Konten dari Pengguna

Membangun Tembok Tak Terlihat: Zero Trust dalam Dunia Siber

Hasdi Putra
Dosen Fakultas Teknologi Informasi Universitas Andalas, Anggota Dewan Pakar Smart City
8 Oktober 2024 12:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hasdi Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di era digital saat ini, ancaman keamanan siber telah berkembang menjadi salah satu isu paling mendesak di seluruh dunia. Serangan siber seperti pencurian data, ransomware, dan phishing semakin sering terjadi, menargetkan berbagai sektor, mulai dari bisnis kecil hingga infrastruktur negara. Tahun 2023 mencatat peningkatan signifikan dalam jumlah serangan siber global, dengan kerugian ekonomi yang diakibatkan mencapai miliaran dolar. Di Indonesia sendiri, data dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menunjukkan lebih dari 1,6 miliar upaya serangan siber terjadi pada tahun 2022. Angka ini menjadi peringatan bahwa perusahaan, pemerintah, dan individu perlu merespons ancaman ini dengan lebih serius.
Ilustrasi Zero Trust dalam dunia siber. Foto: Freepik
Salah satu pendekatan keamanan yang kini semakin relevan dalam menghadapi ancaman ini adalah model Zero Trust. Konsep ini, yang pertama kali diperkenalkan oleh Forrester Research pada tahun 2010, tidak lagi mengandalkan perimeter keamanan tradisional seperti jaringan internal atau firewall. Sebaliknya, Zero Trust bekerja dengan asumsi bahwa tidak ada entitas yang bisa dipercaya tanpa verifikasi, baik yang berasal dari luar maupun dalam jaringan. Dengan kata lain, akses harus selalu divalidasi, diverifikasi, dan dibatasi berdasarkan kebutuhan.
ADVERTISEMENT

Mengapa Zero Trust Menjadi Solusi Utama?

Tradisionalnya, sistem keamanan berbasis perimeter fokus pada menjaga jaringan internal dari ancaman luar. Model ini bertumpu pada asumsi bahwa entitas yang berada di dalam jaringan perusahaan lebih bisa dipercaya dibandingkan yang berada di luar. Namun, dengan semakin maraknya adopsi teknologi cloud, remote working, serta perangkat IoT (Internet of Things), batasan antara jaringan internal dan eksternal menjadi kabur. Dalam kondisi ini, semakin sulit bagi organisasi untuk memastikan bahwa entitas yang berada di dalam jaringan benar-benar dapat dipercaya. Hal ini diperburuk dengan fakta bahwa ancaman internal (insider threats) juga semakin meningkat.
Menurut laporan IBM Cost of a Data Breach Report tahun 2023, sekitar 25% pelanggaran data berasal dari ancaman internal, baik yang disengaja maupun tidak. Insiden ini sering kali disebabkan oleh kecerobohan karyawan, perangkat yang hilang, atau pencurian kredensial. Dengan situasi yang kompleks ini, model Zero Trust menawarkan pendekatan yang lebih adaptif dan berlapis.
ADVERTISEMENT
Prinsip utama dari Zero Trust adalah "Jangan percaya siapa pun, verifikasi semuanya." Artinya, setiap kali ada permintaan akses ke data atau sistem, baik dari dalam maupun luar, sistem akan melakukan verifikasi secara ketat. Hal ini mencakup autentikasi multi-faktor (multi-factor authentication atau MFA), enkripsi data, serta monitoring akses yang berkelanjutan. Pendekatan ini memungkinkan perusahaan untuk merespons ancaman dengan lebih cepat dan efisien.

