Konten dari Pengguna

Bencana Hidrologi Menimbulkan Ancaman Ekologis

Hatipah Salamah
Mahasiswi Pendidikan Biologi Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
8 Juni 2022 12:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hatipah Salamah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dampak terancamnya ekologi lingkungan dari pemanasan global, sumber: pixaby.com
zoom-in-whitePerbesar
Dampak terancamnya ekologi lingkungan dari pemanasan global, sumber: pixaby.com
ADVERTISEMENT
Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada tanggal 5 Juni bertema “Satu Bumi untuk Masa Depan” sambil berfungsi sebagai ide untuk direnungkan oleh komunitas global pada peringatan tahunan yang ditetapkan selama Konferensi Stockholm 1972.
ADVERTISEMENT
Hari Lingkungan Hidup Sedunia bertujuan untuk mempromosikan dan menanamkan kesadaran atau kepedulian terhadap pelestarian dan perbaikan lingkungan. Tema tahun ini memunculkan pesan bahwa seseorang harus peduli dengan bumi untuk penggunaan di masa depan, karena itu adalah satu-satunya ruang hidup bagi manusia.
“Berbicara tentang lingkungan, saat ini bumi dan lingkungan kita sedang mengalami tiga krisis, yaitu perubahan iklim, kerusakan alam (sebanding dengan) penurunan keanekaragaman hayati, dan polusi,” kata Direktur Komunitas Konservasi Indonesia Warsi Rudy Syaf pada Minggu.
Perubahan iklim, yang merupakan akibat dari pemanasan global, telah menyebabkan peningkatan suhu global, perubahan cuaca, kenaikan suhu air laut, serta mengakibatkan pencairan permukaan es di daerah kutub.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyatakan, Indonesia mencatatkan kenaikan suhu di wilayah barat dan tengah, kenaikan suhu tertinggi sebesar 0,95 derajat Celcius per dekade. Kondisi ini telah menimbulkan kekhawatiran di antara beberapa orang, yang melihat suhu tinggi di beberapa daerah sejak awal Mei 2022.
ADVERTISEMENT
“Ancaman perubahan iklim itu nyata. Ini memicu bencana ekologis dan hidrologi dengan berbagai turunan, kekurangan pangan, penyakit, dan lain-lain,” imbuhnya.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana menerbitkan informasi yang berkaitan dengan ancaman tersebut, yang menyebutkan bahwa 98 persen bencana alam di Indonesia dalam satu dekade terakhir terkait dengan aspek meteorologi, seperti curah hujan, kelembaban, suhu, dan angin dengan petir.
Pemanasan global
Tahun lalu, Indonesia dilanda cuaca hujan ekstrem dan peningkatan intensitas curah hujan. Yang terakhir mencapai 20-70 persen, yang mengakibatkan banjir bandang di beberapa wilayah Indonesia, antara lain Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan selatan, dan Sulawesi selatan.
Pada tahun 2021, tercatat sebanyak 5.402 bencana di Indonesia, yang sebagian besar merupakan banjir dan cuaca ekstrem. Sekitar 4.650 bencana, dengan 1.518 insiden banjir dan 1.386 kejadian tornado tercatat pada tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Menurut Catatan Akhir Tahun 2021 yang dikeluarkan oleh Masyarakat Konservasi Indonesia Warsi, beberapa bencana ekologis telah melanda Jambi dan Sumatera Barat. Sekitar 20 insiden banjir tercatat di beberapa tempat, seperti Kota Jambi, Kecamatan Batanghari, Kecamatan Muaro Jambi, Kecamatan Sarolangun, dan Kecamatan Kerinci.
Sementara itu, di Sumatera Barat tercatat 11 insiden banjir di Solok Selatan, Kota Solok, Padang Panjang, Pesisir Selatan, Kecamatan Solok, Sijunjung, Kota Padang, dan Siberut. Delapan insiden tanah longsor terjadi sepanjang tahun di Padang Pariaman, Dharmasraya, Bukittinggi, Agam, Payakumbuh, dan Solok.
Bencana hidrologi yang melanda Provinsi Jambi mengakibatkan dua orang tewas, 6.265 rumah terendam banjir, dan 635 hektare lahan tergenang. Di Sumatera Barat, sembilan orang kehilangan nyawa, sementara 3.181 rumah terendam banjir.
