Konten dari Pengguna

Reformasi Kebijakan Angsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak yang Lebih Fleksibel

Hasudungan
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN, Prodi D4 Manajemen Keuangan Negara.
9 Februari 2025 10:27 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hasudungan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
PMK 81/2023. Sumber: JDIH Kemenkeu
zoom-in-whitePerbesar
PMK 81/2023. Sumber: JDIH Kemenkeu
ADVERTISEMENT
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selalu mengupayakan yang terbaik dalam mengoptimalkan sistem perpajakan di Indonesia. DJP terus melakukan inovasi dan reformasi dalam menyesuaikan dengan dinamika perekonomian Indonesia dan mempertimbangkan kebutuhan serta kondisi wajib pajak. Salah satu reformasi terbaru adalah reformasi kebijakan angsuran dan penundaan pembayaran pajak yang diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sesuai amanat dari Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Melalui PMK 81/2024 yang efektif pada 1 Januari 2025 ini, pemerintah kini memberlakukan kebijakan yang lebih fleksibel dalam menyelenggarakan fasilitas perpajakan berupa angsuran dan penundaan pembayaran pajak.
ADVERTISEMENT
Latar Belakang Perubahan
Sebelumnya, kebijakan mengenai angsuran dan penundaan pembayaran pajak diatur dalam PMK 242/2014 yang kemudian diubah sebagian oleh PMK 18/2021. Kedua peraturan tersebut dinilai sudah berjalan terlalu lama dan sudah tidak relevan dalam merespons kebutuhan wajib pajak dalam menghadapi dinamika perekonomian yang semakin kompleks, terutama pada masa pascapandemi dimana masih banyak wajib pajak yang masih terkena dampaknya.
PMK 81/2024 hadir menjadi solusi dalam memenuhi kebutuhan optimalisasi sistem perpajakan Indonesia, terutama di masa pascapandemi. Perubahan pada jangka waktu angsuran dan penundaan, persyaratan administratif, sanksi administratif, dan subjek pajak menjadikan peraturan ini fleksibel dan relevan dalam memenuhi kebutuhan wajib pajak sehingga mengoptimalkan sistem perpajakan.
Perbandingan Aturan Lama dan Baru (PMK 242/2014 diubah menjadi PMK 18/2021 vs PMK 81/2024)
ADVERTISEMENT
Jangka Waktu Angsuran dan Penundaan
Peraturan lama : Memberikan batas waktu angsuran maksimal 12 bulan.
Peraturan baru : Memperpanjang batas waktu angsuran hingga 24 bulan, tergantung pada kondisi finansial wajib pajak.
Persyaratan Administratif
Peraturan lama : Mengharuskan wajib pajak menyertakan berbagai dokumen tambahan sebagai bukti ketidakmampuan untuk membayar sekaligus.
Peraturan baru : Menyederhanakan prosedur dengan mengurangi dokumen yang perlu disertakan sehingga lebih efisien dan cepat.
Bunga dan Sanksi
Peraturan lama : Menerapkan suku bunga tertentu yang dihitung berdasarkan ketentuan Bank Indonesia.
Peraturan Baru : Memberikan skema bunga lebih ringan juga fleksibilitas dalam penyelesaian keterlambatan pembayaran.
Kriteria Wajib Pajak yang Dapat Mengajukan
Peraturan lama : Memberikan kelonggaran hanya kepada wajib pajak dengan kondisi finansial tertentu.
ADVERTISEMENT
Peraturan baru : Memperluas subjek wajib pajak yang dapat mengajukan permohonan, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Tujuan Kebijakan
Reformasi kebijakan angsuran dan penundaan pembayaran pajak menjadi lebih fleksibel bertujuan untuk memberikan solusi yang adaptif dan tepat bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di tengah dinamika perekonomian. Pertama, kebijakan ini dirancang untuk meningkatkan aksesibilitas dan keadilan dalam sistem perpajakan, khususnya bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang sering kali menghadapi tantangan likuiditas. Dengan mekanisme angsuran yang lebih fleksibel, beban administrasi dan finansial yang mereka hadapi dapat dikurangi tanpa menghambat kewajiban pajak mereka. Kedua, reformasi ini bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi dengan memberikan ruang gerak lebih kepada dunia usaha dalam mengelola arus finansialnya. Terutama pada periode krisis, seperti pandemi COVID-19 atau perlambatan ekonomi global, fleksibilitas dalam pembayaran pajak dapat menjadi instrumen ekonomi yang efektif agar wajib pajak dapat tetap melakukan pekerjaannya tanpa tekanan finansial yang berlebih. Terakhir, kebijakan ini juga diharapkan mampu meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak sukarela. Dengan adanya sistem yang lebih adaptif terhadap kondisi perekonomian, persepsi buruk masyarakat terhadap pajak sebagai beban dapat berkurang dan kesadaran akan pentingnya pajak dalam perekonomian dan nasional semakin meningkat. Reformasi ini tidak hanya akan memperkuat hubungan antara otoritas pajak dan wajib pajak, tetapi juga mendorong sistem perpajakan itu sendiri menjadi lebih berkelanjutan dan inklusif.
