Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.104.0
Konten dari Pengguna
Mengisap Rokok Bahaya atau Budaya?
3 Desember 2022 22:20 WIB
Tulisan dari Hasyidan Muhammad Radifan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Merokok merupakan suatu fenomena yang umum, sering dijumpai di berbagai tempat, dan dianggap sebagai kebiasaan dalam masyarakat Indonesia. Kebiasaan merokok dianggap wajar di kalangan masyarakat dapat dilihat dari kemudahan mengakses rokok. Rokok yang terbuat dari tembakau yang dibudidayakan di Indonesia juga telah menjadi bagian dari tradisi dalam menjalin keakraban sosial, misalnya rokok keretek dan adat istiadat lainnya yang menggunakan media rokok. Meski demikian, kebiasaan merokok yang terus meningkat juga menimbulkan bahaya serius bagi pembangunan kesehatan nasional.
ADVERTISEMENT
Merokok Dalam Konsep Kesehatan
Kesehatan atau sehat berdasarkan definisi WHO adalah keadaan sempurna baik secara fisik, mental, dan sosial serta bukan hanya perihal bebas dari penyakit atau kelemahan. Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, Kesehatan dipahami sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang membuat seseorang mampu hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Persepsi tentang sehat dan sakit merupakan proses kemampuan atau ketidakmampuan manusia dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, baik secara biologis, psikologis maupun sosial budaya.
Dalam penelitian yang dilakukan pada dunia kedokteran, produk tembakau atau rokok yang dikonsumsi manusia mengandung sekitar 2550, bahan kimia berbahaya. Bahan kimia berbahaya itu dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan fungsi organ tubuh seperti kerusakan paru-paru, asma, kanker mulut, penyakit jantung koroner, bahaya bagi kehamilan, dan melemahnya stamina tubuh. Dari beberapa bukti dan definisi sehat tersebut, merokok tentunya merupakan salah satu kegiatan yang dapat mengancam dan mengganggu kesehatan tubuh manusia. Namun, bagi sebagian orang atau kelompok, rokok justru dijadikan kebutuhan sehari-hari dan memiliki makna tersendiri. Keyakinan itu didapat karena perbedaan persepsi kesehatan dan budaya merokok di lingkungannya.
ADVERTISEMENT
Dilema yang terjadi, semakin tinggi dan meningkatnya jumlah perokok aktif di Indonesia, secara tidak langsung akan memengaruhi jumlah perokok pasif. Lingkungan di sekitar mereka yang tidak secara langsung mengisap rokok, akan menghirup asap-asap tersebut. Hal itu akan meningkatkan risiko penyakit yang mengancam dan menyebabkan beban penyakit dengan kerugian besar bagi pembangunan kesehatan masyarakat serta kualitas sumber daya manusia dalam pembangunan nasional.
Fenomena Merokok yang Terkonstruksi Menjadi Budaya di Masyarakat Indonesia
Budaya atau kebudayaan menurut Ralph Linton adalah seluruh tata cara kehidupan dari masyarakat, menunjuk pada berbagai aspek kehidupan meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan atau keyakinan, dan sikap atau perilaku, serta hasil dari kegiatan manusia atau masyarakat yang khas. Dalam konteks kesehatan dan sakit, masyarakat ada yang berpersepsi berdasarkan pemahaman mereka secara etnik atau lingkungan kelompoknya. Jadi variasi persepsi budaya sehat dan sakit itu ditentukan oleh pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma kebudayaan masing-masing masyarakat. Dalam kasus merokok ini, ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa merokok tidak berbahaya bagi kesehatan bahkan menurut mereka dapat menghilangkan stress.
ADVERTISEMENT
Kegiatan merokok pada awalnya dilakukan oleh laki-laki sebagai bagian identitas maskulinitas (dianggap laki-laki sejati jika merokok). Pada akhirnya laki-laki yang merokok dan dianggap maskulin terkonstruksi secara sosial dan melahirkan anggapan bahwa lelaki yang tidak merokok dianggap lemah dan tidak layak disebut jantan. Dalam konteks ini, jika dilihat dengan kacamata sosiologi, merokok merupakan contoh tindakan sosial. Dapat dikatakan demikian, karena merokok dilakukan secara sengaja, bertujuan dan ditujukan pada individu lainnya. Kebiasaan merokok yang dilakukan oleh laki-laki untuk menunjukkan identitas maskulinnya, merupakan salah satu tujuan merokok yang ditujukan pada individu lain.
