Konten dari Pengguna

Kita Semua Lelah

Hasmawati
Pembelajar sepanjang hayat, pengamat manusia.
1 Juni 2022 9:54 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hasmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bintan Neemo, Bintan. Doc. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Bintan Neemo, Bintan. Doc. Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Words matters.
Kalimat itu menjadi kata kunci dalam persidangan selebriti Hollywood Johnny Depp dan Amber Heard, yang dalam 6 minggu terakhir ini rutin saya pantau.
ADVERTISEMENT
Hidup di zaman keemasan sosial media seperti sekarang, bagi diri saya pribadi, kerap menghadirkan penat dalam kalbu. Kata-kata positif, negatif, permisif, persuasif deras mengalir sehingga memerlukan kita untuk memasang filter pribadi seketat mungkin. Gambaran ini menghadirkan imajinasi dalam kepala saya, kita masing-masing membawa sepasang insang di leher kita untuk menyaring kata yang masuk maupun keluar di dalam diri.
Saya merasa lelah. Belum beberapa bulan dunia kembali menggeliat pasca pandemi, saya sudah merasa ketinggalan. Roda kehidupan kencang sekali berputar dengan minyak pelumas kapitalisme yang mengalir hampir disetiap rusuknya. Seperti sebelumnya, saya tidak menyalahkan hal itu. Bagaimana bisa melawan pola yang telah terbentuk ribuan tahun lamanya, hasil dari evolusi manusia? Hanya saja, pijar cahaya optimisme dalam diri saya tak bisa menyala terang setiap hari. Seperti makhluk hidup organik lain, selayaknya lumut di dinding atau anemon di dasar laut, saya terkuras. Kelelahan.
ADVERTISEMENT
Kemudian pertemuan dengan sahabat belahan jiwa saya, si Non, menyentak saya. Si Non, yang selalu ceria, tak pernah kehabisan ide, tampak selalu dapat menemukan jalan keluar dari masalah, bercerita pada saya ia mengalami semacam serangan panik. Nafasnya tiba-tiba sesak, dan serbuan fikiran buruk menyerang isi kepalanya. Ia mencurigai pekerjaannya yang berhadapan dengan beragam macam orang baru dengan segala tingkahnya menjadi penyebabnya. Jiwanya penat, untuk terus bersikap santun kepada mereka yang bertingkah sesuka hati dengan alasan, mereka sudah membayar jasanya. Ah, kali ini saya menyalahkan kapitalisme sebagai sumber munculnya sikap jumawa para pelanggan yang merasa berkuasa ini.
Benar, kita mengalami pasang surut dalam hidup. Benar, kita harus menfasilitasi perasaan negatif yang ada dalam hati kita. Benar, kebebasan menyuarakan pendapat dilindungi UUD 1945 pasal 28. Dan benar, kata-kata adalah bentuk komunikasi paling efektif dalam hubungan sesama manusia.
ADVERTISEMENT
Kita boleh menyampaikan maksud hati kita, kekecewaan, bahkan kemarahan guna mengangkat sedikit ganjalan hati. Namun jangan lupa, kita berbicara dengan manusia lain yang juga memiliki hati sama seperti kita. Benarkah begitu berkuasanya uang dalam hidup, sehingga kita hanya merasa dapat berdaya dengan itu ?
Lalu seminggu yang lalu jagad maya digemparkan dengan hilangnya putra sulung sang penyiar kebahagiaan, bung Ridwan Kamil. Rasa terkejut, simpatik, harapan, doa, trenyuh, pilu, berseliweran deras melalui kata-kata. Saya ikut merasa duka, ikut merasa menanti dengan harapan dan kecemasan. Melalui kata-kata. Betapa banyaknya diantara kita yang menyatu tanpa dikomando mendoakan yang terbaik untuk keluarga Kang Emil. Meski tak mengenal beliau secara langsung, namun getaran kebaikan yang beliau pancarkan dari kata-katanya selaku penyiar kebaikan tersebut nampaknya mampu menggerakkan kita semua.
ADVERTISEMENT
Yah, barangkali saat ini kita penat. Jiwa kita perlu beristirahat. Tapi kita tak boleh berhenti berbuat baik, dalam bentuk terkecil sekalipun. Baik kepada diri sendiri, orang lain, tumbuhan, hewan, batu, semesta raya ini. Jangan sampai kita dikomentari orang "saya melihat manusia, tapi tidak kemanusiaan."
Dan meski suatu hari nanti dalam usaha kita menghidupkan kebaikan pasti akan terhenti, namun semoga itu tidak hari ini.