Konten dari Pengguna

Mendorong Revolusi Energi Hijau: Masa Depan Tanpa Emisi

Hasdi Putra
Dosen Fakultas Teknologi Informasi Universitas Andalas, Anggota Dewan Pakar Smart City
23 September 2024 9:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hasdi Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat ini, kita berada di titik kritis dalam sejarah peradaban manusia. Perubahan iklim bukan lagi ancaman samar di cakrawala, melainkan realitas yang kita hadapi setiap hari. Banjir bandang, kekeringan berkepanjangan, dan cuaca ekstrem telah menjadi berita utama di berbagai penjuru dunia. Di tengah krisis ini, revolusi energi hijau muncul sebagai cahaya harapan, menjanjikan masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Ilustrasi Green Energy. Foto: Freepik
Bayangkan sebuah Indonesia di masa depan, di mana udara yang kita hirup bersih tanpa polutan, langit biru cerah tanpa kabut asap, dan laut yang jernih tanpa tumpahan minyak. Inilah visi "Masa Depan Tanpa Emisi" yang harus kita perjuangkan. Laporan terbaru dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menegaskan bahwa untuk mencapai target nol emisi pada tahun 2050, kita harus mengurangi emisi global sebesar 45% pada tahun 2030 dibandingkan level 2010. Bagi Indonesia, ini berarti transformasi radikal dalam cara kita menghasilkan dan mengonsumsi energi. Pembangkit listrik tenaga surya mengapung di danau-danau bekas tambang, kendaraan listrik yang senyap melintasi jalan-jalan kota, dan rumah-rumah pintar yang menghasilkan energi sendiri bukanlah angan-angan belaka, melainkan gambaran nyata masa depan yang bisa kita wujudkan.
ADVERTISEMENT
Untuk merealisasikan visi ini, kita perlu memanfaatkan sepenuhnya potensi inovasi teknologi yang terus berkembang. Hidrogen hijau, misalnya, menawarkan solusi penyimpanan energi jangka panjang dan bahan bakar bersih untuk industri berat. Sementara itu, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) dapat membantu mengurangi emisi dari sektor-sektor yang sulit didekarbonisasi. Di sisi lain, pengembangan smart grid akan memungkinkan integrasi yang lebih efisien dari sumber-sumber energi terbarukan yang bersifat intermiten. Yang dibutuhkan sekarang adalah tekad kuat dan tindakan nyata dari setiap lapisan masyarakat. Pemerintah harus mempercepat implementasi kebijakan yang mendukung energi bersih, sektor swasta perlu berinvestasi lebih agresif dalam teknologi hijau, dan masyarakat harus siap mengadopsi gaya hidup yang lebih berkelanjutan. Hanya dengan upaya bersama inilah kita dapat mewujudkan masa depan tanpa emisi yang kita impikan.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki peran krusial dalam upaya global mengatasi krisis iklim. Kita tidak bisa lagi berpangku tangan, menunggu negara lain mengambil tindakan. Sudah saatnya kita menjadi pelopor dalam transisi menuju energi bersih.
Data terbaru dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan bahwa hingga akhir tahun 2023, porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional baru mencapai 14,5%. Angka ini masih jauh dari target 23% pada tahun 2025 yang ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Kita harus mengakui bahwa progres kita lambat, namun bukan berarti tidak mungkin untuk dikejar.
Mari kita lihat potensi energi terbarukan yang dimiliki negeri ini. Indonesia dianugerahi sumber daya panas bumi terbesar di dunia, dengan potensi mencapai 23,9 GW. Namun, hingga saat ini baru sekitar 2,1 GW yang telah dimanfaatkan. Belum lagi potensi energi surya yang mencapai 207,8 GW, energi angin sebesar 60,6 GW, dan energi air sebesar 75 GW. Angka-angka ini menunjukkan betapa besarnya peluang yang kita miliki.