ADVERTISEMENT
Implikasi bagi Wajib Pajak
1. Memberikan Ruang Gerak Lebih bagi Wajib Pajak dalam Mengelola Arus Kas
Dengan kebijakan angsuran dan penundaan pembayaran pajak yang lebih fleksibel, wajib pajak memiliki kebebasan bergerak lebih dalam mengatur arus kasnya. Saat menghadapi tekanan ekonomi, seperti inflasi tinggi atau penurunan daya beli, sistem yang fleksibel akan membantu wajib pajak untuk tetap menjalankan operasional tanpa terganggu oleh pikiran akan kewajiban pajak yang terlalu ketat.
2. Mengurangi Beban Administrasi dengan Prosedur yang Lebih Sederhana
Reformasi ini juga menyederhanakan prosedur pengajuan angsuran dan penundaan pembayaran pajak. Dengan mekanisme yang lebih ringkas, tepat, dan berbasis digital melalui DJP Online, wajib pajak tidak perlu lagi dihadapkan pada proses birokrasi yang panjang. Penyederhanaan ini bertujuan untuk mempermudah akses terhadap fasilitas perpajakan tanpa mengurangi efektivitas terhadap pengawasan.
ADVERTISEMENT
3. Meningkatkan Kepatuhan Pajak karena Wajib Pajak Lebih Mampu Memenuhi Kewajiban Mereka tanpa Tekanan Likuiditas
Kebijakan yang lebih fleksibel memungkinkan wajib pajak membayar pajak secara lebih terukur sesuai dengan kondisi keuangan mereka. Dengan skema angsuran yang lebih adaptif, mereka tidak merasa terbebani oleh kewajiban yang sulit dipenuhi dalam satu waktu sehingga kepatuhan pajak dapat meningkat secara alami tanpa perlu bergantung pada sanksi berat.
4. Membantu UMKM dan Pelaku Usaha yang Terdampak Kondisi Ekonomi Sulit untuk Tetap Menjalankan Bisnisnya tanpa Harus Menghadapi Sanksi Perpajakan yang Berat
UMKM dan pelaku usaha yang mengalami kesulitan akibat faktor eksternal, seperti krisis ekonomi atau perubahan kebijakan global, akan mendapatkan manfaat dari kebijakan ini. Terutama keadaan pascapandemi COVID-19 dimana masih banyak wajib pajak yang terdampak. Dengan adanya opsi angsuran dan penundaan yang lebih fleksibel, mereka dapat tetap menjalankan bisnisnya tanpa khawatir terkena sanksi besar akibat keterlambatan pembayaran pajak. Hal inilah yang diharapkan dapat menjadi salah satu instrumen untuk mendukung usaha kecil-menengah pada jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Studi Kasus
Sebuah perusahaan manufaktur, PT ABC, yang mengalami kesulitan keuangan akibat penurunan permintaan pasar akibat pascapandemi pada tahun 2023 mengajukan permohonan angsuran pajak. Berdasarkan PMK 242/2014, perusahaan hanya bisa mendapatkan angsuran selama 12 bulan dengan bunga yang cukup tinggi, yakni 2%. Dengan adanya PMK 81/2024, perusahaan kini dapat memperoleh jangka waktu 24 bulan dengan suku bunga yang lebih rendah, sesuai dengan tarif Menteri Keuangan. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk tetap beroperasi dan memenuhi kewajiban pajaknya tanpa harus memikirkan tekanan finansial yang berlebihan.
Kesimpulan
Pemerintah terus berkomitmen untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih fleksibel, adaptif, dan inklusif. Reformasi kebijakan angsuran dan penundaan pembayaran pajak merupakan salah satu langkah konkret yang diambil yang dapat memberikan fleksibilitas lebih bagi wajib pajak dalam mengelola kewajiban perpajakannya. Namun, perlu diingat bahwa kebijakan ini juga menghadirkan tantangan tersendiri, seperti perlunya pengawasan yang lebih ketat untuk mencegah penyalahgunaan fasilitas perpajakan. Meskipun demikian, langkah ini sejalan dengan prinsip keadilan pajak dan upaya menjaga stabilitas ekonomi, terutama bagi UMKM dan pelaku usaha yang rentan terhadap tekanan likuiditas di tengah-tengah kondisi perekonomian global. Keberhasilan implementasi kebijakan ini bergantung pada kolaborasi antara otoritas pajak, wajib pajak, dan semua pemangku kepentingan lainnya dalam menciptakan ekosistem perpajakan nasional yang optimal dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT