Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Makan Bergizi Gratis dan Janji SDG: Potensi Besar, Implementasi Bermasalah
30 April 2025 10:35 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Hasna Dherin Syakira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diperkenalkan sebagai salah satu agenda strategis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama anak-anak sekolah. Dalam visi jangka panjangnya, program ini bertujuan mengatasi permasalahan gizi buruk, stunting, dan akses terhadap makanan sehat di berbagai daerah Indonesia. Secara normatif, MBG beririsan langsung dengan Sustainable Development Goal (SDG) 2: Zero Hunger yang menargetkan penghapusan kelaparan dan malnutrisi pada tahun 2030.
ADVERTISEMENT
SDG 2 bertujuan untuk mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan, dan meningkatkan nutrisi. Program MBG sejalan dengan tujuan ini dengan menyediakan akses langsung kepada makanan bergizi bagi kelompok masyarakat yang rentan terhadap kekurangan gizi. Namun, meskipun terdapat kemajuan, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam mencapai target SDG 2. Menurut data Bappenas, dari 87 indikator SDGs pilar sosial, 51% target telah tercapai, 21% menunjukkan tren membaik, dan 28% memerlukan perhatian khusus.
Hal ini juga dipengaruhi oleh pelaksanaan program MBG yang belum dijalankan secara optimal. Di berbagai wilayah, program ini menunjukkan banyak problematika, mulai dari infrastruktur yang belum siap, sistem distribusi yang tidak efisien, hingga ketiadaan koordinasi lintas sektor. Akibatnya, inisiatif yang seharusnya berdampak besar terhadap pembangunan manusia justru berisiko kehilangan relevansinya sebagai solusi sistemik.
ADVERTISEMENT
MBG dalam Perspektif Ekonomi Pembangunan Global
Dalam konteks ekonomi pembangunan global, intervensi gizi seperti MBG dianggap sebagai investasi strategis dalam pembangunan sumber daya manusia. Penyediaan makanan bergizi secara gratis kepada kelompok rentan, seperti anak-anak sekolah, balita, ibu hamil, dan menyusui, bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan, kapasitas belajar, dan produktivitas generasi mendatang.
Lebih jauh, MBG seharusnya bisa menjadi multiplier effect dalam ekonomi lokal, termasuk menyerap hasil pertanian dari petani sekitar, menciptakan lapangan kerja dalam logistik pangan, dan memperkuat ketahanan pangan dari tingkat komunitas. Dengan pendekatan yang inklusif dan berbasis data, MBG bisa menjadi instrumen pembangunan yang menyentuh akar persoalan kemiskinan dan ketimpangan gizi.
Realita Implementasi: Jauh dari Ideal
Sayangnya, pelaksanaan MBG belum menunjukkan kesiapan struktural yang memadai. Di banyak daerah, program ini dibebankan pada sekolah yang tidak memiliki dapur, tenaga memasak, atau akses terhadap bahan pangan segar secara rutin. Dalam beberapa kasus, menu makanan bergizi justru digantikan oleh makanan olahan instan karena keterbatasan waktu dan logistik. Distribusi makanan yang tidak tepat waktu atau tidak sesuai dengan kualitas yang dijanjikan mengurangi dampak positif dari program ini. Di beberapa daerah, kurangnya infrastruktur pendukung, seperti kendaraan pengangkut yang memadai dan jaringan komunikasi antar lembaga menyebabkan keterlambatan pengiriman pangan ke sekolah-sekolah.
ADVERTISEMENT
Selain itu, keterbatasan anggaran juga menjadi kendala utama dengan risiko dapat menghambat penyediaan makanan yang bergizi dan berkualitas. Banyak pemerintah daerah, terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) yang kesulitan dalam menyediakan dana untuk memenuhi standar gizi dan kuantitas makanan yang dibutuhkan oleh penerima manfaat. Distribusi anggaran yang belum merata juga menyebabkan ketimpangan antarwilayah, terutama antara daerah perkotaan dan kawasan 3T. Minimnya keterlibatan komunitas lokal dalam rantai pasok makanan turut memperlemah potensi ekonomi yang seharusnya dibangun dari program ini.
Masalah lainnya adalah kualitas makanan yang disediakan. Menu makanan yang cenderung monoton dan kurang bergizi sering kali ditemukan. Hal ini telahtidak hanya mengurangi efektivitas program dalam meningkatkan status gizi anak-anak, tetapi juga membuat anak-anak kurang tertarik untuk mengonsumsi makanan tersebut. Ditambah lagi, kurangnya regulasi dan tata kelola yang jelas dalam pelaksanaan MBG di tingkat daerah, menyebabkan ketidakteraturan dalam pelaksanaannya. Program ini seringkali dijalankan tanpa mekanisme yang memadai untuk memastikan kualitas dan keberlanjutan dari distribusi makanan.
ADVERTISEMENT
Terakhir, potensi pemborosan pangan juga merupakan masalah besar, terutama bila tidak ada sistem pengelolaan yang efektif. Tanpa adanya sistem yang baik dalam pemilihan dan pengelolaan bahan makanan, program MBG berisiko membuang-buang pangan yang tentunya berdampak negatif terhadap anggaran negara dan lingkungan.
MBG: Populisme Pangan atau Investasi Masa Depan?
Program MBG menunjukkan kecenderungan pendekatan populis yang berfokus pada output jangka pendek daripada perencanaan sistemik jangka panjang. Tidak adanya mekanisme monitoring dan evaluasi berbasis bukti membuat efektivitas program sulit diukur. Tanpa peta jalan yang jelas mengenai keberlanjutan pendanaan, keterlibatan pelaku lokal, dan reformasi sistem distribusi pangan, MBG terancam menjadi proyek simbolik yang kehilangan daya ungkit strukturalnya.
Secara singkat, program ini memiliki potensi besar dalam mendukung pencapaian SDG 2 dan memperkuat pembangunan sumber daya manusia di Indonesia. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan perencanaan yang matang, alokasi anggaran yang memadai, koordinasi antar lembaga, serta pengawasan yang ketat dalam pelaksanaannya. Tanpa upaya tersebut, program ini berisiko tidak mencapai target yang diharapkan dan bahkan dapat menimbulkan masalah baru dalam sistem pangan nasional.
ADVERTISEMENT