseimbangan keterampilan verbal dan non-verbal yang patut dipuji, mengadaptasi pendekatan mereka agar sesuai dengan kebutuhan individu yang berbeda. Namun, tantangan yang sesekali muncul menjadi pengingat bahwa komunikasi yang efektif membutuhkan upaya dan adaptasi yang berkelanjutan. Pengalaman ini telah memperdalam apresiasi saya terhadap kompleksitas komunikasi perawatan kesehatan dan dampaknya terhadap hasil akhir pasien
ADVERTISEMENT