Perceraian Bukan Kegagalan

Hasmawati
Pembelajar sepanjang hayat, pengamat manusia.
Konten dari Pengguna
4 Oktober 2021 22:38 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hasmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Membaca opini Lara Bazelon di New York Times yang berjudul "Divorce Can Be an Act of Radical Self-Love" membuat saya merasa "ah, ini dia." Kesimpulan tulisan ini sama persis dengan konklusi diskusi yang menjadi penyemangat saya pasca perceraian sekitar 8 tahun yang lalu. Kala itu saya benar-benar terpuruk dan merasa gagal sebagai manusia. Merasa tak yakin dengan keputusan yang diambil dan ketakutan bila keputusan itu akan banyak merugikan anak saya.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisannya Lara Bazelon menceritakan bahwa anak-anaknya lebih senang setelah ibunya memilih untuk berpisah dengan ayahnya. Bukan karena sudah tidak cinta lagi. Sang ibu kesulitan untuk menyeimbangkan kehidupan sebagai istri, ibu, dosen, dan penulis. Ekspektasi dan tuntutan yang tinggi dari pasangan menjadi jerat yang dirasakan Lara Bazelon mengekang jiwanya. Belum lagi perasaan bersalah dan menyalahkan satu sama lain. Lara Bazelon memutuskan untuk berpisah dengan pasangannya dan merekonstruksi ulang hubungan mereka menjadi rekan yang lebih baik. Peran mereka sebagai seorang ayah dan ibu tetap berjalan dengan baik, namun sudah tidak lagi berjalan dalam konteks pasangan. Menurut Lara Bazelon, keadaan berjalan jauh lebih baik bagi semua.
Sama seperti Lara Bazelon, saya menjunjung tinggi pernikahan sebagai sebuah ikatan suci yang harus dihormati. Keyakinan yang saya anut juga mengajarkan bahwa perceraian adalah hal yang dibolehkan namun dibenci Tuhan. Tatkala saya sampai di satu titik memutuskan untuk bercerai tekanan terbesar bukan dari lingkungan sosial saya, melainkan rasa bersalah dari dalam diri. Saya merasa benar-benar menjadi seorang pribadi yang egois sehingga mengorbankan anak demi mengejar kebahagiaan diri saya sendiri. Tuhan Maha Pengasih. Kala itu, saya banyak berdiskusi dengan teman-teman yang menjadi bagian dari support system saya. Mencari jawaban atau sekedar telinga untuk mendengarkan suara yang sangat berisik di dalam hati dan otak saya. Proses ini rumit sekali, bolak-balik karena sejatinya saya melawan diri saya sendiri. Hampir 3 tahun sampai akhirnya saya benar-benar berdamai dengan keadaan. Dalam arti kata lain saya yakin dan bahagia dengan garis cerita hidup saya.
ADVERTISEMENT
Ada satu kalimat sederhana dari teman saya tatkala dengan kalutnya saya mengadukan kerisauan hati bagaimana kelak anak saya tumbuh tanpa figur ayahnya ? Teman saya mengatakan bahwa apakah saya lebih yakin bahwa anak saya akan tumbuh lebih baik dalam keluarga lengkap namun ia melihat salah satu orang tuanya tidak bahagia setiap hari ? Kestabilan jiwa anak terkait erat dengan kestabilan jiwa orang tuanya. Mereka mempunyai insting untuk tahu bahwa ada yang tidak beres dengan orang tua mereka.