ADVERTISEMENT
Langkah-langkah konkret telah diambil pemerintah, seperti penerbitan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Regulasi ini memberikan insentif fiskal dan non-fiskal bagi pengembang energi terbarukan, termasuk feed-in tariff yang lebih menarik. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai kendala, mulai dari birokrasi yang berbelit hingga resistensi dari industri bahan bakar fosil.
Kita perlu menyadari bahwa transisi energi bukan hanya tentang mengganti sumber energi, tetapi juga tentang mengubah paradigma. Ini adalah revolusi yang membutuhkan dukungan dari seluruh elemen masyarakat. Pemerintah harus lebih agresif dalam mengejar target energi terbarukan, bukan hanya melalui regulasi, tetapi juga dengan investasi langsung dalam infrastruktur dan riset teknologi bersih.
ADVERTISEMENT
Sektor swasta juga harus mengambil peran lebih besar. Perusahaan-perusahaan besar di Indonesia harus mulai melihat energi terbarukan bukan sebagai beban, melainkan sebagai peluang bisnis yang menjanjikan. Laporan terbaru dari International Renewable Energy Agency (IRENA) menunjukkan bahwa biaya produksi listrik dari energi surya fotovoltaik telah turun 85% dalam satu dekade terakhir, menjadikannya lebih murah daripada pembangkit listrik berbahan bakar fosil di banyak negara.
Namun, revolusi energi hijau bukan tanpa tantangan. Salah satu isu krusial adalah ketersediaan jaringan listrik yang mampu mengakomodasi sifat intermiten dari energi terbarukan seperti surya dan angin. Indonesia perlu berinvestasi besar-besaran dalam smart grid dan teknologi penyimpanan energi. Proyek baterai PLTS Cirata di Jawa Barat, yang direncanakan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 145 MW, adalah langkah yang tepat namun masih jauh dari cukup.
ADVERTISEMENT
Tak kalah pentingnya adalah aspek sosial dari transisi energi. Kita tidak bisa mengabaikan nasib ribuan pekerja di industri batu bara dan minyak bumi. Program pelatihan ulang dan penciptaan lapangan kerja baru di sektor energi bersih harus menjadi prioritas. Pengalaman Jerman dalam menutup tambang batu bara di wilayah Ruhr bisa menjadi pelajaran berharga, di mana transisi dilakukan secara bertahap dengan melibatkan serikat pekerja dan komunitas lokal.
Dalam konteks global, Indonesia memiliki kesempatan emas untuk memimpin. Sebagai ketua ASEAN tahun 2023, kita telah mendorong agenda transisi energi di kawasan. Namun, kepemimpinan sejati harus ditunjukkan melalui tindakan nyata di dalam negeri. Komitmen untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru harus diikuti dengan akselerasi pengembangan energi terbarukan.
ADVERTISEMENT
Revolusi energi hijau bukan pilihan, melainkan keharusan. Ini adalah perjuangan eksistensial bagi generasi mendatang. Setiap kilowatt listrik yang kita hasilkan dari sumber terbarukan adalah investasi untuk masa depan yang lebih baik. Setiap panel surya yang terpasang, setiap turbin angin yang berputar, adalah langkah menuju Indonesia yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Kita tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan keterbatasan teknologi atau biaya. Teknologi sudah ada, dan biayanya semakin terjangkau. Yang dibutuhkan sekarang adalah kemauan politik yang kuat dan aksi kolektif dari seluruh lapisan masyarakat.
Sebagai bangsa yang pernah berjuang melawan penjajahan, kita tahu betul arti perjuangan dan pengorbanan demi masa depan yang lebih baik. Revolusi energi hijau adalah perjuangan generasi kita, perjuangan untuk membebaskan diri dari ketergantungan pada bahan bakar fosil yang merusak dan tidak berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Mari kita jadikan Indonesia sebagai mercusuar harapan dalam upaya global mengatasi krisis iklim. Dengan kekayaan sumber daya alam dan semangat gotong royong yang menjadi jati diri bangsa, kita memiliki semua modal yang dibutuhkan untuk menjadi pelopor revolusi energi hijau. Saatnya kita bergerak, demi masa depan anak cucu kita, demi masa depan bumi yang kita cintai.