Anak Persma yang Enggan Jadi Jurnalis

Hatta Muarabagja
Mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad
Konten dari Pengguna
30 Mei 2021 11:27 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hatta Muarabagja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(freepik/cookie_studio)
zoom-in-whitePerbesar
(freepik/cookie_studio)
ADVERTISEMENT
Sedang asyik-asyiknya bercengkrama, suara lawan bicara saya tiba-tiba menghilang dari peradaban. Sejurus kemudian, suaranya kembali menyeruak, namun kini dengan sedikit aksen robotik. Saya mendengus, membuka jendela peramban, mengetik asal di kolom pencarian Google lalu menekan tombol Enter.
ADVERTISEMENT
Ah lancar kok koneksinya.
“Halo halo?” ucap saya sembari mendekatkan mikrofon ke mulut, nyaris tertelan.
Ia terus berceloteh tanda tak mendengar suara saya. Hingga empat kali saya menyebutkan penggalan kata yang sama namun hasilnya nihil. Melalui pesan LINE, saya pun mencoba memberi tahu kendala yang terjadi.
Rangkaian kisah tadi adalah sekelumit masalah yang mewarnai sesi ngobrol-ngobrol berkedok wawancara saya dengan Fathur Rachman malam itu. Benar-benar menyebalkan karena sejumlah pertanyaan mesti diulang kembali dan Fathur mesti ikhlas menambah durasi tahan napas untuk menjawab lagi. Untungnya hal itu tidak berlarut-larut setelah kemudian kami memutuskan untuk berganti platform komunikasi.
Ngomong-ngomong, Fathur sendiri merupakan kawan kuliah saya. Kebetulan saat ini ia tengah sibuk-sibuknya memimpin sebuah lembaga pers mahasiswa (persma) di Fikom Unpad, yakni dJATINANGOR. Sebelum bermetamorfosis menjadi anak persma seperti sekarang, Fathur memang sudah gemar menulis sejak duduk di bangku SMA. Sebelumnya ia juga pernah duduk di bangku taman dan bangku kantin.
ADVERTISEMENT
Awalnya ia hanya menulis iseng-iseng untuk kepuasan pribadi. Ketika ditanya lebih lanjut, ia mengaku menulis dengan abstrak, tanpa konsep, dan tanpa substansi. Ia tak peduli norma-norma penulisan, Estetika kata-kata dan susunan kalimat indah jadi pujaannya.
Biasanya, Fathur terinspirasi dari kata-kata cerdas (menurutnya) yang ia temukan dari buku-buku bacaannya. Ia kerap meniru susunan kata-kata itu dengan gayanya sendiri. Saya sempat menyambangi akun Medium pribadi miliknya dan memang tulisan-tulisannya sungguh out of the box. Semacam perpaduan antara puisi dan cerpen yang dikemas secara absurd.
“Kadang aku sendiri nggak tau makna kata-kata yang aku tulis, biar keliatan keren dan intelek aja gitu haha,” kelakar Fathur.
Kini ia mengaku sudah meninggalkan adat istiadat itu dan sejak beberapa waktu ke belakang mulai fokus menulis sesuai kaidah pula lebih berkonsep. Tanggal 17 Februari 2020 adalah hari bersejarah bagi Fathur karena saat itu karyanya berhasil memperoleh kepercayaan tim redaksi salah satu media online untuk bisa unjuk gigi di situs mereka.
ADVERTISEMENT
Itu adalah pertama kali tulisan Fathur dipublikasikan oleh media. Apalagi saat itu media online tersebut bisa dibilang tengah naik daun di kalangan anak muda. Hal itu jadi tambahan arang bagi mahasiswa Jurnalistik semester empat ini untuk terus menulis. Terhitung saat ini sudah ada enam tulisan Fathur mejeng di sana.
Kini, setelah mengantongi amanah sebagai Pemimpin Umum di dJATINANGOR, Fathur memutuskan untuk mengabdi secara penuh ke lembaga persma yang sudah berdiri sejak 1997 silam itu.
Berbicara mengenai persma, Fathur sendiri melihat anak-anak persma masih dipandang sebelah mata oleh mahasiswa dan lingkungan kampus. Apalagi jika disandingkan dengan organisasi populer nan bonafit macam BEM, prestise menjadi anggota persma tentu saja kalah. Ia berharap persma-persma di luar sana bisa membuktikan bahwa menjadi anak persma adalah hal yang keren.
ADVERTISEMENT
Punya modal kompetensi menulis, pengalaman hampir dua tahun di persma, sejumlah tulisan di media, serta ilmu jurnalistik yang diperoleh di perkuliahan tak lantas membuat Fathur bulat tekad untuk terjun menjadi seorang jurnalis. Ia tak serta merta jadi naif setelah menyadari kenyataan bahwa menjadi jurnalis tidaklah semapan pekerjaan lainnya. Apalagi melihat risiko yang mesti dihadapi di lapangan dan jam kerja yang padat.
Malam saya dengan Fathur saat itu berlanjut dengan bincang-bincang seputar tugas kuliah dan pengalaman jenaka Fathur tatkala mewawancarai satpam Fikom. Namun sayangnya percakapan kami tidak bertahan lama sebab sang kekasih telah beberapa kali melakukan panggilan ke akun LINE beliau.