Konten dari Pengguna

Pendidikan Islam: Dilema Melanjutkan Studi ke Jenjang Perguruan Tinggi

Hasby Cholili
Mahasiswa Dirasat Islamiyah UIN Jakarta
6 Mei 2024 8:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hasby Cholili tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu pilihan penting dalam hidup adalah memutuskan apakah melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau tidak. Namun, keputusan ini tidaklah mudah. Jika seseorang memilih untuk melanjutkan studinya, ia harus memikirkan bagaimana mengaplikasikan ilmunya agar dapat berkontribusi secara produktif. Oleh karena itu, jurusan dengan tingkat keketatan yang tinggi menjadi pilihan utama di setiap kampus dan universitas.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, jika seseorang memilih untuk tidak melanjutkan studi dan memilih membantu pekerjaan orang tua, potensi untuk memperoleh kemampuan dan gelar yang berguna di dunia kerja akan terlewatkan. Oleh karena itu, banyak orang tua yang berusaha keras agar anak-anak mereka melanjutkan ke perguruan tinggi, menyadari bahwa kesempatan dan keterampilan yang ditawarkan akan sangat berguna bagi masa depan sang anak.
Namun, mengapa isu pendidikan selalu terkait erat dengan ekonomi dan finansial? Hasil survei United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa 74 persen anak-anak di Indonesia putus sekolah karena masalah keuangan atau keterbatasan biaya. Meskipun survei ini fokus pada anak-anak sekolah dasar dan menengah, data tersebut masih relevan untuk perbandingan dengan dunia perguruan tinggi, mengingat biaya pendidikan yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Biaya pendidikan yang tinggi menjadi hambatan utama bagi mereka yang ingin melanjutkan studi, memengaruhi orientasi dan arah pendidikan mereka. Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan keilmuan seringkali dianggap sebagai investasi bagi orang tua. Hal ini menyebabkan kekhawatiran pada kemampuan dan potensi anak dalam menanggung beban tersebut, sehingga narasi bahwa pendidikan tinggi tidak berguna dan sia-sia pun muncul.
Seorang anak laki laki sedang merasakan kebingungan. Foto : PXHERE / Mbpogue

Namun, bagaimana seharusnya pendidikan dalam konteks Islam?

Berbeda dengan pendidikan konvensional yang menekankan pada aspek akademik dan pengembangan minat bakat, pendidikan Islam lebih menitikberatkan pada pembentukan karakter dan akhlak. Islam meyakini bahwa akhlak merupakan pondasi utama dalam pendidikan. Menurut Ibnu Miskaweih, akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong seseorang untuk berperilaku tanpa pertimbangan. Islam juga menekankan pentingnya pembelajaran melalui kesalahan, di mana seseorang tetap mendapatkan pahala atas usahanya dalam menimba ilmu.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, Islam tidak menafikan pentingnya menimba ilmu. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,
" حديث اطلبوا العلم ولو بالصين"
"Tuntutlah ilmu walaupun sama negeri Cina."
Dengan demikian, melanjutkan studi ke perguruan tinggi sangat dianjurkan dalam Islam, karena selain belajar dan menuntut ilmu, perguruan tinggi juga membuka kesempatan yang unik dan menawarkan ruang eksplorasi diri.
Dunia perkuliahan juga memberikan pengalaman pembelajaran yang mandiri, di mana mahasiswa diberi kesempatan untuk bertanggung jawab atas pilihan-pilihan mereka. Hal ini sangat membantu bagi kalangan santri yang terbiasa dengan kehidupan asrama, karena mereka telah terlatih dalam kemandirian selama di pondok pesantren.
Pola pendidikan di perguruan tinggi, yang mendorong mahasiswa untuk aktif dalam presentasi dan penulisan karya ilmiah, juga memperkaya kehidupan mereka. Mereka menyadari bahwa menyampaikan ilmu melalui presentasi dan tulisan berbeda dengan hanya mendengarkan saja. Dengan demikian, pemahaman mereka terhadap ilmu pun berkembang dengan pesat.
ADVERTISEMENT
Sangat penting untuk dipahami bahwa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi bukan hanya dianjurkan bagi mereka yang masih muda, tetapi juga bagi mereka yang memiliki kemampuan dan kesempatan untuk melakukannya, meskipun tidak lagi dalam usia muda. Oleh karena itu, memasuki dunia perkuliahan adalah pilihan yang patut dipertimbangkan, asalkan dijalani dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, bukan sekadar "bermain-main."

Namun, bukankah Belajar bisa di mana saja?

Pernyataan tersebut memang sekilas terlihat bisa membuat pemikiran kita berfikir bahwa dunia perkuliahan tidak begitu dibutuhkan. Namun, kesempatan yang ditawarkan oleh perkuliahan terkait penelitian dan bertemu dengan para professional semacam sebuah privilege yang tak bisa ditolak. Belajar dari para ahli yang sudah diakui dan bergelar kemampuannya benar benar akan sangat membantu perjalanan pendidikan seseorang kedepannya. Jika belajar adalah sesuatu hal yang bisa dilakukan di mana saja, lantas apakah bertemu dengan para ahli dan professional bisa dilakukan di mana saja?
ADVERTISEMENT
Hal ini sesuai dengan pernyataan Asy Syatibi dalam kitab Muwafaqat :
من أنفع طرق العلم الموصلة إلى غاية التحقق به أخذه عن أهله المتحققين به على الكمال والتمام
“Di antara jalan untuk mencari ilmu yang dapat mengantarkan pelajar ke ujung kepakaran dalam bidangnya adalah mengambil ilmu dari ahli/pakar yang telah membidangi ilmu tersebut secara sempurna dan menyeluruh”
Selain itu, Para mahasiswa diajarkan untuk belajar menciptakan sesuatu dan bukan lagi hanya diam mendengarkan. Mereka diajarkan untuk mulai memikirkan inovasi apa yang mereka bisa kontribusikan terhadap masyarakat di Indonesia. Itulah mengapa waktu yang dihabiskan untuk berdiskusi dan bertanya harusnya lebih banyak dibandingkan waktu para mahasiswa untuk presentasi. Tentu saja waktu itu diberikan agar memberi ruang para mahasiswa untuk mengumpulkan opini dan kreasi yang sangat sulit mereka dapatkan di luar perkuliahan.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar perguruan tinggi juga memberikan fasilitas yang sangat memadai untuk memaksimalkan daya kreativitas para mahasiswa, seperti ruang lab dan penelitian. Tak jarang kita mendengar kata “penelitian” yang selalu melekat dengan kata “universitas” sebagai gambaran korelasi yang kuat diantara keduanya. Sementara itu, daya nalar kritis yang terbiasa dilakukan dalam kegiatan perkuliahan akan membuat perbedaan yang sangat jauh dengan mereka yang tidak belajar di perkuliahan. Oleh karena itu, pernyataan dinilai sangat tidak relevan.