Menengok Eksistensi Kritikus Film di Bawah Bayang-bayang Popularitas Sineas

Hatta Muarabagja
Mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad
Konten dari Pengguna
30 Mei 2021 16:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hatta Muarabagja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(foto: freepik)
zoom-in-whitePerbesar
(foto: freepik)
ADVERTISEMENT
Satu participant memasuki waiting room Zoom Meeting saya petang itu. Sejurus kemudian saya mengernyitkan dahi tatkala melihat participant itu menggunakan nama ‘Suaminya Joy’. Usai di-accept untuk masuk, tak lama kamera sang pemilik akun menyala, nampak foto salah satu personel girl band kondang Korea Selatan mejeng jadi virtual backgroud-nya. Saya pun langsung sadar bahwa Joy yang dimaksud adalah Joy punggawa Red Velvet.
ADVERTISEMENT
Sadar akan hal itu, wajah yang bersangkutan sontak memerah dan jadi salah tingkah. Entahlah, padahal di linimasa media sosialnya, ia sangat buka-bukaan mem-branding diri sebagai pengabdi industri hiburan negeri ginseng tersebut. Usai mengganti virtual background sembari cengegesan, ia membenarkan posisi duduknya, bersiap untuk mengakomodasi rasa penasaran saya.
Mungkin banyak dari kalian yang memiliki aktor idola, entah karena peforma aktingnya di depan kamera atau kemolekannya. Kalian juga mungkin familiar dengan sejumlah produser dan sutradara yang punya karya film memukau. Maksud saya, keterlaluan jika kalian tidak mengenal nama-nama seperti Joko Anwar, Hanung Bramantyo, atau Riri Riza. Namun, apakah kalian punya kritikus film favorit?
Izinkan saya memperkenalkan sosok Rasyid Harry. Selayang pandang, Harry adalah salah seorang kritikus film yang cukup senior. Ribuan film sudah diulasnya sejak lebih dari satu dekade lalu. Karya-karya ulasannya ia abadikan dalam sebuah blog yang dinamainya Movfreak. Bagi kalian moviegoers, mungkin tak asing mendengar nama blog itu.
ADVERTISEMENT
Nominasi kategori Kritik Film Terpilih berhasil ditembusnya pada ajang Piala Maya 2016 lalu, torehan yang kemudian mengantarnya turut serta menjadi juri dalam gelaran Piala Maya selanjutnya. Hal yang cukup membanggakan mengingat saat itu awardee untuk kritikus adalah sesuatu yang langka.
Harry mengungkapkan bahwa dalam ajang Piala Citra sebenarnya juga ada semacam apresiasi untuk para kritikus, namun hanya sebatas special mention, itu pun tidak setiap tahun diadakan sehingga jarang diketahui publik. Selebihnya, ia mengaku tidak tahu menahu di ajang mana lagi ada penghargaan untuk kritikus film.
Pria lulusan psikologi UGM ini lalu berceloteh mengenai lesunya dunia kritik film. Menurutnya jumlah blog yang aktif menelurkan ulasan film yang benar-benar ‘ulasan’ bisa dihitung jari. Ia mengenang era 2009-2012 yang mana saat itu blog yang mengulas film tengah asyik-asyiknya menjamur. Ia menyebut era itu sebagai renaissance kelahiran reviewer film.
ADVERTISEMENT
Lesunya gejolak kritikus film juga ditengarai oleh minimnya kritikus yang expert di media massa. Harry membandingkan kondisi di Indonesia dengan Amerika Serikat. Di sana, media-media mainstream semacam The New York Times atau Chicago Tribune memiliki awak yang khusus untuk membuat ulasan film. Di Indonesia, media jarang ada yang memiliki SDM khusus untuk membuat ulasan film. Hal itu membuat spesialis di ranah kritik film jadi sangat minim.
Mendengar itu, saya jadi teringat ketika salah satu kritikus film paling dihormati di Amerika Serikat, Roger Ebert tutup usia pada 2013 lalu. Tribute untuk mengenang penulis untuk Chicago Sun-Times bertajuk Roger Ebert: A Celebration of Life itu diadakan di Teater Chicago selama tiga jam lamanya. Saat itu, pemberitaan meninggalnya Ebert sungguh masif, bahkan media-media Indonesia pun turut serta mengenang kepergian sosok yang mempopulerkan frasa ‘two thumbs up’ tersebut. Hal itu menunjukkan betapa dihargainya para kritikus di sana. Ulasan mereka menentukan keberlangsungan suatu film. Sinergi antara sineas dengan kritikus sudah menjadi kultur yang mengakar.
ADVERTISEMENT
Harry sendiri berbagi pengalaman-pengalaman menarik yang dialaminya selama aktif mengulas film. Pada sekitar tahun 2015-2016, ia pernah dicap sebagai reviewer ‘anti-islam’ karena kerap memberikan ulasan buruk terhadap sejumlah film religi yang banyak dirilis kala itu. Pernah juga terjadi perselisihan antar dua sutradara di kolom komentar blognya. Masih di kolom komentar, Ada pula sineas yang menyampaikan klarifikasi langsung terkait ulasan buruk yang menerpa filmnya sampai-sampai istrinya pun ikut turun tangan.
Dengan masih menggunakan nama ‘Suaminya Joy’, Harry mengatakan ulasan kritikus di Indonesia tidak terlalu berdampak pada nasib sebuah film. Hal itu sudah pernah ia buktikan dalam skripsinya yang meneliti hubungan antara ulasan reviewer dengan performa film secara finansial. Dampaknya akan lebih terasa pada film kecil namun bagus.
ADVERTISEMENT
Melihat segala dinamika yang melanda dunia kritik film di Indonesia, Harry berharap media bisa merangkul dan membayar kritikus dengan baik. Ia sendiri mengaku akan tetap terus menulis ulasan-ulasan film karena memang murni menggemari film.
“Alasan kritikus film di Indonesia sedikit itu kan ya karena uangnya nggak ada, mau hidup dari mana?” ujarnya.