Salah satu teori sosiologi yang dapat digunakan untuk memahami bagaimana fenomena merokok berkembang menjadi budaya adalah teori konstruksi sosial dari Peter Berger. Konstruksi sosial adalah kenyataan atau realitas sosial yang dibangun melalui interaksi sosial dengan memahami kenyataan dan pengetahuan. Dalam bukunya, Berger juga menerangkan bahwa masyarakat merupakan kenyataan objektif sekaligus kenyataan subjektif. Individu adalah pembentuk masyarakat begitu pula sebaliknya masyarakat adalah pembentuk individu, intensitas individu dalam sebuah komunitas atau masyarakat akan memengaruhi tingkah lakunya (Manuaba, 2008).
ADVERTISEMENT
Dari kebiasaan individu-individu yang merokok, fenomena itu dikonstruksi di masyarakat dan akhirnya melahirkan struktur budaya merokok. hal itu merupakan bagian dari realitas objektif. Struktur budaya merokok ini juga dipertegas oleh kebiasaan dalam masyarakat seperti adat istiadat dan kebudayaan yang sudah dibahas di atas. Dalam realitas subjektif, merokok (di dalam atau di luar rumah, khususnya bagi laki-laki) merupakan kebiasaan yang lahir karena adanya kesadaran individu sebagai hasil proses sosialisasi. Realitas subjektif ini dipertegas oleh pernyataan kaum laki-laki seperti “Jika tidak merokok, kepala pusing”, artinya tidak bisa berpikir dan konsentrasi untuk bekerja. Ada pula yang menyatakan “merokok, dapat mempertegas posisi laki-laki sebagai sudah dewasa”. Bagi kaum perempuan, merokok dikonstruksikan sebagai gaya hidup atau life style hingga bentuk kebutuhan validasi bahwa perempuan juga bisa mengisap asap rokok.
ADVERTISEMENT
Merokok dan rokok di beberapa daerah Nusantara juga tidak hanya sekadar barang konsumsi, lebih jauh rokok mempunyai makna dan simbol sosialnya sendiri-sendiri. Rokok ada dalam berbagai ritual dan prosesi adat di masyarakat. Misalnya saja tradisi timbako dan pusuk pada Batak Angkola (Masyarakat Batak Angkola menggunakan rokok dalam berbagai prosesi adat, bahkan tembakau dan pucuk daun nipah menjadi syarat berjalannya prosesi atau pesta adat). Baka bajalan di Minangkabau (Baka Bajalan merupakan sebuah bacaan atau mantra yang diberikan kepada pemuda Minangkabau sebelum pergi merantau dengan harapan keselamatan dan keberuntungan, rokok adalah salah satu media tradisi ini). Pacoten di Madura (Masyarakat di Desa Pasak Pisang Madura menggunakan rokok sebagai media undangan hajatan pernikahan, makin kaya orang yang akan diundang, maka harus makin mahal jenis rokok yang digunakan untuk mengundang). Rokok bisa dikatakan sebuah simbol bentuk dari rasa hormat dilapisan masyarakat, dengan berbagi rokok mereka dapat saling berbagi kenikmatan dan membangun suasana dalam berinteraksi.
ADVERTISEMENT
Penutup
Kebiasaan merokok di masyarakat merupakan hasil dari kebiasaan merokok lingkungan kelompok atau lingkungan sosial (individu-individu lain). Begitu pula sebaliknya, kebiasaan merokok individu, bukan semata-mata karena adanya kesadaran individu, tetapi juga karena adanya tuntutan struktur budaya masyarakat yang mengharuskan seseorang merokok. Dalam perkembangannya, tindakan merokok bukan hanya dilakukan oleh laki-laki, tetapi juga perempuan dan anak-anak. Di sisi lain, dari aspek kesehatan, merokok dikonstruksikan sebagai tindakan sosial yang buruk karena tidak baik bagi kesehatan. Dampak dari meningkatnya perokok aktif di masyarakat akan meningkatkan risiko penyakit berbahaya yang mengancam pembangunan kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia dalam pembangunan nasional.
Daftar Pustaka
Berger, Peter L. & Thomas Luckman 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basari). Jakarta: LP3ES
ADVERTISEMENT
Herlambang, D., & Wijaya, A. H. (2021). Bicara Rokok, Bicara Kebudayaan? Validnews.id. https://www.validnews.id/kultura/bicara-rokok-bicara-kebudayaan
Herlina, M. (2017). Sosiologi Kesehatan paradigma konstruksi sosial.
Manuaba, I. B. P. (2008). Memahami Teori Konstruksi Sosial. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 21(3), 221–230.