Cerita Cinta yang Terabaikan

Hastra Aminoto Laia
Pegiat Media Sosial
Konten dari Pengguna
1 September 2021 21:45 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hastra Aminoto Laia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi cinta pada pandangan pertama. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cinta pada pandangan pertama. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Berawal dari cerita teman saya, namanya Pak Agus yang menceritakan kisah PDKTnya (pendekatan) pada masa dia muda. Pak Agus jatuh cinta pada teman sekelasnya, namanya Susi. Itu terjadi saat dia SMA dahulu. Mungkin jika zaman sekarang Pak Agus termasuk dalam kategori bucin (Budak Cinta).
ADVERTISEMENT
"Kulit putih, muka sedikit chubby dan rambut panjang terurai. Zaman dahulu, rambut hitam tebal panjang menjadi kebanggaan tersendiri bagi yang memilikinya. Dia juga anak yang sangat cerdas, ranking 1 di kelas." Ucap dia mengenang Susi dengan wajah tersenyum.
Namun, dia menyadari wajahnya tak meyakinkan, begitu juga dengan otaknya.
"Kualitasku sangat bertolak belakang dengan seleraku. Aku sangat suka perempuan yang cerdas, terlebih lagi kalau cantik." Dia (Pak Agus) menceritakan pada diri Susi, beliau temukan segala kriteria tentang perempuan.
"Satu-satunya kelebihanku adalah aku menyadari kekuranganku. Jadi, aku melakukan pendekatan bukan dengan segala kelemahanku itu," ucap Pak Agus dengan tersenyum, "Kebaikan hatiku lah yang aku gunakan untuk melakukan pendekatan padanya."
Waktu zaman itu, masih jarang sekali anak sekolah yang pakai motor. Bisa dihitung jari. Kebetulan, Pak Agus salah satu dari sedikit anak yang sudah pakai motor. Tawaran membonceng adalah peluang terbaik yang Pak Agus miliki.
ADVERTISEMENT
Kebetulan Susi berangkat dan pulang sekolah harus naik sepeda ontel, atau naik mikrolet yang bisa berjam-jam waktu untuk menunggunya lewat. Dia lebih sering naik sepeda ontel.
Situasi itu Pak Agus manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Siapa pun, sulit rasanya untuk menolak tawaran ojek gratis, termasuk Susi. Kebetulan, rumah dia dekat dengan sekolah adik Pak Agus
Setiap pagi berangkat mengantar adik Pak Agus ke sekolahnya, terus menjemput Susi. Begitu pula saat pulang. Mengantar Susi, lantas menjemput adikku.
*
Mengutarakan cinta, atau bahasa sekarang nembak, bukanlah hal yang mudah bagi beliau. Pak Agus merasa tidak cukup punya modal untuk menjadi pasangannya. Rasanya seperti bumi dan langit. Yang bisa beliau lakukan hanyalah memberikan kebaikan sebanyak mungkin padanya.
ADVERTISEMENT
Rasa ketakutan jika Pak Agus utarakan perasaannya, Susi akan menolaknya. Feelingnya begitu.
‘’Jadi daripada aku kecewa, lebih baik aku pendam. Bahkan Pak Agus rela dianggap apa pun, "Sebagai teman, sahabat, atau apa pun.’’
Anggapan teman-teman kalau-kalau Pak Agus berpacaran sudah sangat membanggakannya. Karena setiap hari Pak Agus selalu antar jemput, hampir semua teman-teman menganggap mereka pacaran
Pak Agus dan Susi pun ceik dengan anggapan itu. Saat naik ke kelas dua, mereka berpisah kelas.
"Dia mengambil jurusan Biologi, aku mengambil jurusan Sosial." Kata Pak Agus
Tetapi beda kelas tetap tidak mengubah kebiasaan antar jemput. Saking terbiasanya antar jemput, ada rasa bersalah jika suatu saat terpaksa tidak bisa mengantar jemput karena sesuatu hal, seperti motor rusak, misalnya.
ADVERTISEMENT
*
Sebagai anak yang sedang senang-senangnya bermain, sering kali mereka bolos sekolah bersama. Setelah menjemput, dalam perjalanan ke sekolah tiba-tiba ada ide untuk jalan jalan ke suatu tempat, mereka pun langsung belok arah, bukan ke sekolah tetapi bolos jalan-jalan.
"Hampir setiap hari sabtu, setelah pulang sekolah, bukan langsung pulang ke rumah, tetapi nonton film, Itu sudah jadi acara tetap kami," ucap Pak Agus.
Bayar tiketnya pun bergantian, tergantung siapa yang lagi punya uang saku lebih. Beli bensin juga begitu. Sering kali Susi yang membayar bensinnya.
