news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Sharing is Caring, Sharing is Healing

Hasmawati
Pembelajar sepanjang hayat, pengamat manusia.
Konten dari Pengguna
18 Juli 2021 6:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hasmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sunrise Halaman Depan Rumah, Doc. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sunrise Halaman Depan Rumah, Doc. Pribadi
ADVERTISEMENT
"Akhirnya dapat giliran." Begitu istilah salah satu bestieku. Keluarga kami positif COVID-19. Ibu dan anakku terpapar, sepertinya sih dariku. Bagaimana lagi, roda kehidupan harus berputar, kan? Tapi ya sudahlah, saat itu yang kupikir bagaimana menghadapi situasi ini.
ADVERTISEMENT
Untungnya kondisiku saat itu bergejala ringan, sehingga dianggap mampu untuk merawat anak dan ibuku menjalani isolasi mandiri di rumah. Meskipun tak bisa dipungkiri, bagimana pun mempersiapkan diri untuk menerima kabar, begitu dinyatakan positif COVID-19, blank juga.
Namun ada beberapa sikap diri yang kurasakan sangat membantuku melalui masa-masa itu. Let me share you some of these:

Validasi (Validation)

Menerima apa yang dirasakan ketika itu. Saat itu aku merasa bersalah, sedih, marah dengan diri sendiri, bego, takut. Ya, aku terima semua perasaan itu ada dalam diriku.
Mengakui eksistensi semua perasaan itu membantu untuk menentukan tindakan yang selanjutnya tepat untuk dilakukan. Jangan menolak (denial) perasaan-perasaan itu semua. Analoginya, seperti kita mengakui bahwa badan kita terasa tidak fit, kita bisa tentukan apakah tidak fit karena kelelahan atau memang mau sakit. Kemudian kita bisa tentukan apakah cukup beristirahat atau harus minum obat. Seperti itulah kurang lebihnya.
ADVERTISEMENT
Ketika aku merasakan bingung, aku menghubungi salah satu temanku yang sebelumnya telah terkena COVID-19. Darinya kudapatkan informasi tentang pola makan, pengobatan, treatment perawatan semasa dikarantina. Begitu pula ketika aku merasa bersalah, marah, dan sedih karena merasa akulah yang membawa virus itu ke rumah, ketika kuceritakan kepada teman-teman sekerjaku, mungkin karena kami menghadapi situasi yang sama, support dari mereka membantu meringankan beban hati dan menjadi amunisi semangat untuk terus fokus pada perawatan pasien-pasien di rumahku.
Mengakui eksistensi semua perasaan di hati kita, meski buruk sekalipun perasaan itu, itu sangat bisa diterima. Kita mengakui perasaan itu karena kita ingin tahu apa yang sebaiknya kita lakukan terhadap perasaan itu, bukan untuk berlarut-larut tenggelam di dalamnya. Ya, enggak apa-apa juga sih awalnya kita agak mellow gimana gitu. Tapi tak berlama-lama juga, karena sebagaimana yang kita ketahui, seperti hal-hal lain yang ada di bumi ini, tak ada yang abadi.
ADVERTISEMENT

Kepasrahan (Acceptance)