ADVERTISEMENT
“(Kemungkinan) bencana ekologis (berbanding lurus) dengan perubahan (kawasan) hutan akibat aktivitas manusia. Perambahan hutan, penambangan ilegal di hutan, dan pencurian kayu juga menyebabkan bencana ekologis,” kata Syaf.
Kawasan hutan, yang seharusnya mampu mengurangi efek gas rumah kaca, tampak tidak berdaya dalam melakukannya karena kerusakan parah yang tidak terkendali. Pohon-pohon, yang membentuk kawasan hutan, sebenarnya diharapkan untuk mengikat karbon dioksida, yang membentuk gas rumah kaca di udara. Hal ini bertujuan untuk mencegah zat-zat tersebut naik ke atmosfer, yang akan menipiskan lapisan ozon dan menyebabkan pemanasan global dan menyebabkan perubahan iklim.
Hutan Perhutanan
Sosial seharusnya berfungsi sebagai penjaga untuk menjaga iklim. Namun, degradasi dan deforestasi yang terus-menerus setiap tahun akibat kebakaran hutan dan pembukaan lahan, baik yang dilakukan secara legal maupun ilegal, memiliki dampak negatif.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari Global Forest Watch (GFW), Indonesia memiliki 93,8 juta hektar hutan primer pada tahun 2001, yang merupakan lebih dari setengah luas daratan. Namun, sekitar 9,75 juta hektare dari area itu telah hilang selama periode 2002-2020.
Akibatnya, Indonesia kehilangan 36 persen kawasan hutannya pada periode yang sama. Jika situasi ini berlanjut, itu akan membahayakan keberlanjutan kehidupan di bumi.
Karena hutan memiliki peran penting dalam meminimalisir pemanasan global, maka kesejahteraannya harus diprioritaskan oleh negara-negara yang masih memiliki kawasan hutan yang luas, seperti Indonesia.
“Ada banyak hal yang dapat kita lakukan untuk (berkontribusi dalam upaya) melindungi bumi kita, (seperti dengan memperbaiki) fungsi hutan dengan memulihkan sisa kawasan hutan dan juga (memperbaiki) fungsi ekologis hutan, salah satunya dilakukan melalui skema perhutanan sosial yang mirip dengan apa yang telah dilakukan oleh Masyarakat Konservasi Indonesia Warsi, ” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan, rasa kontribusi atau kepemilikan dalam melindungi hutan dapat dipupuk, tegasnya.
“Pengalaman yang baik di Jambi, dengan merujuk pada catatan Masyarakat Konservasi Indonesia Warsi pada tahun 2021, menunjukkan bahwa cakupan kawasan perhutanan sosial telah meningkat. Ini ditunjukkan oleh analisis gambar sentinel. Ditemukan ada peningkatan tutupan hutan seluas 14.390 hektare di kawasan perhutanan sosial di Jambi,” katanya.
Melindungi Keanekaragaman Hayati
Metode untuk memperbaiki kawasan tersebut meliputi kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan masyarakat dengan mengembangkan agroforest di kawasan perhutanan sosial.
Namun, restorasi kawasan hutan tidak semata-mata bergantung pada kegiatan perhutanan sosial. Setiap orang harus berpartisipasi dalam upaya melindungi kawasan hutan dengan mengambil langkah-langkah restoratif, mencegah kebakaran hutan, dan memulihkan area di sekitar daerah aliran sungai.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, mari kita kembali ke hutan. Hutan dapat meminimalisir dampak pemanasan global.
Pembangunan yang dilakukan berdekatan dengan kawasan hutan juga harus menggunakan orientasi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Kita harus menganggap serius masalah hutan sebagai faktor dalam mengendalikan pemanasan global atau akan berdampak negatif pada generasi mendatang.
Perubahan iklim adalah ancaman utama bagi lingkungan, dan hutan adalah bagian dari lingkungan. Jika seseorang memelihara hutan, maka itu berarti bahwa mereka sudah melindungi lingkungan itu sendiri, dengan semua keanekaragaman hayatinya tinggal di dalamnya.
Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia.