Perhutanan Sosial dan Keberdayaan Masyarakat dalam Mengelola Hutan

Hasantoha Adnan
Peneliti dan Fasilitator di Kemitraan/Partnership (www.kemitraan.or.id) yang fokus pada isu pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat
Konten dari Pengguna
2 September 2022 11:23 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hasantoha Adnan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bertandang ke Hutan Desa Way Kalam Rajabasa, Lampung Selatan.
Airterjun Anakan di Desa Way Kalam, Kawasan Hutan Lindung Register 3, Gunung Rajabasa. (foto Hasantoha Adnan)
Pernah gak Mas merasakan jadi orang kaya yang makmur, tiba-tiba jadi gak berpunya?” Tanya Pak Masdira, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Way Kalam membuka obrolan kami di Balai Desa Way Kalam, kec. Penengahan, Kab. Lampung Selatan. Pertanyaan itu membuat saya tercenung, apalagi ini kunjungan perdana saya dalam rangka Pelatihan bagi Pendamping untuk Program Penguatan Perhutanan Sosial di Indonesia (Strengthening Social Forestry [SSF]) regio Sumatera Barat dan Lampung yang berlangsung dari 24-30 Agustus 2022 untuk praktek lapangan di desa tersebut.
ADVERTISEMENT
Sambil menyeruput kopi, Pak Dira, demikian Ia biasa disapa, lalu bercerita panjang lebar tentang kampungnya yang pernah sangat makmur di periode 1970an hingga 90 awal. “Daerah Gunung Rajabasa ini dulu dikenal sebagai penghasil alpukat, durian, kopi, petai dan cengkeh. Makanya di sini banyak pendatang. Kakek Buyut saya merantau ke sini sejak 1912 dari Serang Banten. Ini lah awal muasal kami disebut sebagai jaseng, Jawa Serang. Ini membedakan pendatang dari Jawa Tengah atau Jawa Timur yang disebut sebagai kaum bagelen oleh orang asli Lampung,” paparnya.
Kala itu, yang mereka tahu ada kawasan hutan lindung yang sudah ditetapkan sejak jaman Belanda. Di bawah kawasan lindung itulah kemudian warga pribumi Lampung melakukan “umbul,” pembukaan lahan hutan untuk dijadikan repong atau kebun. Kebiasaan mereka sejak dulu adalah menanam beragam tanaman, baik tanaman pangan, semusim (buah-buahan) hingga kayu-kayuan. Antar kebun garapan warga, biasanya ditandai dengan pohon tomas atau pinang. Warga pendatang pun kemudian juga ikut mengolah areal ini. Ada yang menginduk kepada penduduk local, ada juga yang membeli, maupun diberi karena kemudian kawin mawin dengan penduduk pribumi Lampung.
ADVERTISEMENT
Ia melanjutkan bahwa dulu harum cengkeh di kaki gunung Rajabasa terkenal ke mana-mana. Letaknya yang strategis sebagai serambi Sumatera yang berjarak 30 menit dari Pelabuhan Bakauheni seolah mengundang banyak perantau untuk beradu nasib di sana. ”Saking makmurnya, ayah saya dulu punya pekerja sampai 40 orang. Kami bahkan sudah punya mobil gardan untuk mengangkut cengkeh dan hasil bumi lainnya dari wilayah gunung ke kota. Kala itu, 1 kg cengkeh kering setara dengan 2 gram emas,” lanjutnya.
Kebun repong, model wanatani (agroforestri) multistrata yang dikembangkan oleh masyarakat Way Kalam dalam mengelola hutan. (foto Hasantoha Adnan)
Tapi semua terhenti ketika tahun 1990an ada kebijakan pengaturan cengkeh oleh Badan Penyehatan dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Dengan sistem monopolinya, BPPC sewenang-wenang menentukan harga beli cengkeh dari petani semurah-murahnya dan menjual semahal-mahalnya ke pabrik rokok. Sejak itu harga cengkeh langsung terjun bebas. Apalagi tiba-tiba ada serangan hama tanaman. Beredar cerita bahwa kala itu ada pesawat kecil terbang rendah, seperti menebarkan sesuatu. Tak lama kemudian daun-daun cengkeh mengering, lalu mati. Karenanya banyak warga kemudian menebangi cengkehnya.
ADVERTISEMENT
Belum lepas urusan cengkeh, nasib warga makin terjepit, karena lahan-lahan repong yang mereka kelola, tiba-tiba dijadikan sebagai kawasan hutan lindung register 3. Sebelumnya di areal tersebut pada tahun 1980an dijadikan areal reboisasi. Mereka masih diperkenankan menanam tanaman musiman, tapi diwajibkan menanam sonokeling, jati, dadap, dan kaliandra. Kecuali kaliandra mereka tidak keberatan menanaminya, karena bisa menjadi naungan bagi tanaman kopi, cengkeh, pala, durian, maupun tanaman semusim seperti jagung, pisang, papaya. Namun untuk kaliandra, karena sifatnya invasif dan cepat menyebar, akhirnya mereka musnahkan.
Dengan dijadikan hutan lindung, warga tidak bisa lagi memanfaatkan lahan tersebut, khususnya untuk tanaman semusim. Meski begitu, tak jarang mereka kucing-kucingan dengan petugas dengan tetap menanaminya, “namanya orang butuh makan, tanam saja jagung. yah kalau apes, paling dimusnahkan tanamannya,” begitu kisah Pak Zainal, Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) untuk kopi.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2008, melalui pendampingan Wanacala dan Walhi Lampung, mereka mendapat pemahaman mengenai kepastian akses kelola kawasan hutan kepada masyarakat melalui skema Sistem Hutan Kerakyatan (SHK). Pendampingan itu berlanjut hingga tahun 2014. Dan baru mendapatkan izin pada Maret 2017 untuk pengelolaan Hutan Desa seluas 120ha di kawasan hutan Lindung register 3 Gunung Rajabasa.
Melalui pendampingan itu, perlahan tapi pasti, warga Way Kalam kembali bangkit mengembangkan beraneka ragam komoditas hasil hutan bukan kayu. Pak Zainal berkisah, saat ini dari 100an anggota Kelompok Perhutanan Sosial (KPS), yang bergabung menjadi anggota KUPS Kopi baru 14 orang. “Baru sedikit, karna kami menyepakati persyaratan tidak boleh pake pupuk kimia, petik panennya biji yang merah dan pengeringannya harus maksimal. Tidak semua anggota KPS siap dengan syarat seperti itu,” katanya.
ADVERTISEMENT
Biji kopi yang dipetik merah, lalu dijemur selama minimal 7 hari hingga kering. “Keringnya harus sempurna, supaya bisa disimpan hingga 10 tahun,” lanjutnya. Biji kopi yang telah kering lalu disimpan ke dalam karung dan ditumpuk di ruang penyimpanan. “Semakin lama disimpan, semakin enak kopinya, Mas,” katanya membuka rahasia keunikan kopi olahannya.
Ia biasa menyangrai kopi ketika ada permintaan. Kalau permintaan-nya hanya 2-5kg biji kopi, biasanya Ia menyangrai dengan tungku. Tapi jika permintaan banyak, ia menggunakan drum. Rata-rata penyangraian memakan waktu hingga 1,5jam. Kopi yang telah disangrai lalu ditumbuk hingga menjadi bubuk halus.
Meski begitu Ia dan kelompoknya tetap jalan dan mengusung “Kopi Herbal” sebagai branding produknya. Hasilnya cukup menjanjikan, dalam sebulan Ia bisa menjual 100kg kopi robusta special, dengan harga Rp.120.000/kg. Pembelinya selain warga sekitar, kedai-kedai kopi di sekitaran Bandar Lampung hingga Kalianda dan Bakauheni, dan tidak sedikit juga pembeli via online.
ADVERTISEMENT
Selain kopi, juga tengah dikembangkan produk gula aren semut, wedang jahe (jahe + aren) serta aneka kripik, kegiatan ini banyak melibatkan kaum perempuan dalam produksinya.
Berbagai produk hasil hutan bukan kayu yang tengah dikembangkan oleh masyarakat pengelola hutan desa Way Kalam. (foto Hasantoha Adnan)
Mereka juga menata air terjun yang terdiri air terjun Anakan dan air terjun Indukan. Air terjun Anakan ketinggiannya 3 meter, letaknya yang dekat dengan pemukiman lebih mudah untuk dijangkau sangat cocok untuk membawa keluarga dan anak-anak kecil. Sedangkan air terjun Indukan, ketinggiannya mencapai 8 meter dan posisinya jauh dari pemukiman dengan jalan terjal, cocok bagi mereka yang suka adventurer.
Suara gemuruh air dilingkupi pepohon menjulang tinggi menjadi habitat alami bagi satwa liar dan dilindungi, seperti siamang (Hylobates syndactylus), owa (Hylobates agilis), kera ekor panjang (Macaca fasicularis), macan dahan (Neofelis nebulusa), beruang madu (Helarctos malayanus), trenggiling (Manis javanica) dan rusa (Cervus unicolor). Tak jarang suara siamang membahana disenyapnya hutan alam itu.
ADVERTISEMENT
Bersama Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Way Kalam, mereka menjadikan air terjun sebagai pusat atraksi eko wisata dengan membangun berbagai fasilitas, seperti pengerasan jalan menuju lokasi, kamar mandi, saung-saung, area parkiran, hingga pemandu. Upaya ini berbuah manis, pada tahun 2019, sebanyak 5.000 wisatawan local berwisata ke kedua air terjun. Bahkan selama masa pandemic kemarin, tercatat 3000 wisatawan yang berkunjung.
Suasana alami yang terjaga menjadi habitat asli aneka satwa liar yang dilindungi. Seperti siamang (Hylobates syndactylus), owa (Hylobates agilis), kera ekor panjang (Macaca fasicularis), macan dahan (Neofelis nebulusa), beruang madu (Helarctos malayanus), trenggiling (Manis javanica) dan rusa (Cervus unicolor). Tak jarang suara siamang membahana disenyapnya hutan alam ini. (foto Hasantoha Adnan)
Tahun ini, untuk meningkatkan jumlah kunjungan, bekerjasama dengan UPTD KPH Way Pisang Dinas Kehutanan Propinsi Lampung dalam rangka memeriahkan Festival Wisata Hutan Lampung Tahun 2022, LPHD Way Kalam menggelar Lomba Foto Selfie Wisata Hutan Way Kalam yang berlangsung mulai dari tanggal 18 Juli hingga 27 Agustus 2022.
Di tahun ini pula, bersama dengan Pokdarwis, mereka mengembang-kan konsep Desa Wisata. Bekerjasama dengan jaringan hotel OYO homes, mereka mulai menyediakan jasa penginapan. Setidaknya sudah ada 50 rumah yang telah siap untuk menampung tamu yang akan menginap dengan harga terjangkau.
ADVERTISEMENT
Selama di Way Kalam, saya menginap di homestay yang dikelola pasangan Pak Asbunar dan Bu Susi. Kamar kami sederhana namun cukup resik. Handuk, air mineral dan sarapan pagi khas rumahan disediakan bagi kami. Yang tak kalah menarik adalah aneka obrolan tentang sejarah kampung, suka-duka menjadi petani dan usaha kopi yang mereka geluti. Selama obrolan, aroma kopi disangrai menemani kami.
Atas geliat tersebut, tak mengherankan jika pada 18 Agustus 2022 yang lalu, LPHD Way Kalam mendapatkan penghargaan Wana Lestari dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai Pemegang Persetujuan Hutan Desa terbaik se-Indonesia yang diserahkan dalam Peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-77 di Arboretum Manggala Wanabakti, Jakarta. Atas prestasi tersebut Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Lampung Selatan akan menjadikan Desa Way Kalam sebagai prioritas destinasi wisata percontohan kehutanan.
ADVERTISEMENT
Saya gak menyangka, apa yang kami lakukan baru segini, masih jauh dari apa yang kami impikan, tapi apresiasi dari Pemerintah demikian luar biasa. Semoga ini bisa menginspirasi desa-desa tetangga untuk mau menjaga alam,” tuturnya.
Di kabut tipis yang perlahan turun dari puncak gunung Rajabasa, guratan keras wajah pak Dira berakhir dengan senyum sumringah. Sebuah apresiasi yang bermakna bagi warga Way Kalam sekaligus membuktikan, Perhutanan Sosial tidak hanya memberikan akses legal masyarakat untuk melestarikan hutan dan mensejahterakan masyarakat, tapi juga memberdayakannya!
Banyak keluarga di Desa Way Kalam yang menggantungkan hidupnya dari memanfaatkan hutan sebagai kebun repong. (foto Hasantoha Adnan)