Mengutip salah satu liriknya lagu Katty Perry, "acceptance is key to be, to be truly free" (kepasrahan adalah salah satu kunci kebebasan). Kerapkali kita mengartikan kepasrahan dengan menyerah kalah. Actnya memang beti si, beda tipis. Namun kuartikan acceptance ini adalah menerima keadaan untuk dijalani. Saat mengetahui bahwa keluarga kecil kami terjangkit COVID-19, aku menyadari sepenuhnya keadaan kami. Ibu yang menjadi sumbu utama pergerakan rumah harus terbaring sakit, menyisakan aku sebagai satu-satunya dewasa untuk mengambil alih.
Aku melakukan semua pekerjaan rumah tangga, mulai dari yang penting-penting seperti melakukan disinfeksi rumah secara berkala, mengatur jadwal makan dan obat, serta memastikan makanan bernutrisi tersedia. Kaget? Iya, letih? Jelas. Belum lagi menghadapi pasien yang rewel. Dibentak di kala menyuapi ibu makan, pekerjaan membersihkan yang dikritik di sana-sini.
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi letih tak tidur semalaman menjaga demam ibu yang konstan tinggi agar tak lebih tinggi lagi. Sempat down juga sesaat, tetapi aku menangis bukan karena kondisi diri sendiri. Aku menangis karena aku takut kondisi pasien-pasienku di rumah tidak kunjung membaik karena aku yang salah memberikan treatment.
Kalau dipikir-pikir, aku bisa menjalani situasi di atas lebih karena memang aku sudah menerima bahwa memang itulah yang mesti aku jalani. Saat itu, itulah "giliran" keluarga kami terjangkit COVID-19. Setelah memaafkan diri sendiri dari perasaan "sumber penyakit", aku menerima bahwa meskipun sudah berusaha menjaga, kalau memang waktunya kena, ya kami akan kena. Fokusnya adalah bagaimana menjaga agar situasi ini tidak bertambah parah, sehingga segala hal-hal kecil yang biasanya bikin hati kesal serta-merta tak lagi mengganggu.
ADVERTISEMENT
Acceptance memberikan kelapangan hati. Saat kita berdamai dengan kenyataan bahwa memang itu lah yang semestinya terjadi, semua akan terasa longgar. Dan meskipun situasinya berat dijalani, kita akan menjalaninya dalam damai karena kita telah berdamai dengan diri kita sendiri.

Berpikir Jernih (Logical Thinking)

Benarlah kata orang supaya berguru banyak-banyak agar ilmu bertambah. Ilmu yang banyak akan memberikan kita cara berpikir yang lebih jernih dan luas. Saat menjalani isolasi mandiri, tentu banyak sekali masukan kanan-kiri. Vitamin yang baik, makanan yang bagus, suplemen yang ampuh, terapi yang tokcer. Tergodalah jelas untuk melakukan itu semua.
Ada beberapa saran yang bisa kulakukan, tapi ada beberapa yang tidak. Semua saran-saran itu kutampung, di analisis, baru kemudian dipilih yang bisa kuadaptasi untuk kuterapkan di rumah. COVID-19 ini sakit mahal, kalau mau diturut-turut, koyak dompet kawan. Di sini ilmu pengetahuan kurasakan sangat membantu untuk mengambil keputusan.
ADVERTISEMENT
Seperti yang senantiasa kukatakan pada anak didikku, kita belajar bukan hanya sekadar supaya naik kelas, dapat ranking, lulus dengan nilai bagus, mendapat pekerjaan dengan baik, dapat uang. No, kita belajar agar kita tahu membedakan mana hal yang baik bagi diri kita, mengambil keputusan yang terbaik untuk kita, memecahkan masalah kehidupan kita dengan dasar ilmu, sehingga kelak kita bisa mempertanggungjawabkan keputusan kita. Paling tidak, kita tidak menyalahkan apa dan siapa pun, karena kita sadar keputusan yang kita ambil adalah keputusan dengan kesadaran penuh.
Pukulan terbesar yang diberikan COVID-19 ini lebih ke mental. Overthinking tak karu-karuan karena cerita yang beraneka ragam. Belum lagi memberikan pemahaman ke sekitar bahwa, wuoooo ini sakit memang ada. Nanti dulu, jangan takut sehingga menolak fakta bahwa bisa jadi sakit kita sekarang adalah benar COVID-19. Ayo periksa. Kuamati di sekitarku sebagian besar masyarakat menolak untuk mengakui keberadaan penyakit ini. Bukan karena derasnya informasi palsu yang beredar di masyarakat, tetapi lebih ke mental mereka tidak siap untuk menghadapi ini.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, mari bersama-sama kita teguhkan hati kita melewati masa sulit ini. Dalam nadi kita mengalir darah warisan nenek moyang yang tangguh dan tak mudah menyerah dengan keadaan. Kita terbiasa menjalani keadaan prihatin dengan hati yang lapang, karena dalam susah kita, kita biasa memikirkan untuk membantu kesusahan orang lain sehingga otomatis penderitaan diri kita sembuh dengan sendirinya.
Bila mbak Retno Hening penulis "My Happy Little Soul" mengatakan "sharing is caring", maka setelah melewati pengalaman masa COVID-19 ini, mungkin boleh kutambahkan sendiri "sharing is healing".