Perjalanan, Kapitalisme, dan Kebaikan

Hasmawati
Pembelajar sepanjang hayat, pengamat manusia.
Konten dari Pengguna
27 April 2022 8:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hasmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jakarta Pusat in Early Day, Doc. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Jakarta Pusat in Early Day, Doc. Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menarik sekali sebuah video yang beredar di timeline beranda twitter saya. Bercerita tentang kebaikan menggunakan anologi dua buah korek api gas. Sebuah korek api direndam dengan air dalam sebuah jug (istilah melayu kami, apa itu istilah bahasa Indonesianya ?) menggambarkan sedikit tumpahan air sebagai trauma masa kecil, sedikit lagi kekerasan, lalu banyak air yang merendam yang dideskripsikan sebagai kurangnya kasih sayang, kekhawatiran, stres, dan kesepian. Korek api yang terendam dalam jug itu tak dapat menyala. Penggambaran bahwa manusia dapat kehilangan semangat hidupnya karena hal-hal tersebut di atas. Namun pada akhir video itu ditunjukkan bahwa dengan bantuan korek api satunya lagi (yang tidak terendam air), korek api yang semula padam itu dapat menyala kembali. Pesan moralnya adalah kebaikan yang kita lakukan dapat berpengaruh positif bagi orang lain. Saya setuju sepenuh hati.
ADVERTISEMENT
Bagi saya pribadi, kesempatan untuk menjadi seorang yang bermanfaat bagi orang lain ini terjadi saat saya melakukan perjalanan. Baru-baru ini ketika saya berangkat ke Ibukota (yang lama) saya terlibat pembicaraan dengan seorang perempuan manis berhijab, yang melakukan perjalanan sendirian juga. Dia dalam perjalanannya pulang berlebaran ke kampung halaman. Barangkali karena senang bertemu dengan perempuan lain yang juga sendirian, perempuan ini segera dapat cair bercerita dengan saya. Saya menangkap kekhawatirannya. Melirik jam tangan dan memperhitungkan estimasi waktu perjalanan, saya memperkirakan kami akan berbuka puasa paling lambat saat sedang menanti bagasi di bandara Soekarno-Hatta kelak. Saya beranjak dan membelikannya sebotol kecil air mineral. Ia terkejut, mengatakan tak perlu. Saya menunjukkannya botol air mineral saya sendiri, meyakinkannya agar menerima pemberian saya. (Sebal sekali dengan kelamnya cerita manusia karena kerasnya deras laju roda kapitalisme ini !).
ADVERTISEMENT
Kami terpisah di bangku pesawat, perjalanan kami tidak terlalu mulus karena cuaca yang kurang baik. Beberapa kali terdengar lafadz doa dari penumpang di sekitar saya setiap kali pesawat berguncang. Saya rasa hari itu saya mendapat pahala mengaji dari hanya bacaan mereka saja. Sebenarnya hati ini ingin sekali menoleh ke belakang, ke arah tempat duduk perempuan itu (ya, kami sampai berbagi nomor kursi) sekedar untuk memberikannya senyum penghiburan. Tapi, lagi-lagi otak kecil saya yang sudah terkontaminasi racun kapitalis, mengingatkan untuk tidak melakukan itu bila tak hendak dianggap orang aneh yang berniat tidak-tidak. Saya khawatir bila tindakan itu akan berlebihan.
Setibanya di bandara, saya keluar lebih dahulu. Saya melambat-lambatkan langkah saya. Siapa tahu perempuan itu masih ingin melanjutkan interaksi dengan saya. Kalaupun tidak, saya dapat menikmati suasana bandara yang entah bagaimana mengingatkan saya dengan Singapura. Kota yang saat ini saya rindukan. Benar saja, tak lama terdengar suara perempuan itu memanggil saya. Ia kebingungan, layanan seluler gawainya tak kunjung aktif meski telah dinyalakan. Saya menyarankan untuk merestart. Ia tak paham caranya dan meminta bantuan saya. Ia memberikan gawainya ke saya, saya mengelak secara halus dengan menuntunnya untuk menyalakan ulang gawainya sendiri. Dalam hati saya berharap semoga pengalaman ini mengajarinya untuk tidak mudah memberikan propertinya ke orang asing. (Tuhan, apa yang salah dengan isi otak saya ?)
ADVERTISEMENT
Perempuan itu tak henti mengucapkan terima kasih kepada saya. Saya menampiknya. Tak mau timbul perasaan jumawa pada hal yang seharusnya biasa saja. "Senang bisa membantu." ucap saya di akhir kebersamaan kami, setelah memastikan ia bertemu dengan orang yang menjemputnya. Kami sama-sama tidak saling bertanya nama. Mungkin dengan alasan kami masing-masing.
Kesibukan dan rutinitas hidup kita sayangnya seringkali memperkecil kesempatan kita untuk berinteraksi dengan orang asing. Kesempatan melakukan kebaikan tanpa pamrih pada orang lain terasa tersekat. Ya maap, kebaikan yang saya lakukan kepada orang sekitar saya seringnya penuh dengan maksud terselubung di sebaliknya, lengkap dengan syarat dan ketentuan berlaku setebal kitab suci. hahaha. Belum lagi, hal ini berlaku pada diri saya, cerita-cerita tentang penyalahgunaan kebaikan demi keuntungan pribadi banyak sekali beredar belakangan ini. Sampai hendak melakukan kebaikan saja harus berfikir-fikir terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Saya menyalahkan kapitalisme untuk ini. Semenjak hasrat manusia timbul untuk mencari rasa aman dengan memiliki simpanan, yang menjadi awal mula tonggak revolusi pertanian. Banyak cerita buruk tentang keserakahan timbul. Berbagai macam dan bentuk. Seolah-olah kita lupa bahwa kodrat awalnya kita hanyalah pemburu pengumpul (Sapiens, Yual Noah Harari). Kita adalah spesies nomaden, hanya bertahan hidup, tak terlalu memiliki terikatan tinggi pada materi. Namun kita berevolusi. Bukan hal yang buruk, karena tujuan kita adalah menciptakan kondisi yang lebih nyaman untuk diri kita. Salah satu syarat dari kondisi nyaman tersebut adalah rasa aman. Dan dimulailah perjalanan manusia mengumpulkan berbagai macam hal untuk memenuhi kondisi tersebut. Tujuan yang semula hanya bertahan hidup kini telah berkembang pesat. Dan semenjak itu pula, menurut Yual Noah Harari, nilai kapitalis muncul.
ADVERTISEMENT
Saya tahu bahwa saat ini tak mungkin bagi saya merubah drastis cara hidup, sekedar untuk menantang nilai kapitalis yang sudah mengakar ribuan tahun tersebut. Tapi saya sadar bahwa saya juga memiliki bekal material-free dari nenek moyang saya. Saya dapat memilih. Mengimbangi alun gelombang hidup antara bertahan hidup dengan aman sembari tetap berusaha menebarkan kebaikan dengan cara yang saya bisa. Entahlah apakah pilihan saya itu benar atau salah di mata orang lain. Saat ini saya terbuka dengan berbagai macam masukan yang sekiranya sesuai dengan nilai dasar yang saya yakini.