Memutuskan untuk menikah di usia 21 tahun semata karena saya merasa memang begitulah seharusnya hubungan antara pria dan wanita harus berakhir adalah sebuah kesalahan. Saya belum selesai bertumbuh tetapi buru-buru memutuskan untuk mengambil peran besar. Saat itu saya yakin bahwa pola hidup manusia selayaknya adalah tumbuh besar, sekolah, bekerja, dan menikah. Saya abai terhadap perkembangan diri saya sendiri sebagai seorang pribadi yang unik dan kebebasan berkehendaknya. Jadilah saya seperti si Lebai Malang, terombang ambing oleh dirinya sendiri. Saya tidak bahagia karena kesulitan mengkompromikan diri saya dengan keadaaan dan pasangan. Sikap diam dan menerima saja demi kedamaian rumah tangga ternyata suatu saat menemukan juga titik didihnya. Dan ketika itu meledak saya kebingungan untuk meredam. Bahkan rasa cinta yang saya kira dulu cukup untuk melewati apapun aral yang menghadang, ternyata tak cukup kuat membasuh luka yang kami derita bersama. Saya gagal membangun kekuatan dari dalam diri sendiri, sehingga tak mampu menangani suatu apapun masa itu. Singkat cerita, saya belum selesai bertumbuh tetapi memaksakan diri memikul tanggung jawab yang belum saya pahami penuh.
ADVERTISEMENT
Pernikahan adalah sebuah komitmen tertinggi dari sebuah ikatan cinta. Hidup selamanya dengan pasangan yang kita pilih dengan segala baik buruknya. Menyadari bahwa hidup kita bukan lagi hanya untuk diri kita namun dengan tidak kehilangan jati diri kita sendiri terkadang jadi urusan pelik. Apalagi bila pasangan tak sepaham, panjang urusannya. Namun saya yakin sebuah pernikahan yang kuat dan hangat akan memberikan dampak yang dahsyat tidak hanya bagi pasangan itu namun juga bagi lingkungan sekitarnya. Anak-anak yang tumbuh di pernikahan yang seperti itu biasanya akan tumbuh baik dan menebarkan kebaikan yang lebih luas lagi bagi orang lain.
Namun demikian perceraian juga tak selamanya harus dicap sebagai kegagalan. Pasca perceraian meski sempat melalui masa-masa kelam akhirnya saya dan mantan pasangan saya sama-sama berhasil menemukan titik temunya, kini kami berhubungan baik. Ternyata kami adalah pribadi yang cocok untuk berteman, namun bukan sebagai pasangan. Kami menyebut diri kami sebagai rekan dalam usaha membesarkan putra kami. Komunikasi berjalan baik ditambah dengan pengertian dan rasa hormat yang jauh lebih besar dan mudah kami terima serta dapatkan dibanding saat masih terikat dalam pernikahan sebelumnya.
Turi Beach Resort, Doc. Pribadi
Perceraian bisa menjadi jalan penyelamat tak hanya bagi satu jiwa, melainkan dua ditambah jiwa lainnya bila terdapat anak didalamnya. Bagaimanapun seorang anak lebih baik tumbuh dengan melihat pribadi yang bahagia tak peduli bagaimana manifestasinya. Apakah dari pribadi yang bernama ayah-ibu, kakek-nenek, paman-bibi, atau lelaki-perempuan yang berteman baik. Selagi pribadi-pribadi itu adalah sosok jiwa yang bahagia, hal itu jauh lebih baik daripada ia dipaksakan tumbuh dalam ikatan yang dinamai keluarga namun tiada kebahagiaan di dalamnya. Hanya pribadi yang bahagia yang mampu membahagiakan orang lain.
ADVERTISEMENT
Saya tidak mengglorifikasi perceraian semata karena saya termasuk komunitas alumni istri di dalamnya. Saya hanya ingin mengingatkan kepada kita semua, untuk membangun kekuatan sejati dari dalam diri. Kebahagiaan yang bersumber dari diri kita. Tatkala kekuatan itu berhasil kita kembangkan, kita akan mampu mengatasi segala rumitnya permasalahan hidup. Jatuh bangun tetap memang, tetapi kita akan tetap bangkit, menikmati kegagalan, menangis sesaat lalu tertawa kembali. Dan ketika itulah kita sesungguhnya dapat dikatakan sebagai pemenang kehidupan.