*
Naik kelas 3 (tiga) SMA Pak Agus mulai gelisah. Susi yang cerdas pasti akan mudah untuk memilih kuliah di mana saja. Sementara Pak Agus yang nilai rapor-nya pas-pasan, akan sangat sulit untuk bisa mengimbanginya. Dia benar-benar dilanda rasa khawatir yang sangat besar kehilangan Susi.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, naik kelas tiga Pak Agus bertekad bulat untuk belajar keras agar bisa bersama-sama Susi terus.
"Aku bertekad akan mendaftar di mana pun perguruan tinggi di mana Susi diterima kuliah," kata Pak Agus, mengutarakan kegelisahannya.
"Aku menghentikan semua aktivitas geng motorku, berhenti nge-band. Yang ada hanya belajar, dan acara sama Susi. Semua aktivitas lain aku stop semua," lanjut dia mengenang semua aktivitasnya semasa muda.
Bahkan, dalam satu tahun beliau selalu salat malam, dengan doa yang tetap. Ada 3 doa yang selalu Pak Agus panjatkan setiap malam. Bermohon dapat NEM 52, bisa diterima Sipenmaru (sekarang SBMPTN), dan memohon agar Susi jadi miliknya. Hampir tiap malam selama satu tahun, setiap malam dia salat malam dan berdoa untuk 3 hal itu.
ADVERTISEMENT
"Sebenarnya, ketiga doa itu semua berujung pada satu hal, yaitu Susi. Berharap NEM yang bagus, diterima Sipenmaru adalah agar aku bisa terus bersama Susi." Kata Pak Agus mengingat doanya
*
Akhirnya sampailah pada ujung masa sekolah mereka. Susi diterima di IKIP Bandung Jurusan Biologi melalui jalur PMDK, jalur masuk perguruan tinggi tanpa tes waktu itu. Pak Agus makin panik. Bayangan berpisah dengan Susi makin di depan mata.
"Aku segera ikut les primagama, agar bisa lulus Sipenmaru. Aku ambil jurusan yang paling mungkin bisa diterima, aku ambil jurusan FPOK (Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan), yang minim peminat. Alhamdulillah akhirnya aku bisa terus bersama Susi," ucap Pak Agus
Pagi itu, tanggal 27 Juli 1988, Pak Agus pamit kepada Bapaknya, mau mengurus akta kelahiran, sebagai syarat mendaftar ulang di IKIP Bandung. Sehari sebelumnya, Pak Agus dapat surat dari Susi, kalau jurusan FPOK harus mendaftar ulang paling lambat tanggal 30 Juli. Maklumlah zaman itu belum ada handphone. Fasilitas telepon baru ada di kantor pos. Sedangkan rumah jauh di desa.
ADVERTISEMENT
Setelah mengurus akta kelahiran, Pak Agus berembuk dengan teman-temannya, mengatur keberangkatan ke Bandung untuk mendaftar ulang. Setelah selesai berembuk, Pak Agus segera pulang untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk keberangkatan ke Bandung besok paginya.
"Sampai di deket rumah, aku lihat di halaman rumahku banyak orang berkumpul. Hatiku berdetak kencang, ada apakah dengan rumahku. Sampai di halaman rumah semua orang yang berkumpul di halaman mendekatiku, memelukku. Ternyata, Bapakku meninggal. Innalillahi wainnailaihi raajiun," ucap Pak Agus dengan wajah sedih
Akhirnya, Pak Agus memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah. Karena Ia tidak mau membebani Ibunya untuk menanggung biaya kuliah. Dan sebulan kemudian, dia memutuskan merantau ke kalimantan.
Setahun Pak Agus di Kalimantan, dia dapat kiriman surat dari Susi. Dia bercerita, sudah menemukan tambatan hatinya. Dia bilang, telah menjatuhkan pilihan hatinya kepada seorang laki laki ahli matematika, kakak tingkatnya.
ADVERTISEMENT
"Dunia terasa hancur. Tak ada lagi semangat. Bahkan Tuhan pun jadi sasaran kemarahanku. Doa yang yang sia-sia," ucap Pak Agus dengan tersenyum.
23 tahun kemudian, tepatnya tahun 2020 lalu, Susi yang sudah bersuamikan ahli matematika dan punya anak 4, mengirim pesan WA ke Pak Agus.
“Rex, (dia punya panggilan khas ke Pak Agus, Rex) kalau dulu kita tidak berjodoh, bagaimana kalau kita besanan. Kita jodohin anak kita,” kata Pak Agus mengingat pesan dari Susi.
"Itu adalah kata-kata terindah dari Susi yang pernah aku dengar. Meskipun jawabanku, jangan bilang begitu Sus, sakit hatiku. Aku langsung nangis. Beneran aku nangis."
*
"Tapi izin dulu ya Pak ini bisa saya tulis nanti gak?" Tanya saya ke Pak Agus.
ADVERTISEMENT
"Boleh banget, silakan," jawab Pak Agus