Implementasi Zero Trust dalam Lingkungan Cloud

Salah satu pendorong utama adopsi Zero Trust adalah meningkatnya penggunaan cloud computing di berbagai industri. Layanan cloud memungkinkan perusahaan untuk menyimpan dan mengakses data dari mana saja, namun juga menghadirkan tantangan baru dalam hal keamanan. Data yang tersebar di berbagai layanan cloud publik dan pribadi, serta akses yang dapat dilakukan dari berbagai perangkat, menjadikan perlindungan data semakin kompleks.
ADVERTISEMENT
Data dari Gartner memperkirakan bahwa pada tahun 2025, 80% organisasi akan menerapkan strategi Zero Trust untuk melindungi data mereka di cloud. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah pelanggaran data yang melibatkan penyimpanan dan transfer data di cloud. Contohnya, pada tahun 2022, pelanggaran besar terjadi di layanan cloud populer seperti AWS dan Microsoft Azure, yang menunjukkan betapa rentannya data di lingkungan cloud jika tidak dilindungi dengan strategi keamanan yang tepat.
Zero Trust menawarkan solusi dengan memastikan bahwa setiap permintaan akses ke data cloud melalui proses autentikasi dan otorisasi yang ketat. Selain itu, enkripsi data di berbagai tahap (baik saat diam maupun saat bergerak) dan penerapan prinsip least privilege access menjadi komponen penting dari Zero Trust dalam cloud. Dengan kata lain, hanya entitas yang benar-benar memerlukan akses yang diizinkan untuk melihat atau mengelola data tertentu, dan setiap akses tersebut harus dilacak dan dimonitor.
ADVERTISEMENT

Tantangan dalam Menerapkan Zero Trust

Meskipun Zero Trust menawarkan banyak keuntungan, implementasinya bukan tanpa tantangan. Salah satu kendala utama adalah kebutuhan untuk mengubah paradigma keamanan yang sudah lama diterapkan. Organisasi perlu merancang ulang strategi keamanan mereka secara menyeluruh, yang sering kali melibatkan investasi besar dalam infrastruktur IT dan pelatihan sumber daya manusia.
Selain itu, adopsi Zero Trust membutuhkan keterlibatan penuh dari seluruh lapisan organisasi, bukan hanya dari tim IT. Menurut Cybersecurity Insiders, sekitar 53% organisasi mengaku menghadapi tantangan dalam membangun budaya keamanan yang mendukung Zero Trust, terutama dalam hal kesadaran karyawan terhadap pentingnya verifikasi berlapis dalam setiap aktivitas mereka.
Namun, investasi ini sebanding dengan manfaat jangka panjang yang ditawarkan. Sebuah laporan dari Ponemon Institute menyebutkan bahwa organisasi yang menerapkan Zero Trust berhasil mengurangi risiko pelanggaran data hingga 40% dibandingkan dengan organisasi yang masih menggunakan pendekatan keamanan tradisional. Di Indonesia, pemerintah juga mulai mengadopsi pendekatan ini, terutama dalam menjaga keamanan data publik dan infrastruktur penting. BSSN mencatat bahwa pada 2023, lebih dari 25% instansi pemerintah sudah mulai menerapkan model Zero Trust dalam strategi keamanan mereka.
ADVERTISEMENT

Masa Depan Zero Trust

Dengan semakin berkembangnya teknologi seperti 5G, IoT, dan AI, ancaman siber juga akan semakin kompleks. Di masa depan, Zero Trust tidak hanya akan menjadi standar dalam perlindungan data di cloud, tetapi juga dalam pengelolaan perangkat IoT dan lingkungan kerja yang terhubung. Selain itu, Zero Trust akan menjadi bagian integral dari strategi keamanan siber untuk industri-industri kritis seperti perbankan, kesehatan, dan energi, di mana pelanggaran data dapat menimbulkan konsekuensi yang sangat serius.
Sebagai langkah proaktif, perusahaan harus mulai mempertimbangkan penerapan Zero Trust sedini mungkin untuk melindungi data mereka di era digital ini. Dengan membangun "tembok tak terlihat" yang selalu siap menjaga dan memverifikasi setiap akses, Zero Trust akan menjadi fondasi bagi keamanan siber yang lebih kuat dan lebih adaptif di masa depan.
ADVERTISEMENT