Menebus Rindu untuk Bapak

Hasmawati
Pembelajar sepanjang hayat, pengamat manusia.
Konten dari Pengguna
30 Agustus 2021 21:46 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hasmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Emak, Panbil. Doc. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Emak, Panbil. Doc. Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seperti kebanyakan yang dikisahkan orang, aku adalah seorang "anak bapak". Istilah orang Melayu yang menunjukkan seseorang yang sangat dimanja oleh ayahnya. Cinta Bapak kepadaku penuh utuh, ibarat menatang minyak yang penuh. Begitu menjaganya Bapak akan aku sedari kecil hingga dewasa. Cinta yang tak pernah kurasa kurang sampai ketika tiba-tiba jantung Bapak terhenti begitu saja.
ADVERTISEMENT
Bapak bukan sosok sempurna, kalau beliau sedang marah, ampun, serasa ingin masuk ke dalam tanah saja rasanya. Sebab Bapak marah tak pandang tempat, bila ingin menghardik, dihardiknya saja. Kami anak-anaknya pun paham, bila Bapak sudah menggigit bibirnya, cepat-cepat kami mengelak dari sasaran kemarahan Bapak. Entah itu menghentikan apa pun yang sedang kami lakukan yang membuat Bapak tak senang, maupun menghilang sesegera mungkin dari hadapan Bapak. Daripada menanggung malu.
Meski demikian ketidaksempurnaan Bapak kami terima dengan senang hati. Kasih sayang Bapak yang besar kepada kami menutupi ketidaksempurnaan itu. Bagaimana tidak, sedari kecil kami sudah tahu bahwa Bapak sanggup mengorbankan kepentingannya demi kami. Baginya, anak dan istrinya di atas dirinya. Bapak tak pandai menjalin komunikasi lisan dengan kami. Bila ada perselisihan antara aku dan Bapak, seperti orang berkasih-kasihan, aku akan mendiamkan diri.
ADVERTISEMENT
Merajuk buruk. Pasang muka ketat bila melihat Bapak. Bapak pun diam, tapi nanti tiba-tiba menawarkan sesuatu kepadaku. Isyarat damai. Bila perselisihan terlalu runcing, kami menghubungi juru damai, Emak. Kepada Emak, Bapak akan bertanya dan lewat Emak aku akan menjelaskan. Bila kemudian aku dimintai tolong mengerjakan sesuatu hal kecil oleh Bapak, maka itu artinya permasalahan khatam. Bapak tahu harga diriku tinggi. Saat Bapak minta tolong, sama artinya dengan Bapak mengakui bahwa aku benar dan Bapak yang salah.
Begitulah, romantika hidupku dengan Bapak. Terlalu indah dan sampai sekarang kadang terasa masih sukar diikhlaskan. Penyesalan besar bahwa aku belum melakukan hal yang membahagiakan Bapak masih menggantung berat di hati. Belum lagi rasa rindu yang bertubi-tubi. Bapak pergi tiba-tiba tanpa pertanda. Sontak mendadak bagai anak ayam disambar elang.
ADVERTISEMENT
Aku teringat pada satu kalimat indah dari Kang Maman Suherman sang penulis kondang. "Bila kelak Bapak telah tiada, tak perlu kamu bagus-baguskan kuburan Bapak. Tapi megahkanlah hati Ibumu."
Hingga hari ini, kurasa mungkin hal paling minimal yang bisa kulakukan untuk sedikit mengurangi penyesalanku, adalah dengan berusaha menyenangkan hati Emak. Dan setiap aku melakukan sesuatu yang kuniatkan untuk kebahagiaan Emak, dalam hati ini membatin, "Bapak, apa Bapak bisa berbahagia juga? Kami rindu."