Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sisi Belakang Tiga Periode Presiden
2 Juli 2021 14:33 WIB
·
waktu baca 4 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:53 WIB
Tulisan dari Hatta Muhammad Irsyad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Publik beberapa waktu ini disuguhkan wacana 3 periode presiden. Meskipun wacana ini gencar digaungkan di era Presiden Joko Widodo, tetapi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau akrab disapa SBY, wacana ini sudah mulai diusulkan. Tak berbeda dikala Presiden SBY, di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo masyarakat juga menolak tentang masa jabatan 3 periode presiden.
ADVERTISEMENT
Banyak kalangan menilai bahwa menambah masa jabatan presiden menjadi 3 periode tidak akan melahirkan suatu perubahan yang signifikan, hal ini juga tidak akan melahirkan seorang pemimpin baru di tingkat nasional. Bahkan, anggapan bahwa wacana penambahan jabatan 3 periode presiden ini juga ditunggangi oleh suatu kepentingan politik.
Garis rawan
Adanya penambahan masa jabatan presiden menjadi 3 periode, disinyalir dibarengi dengan adanya keuntungan yang diambil oleh para elite politik. Dalam pemerintahan, para pemangku jabatan memiliki kepentingan ingin main ‘aman’ dengan tidak adanya pergantian presiden di masa yang akan datang. Ketakutan apabila posisi yang dirasa strategis bagi dirinya akan digantikan, serta kepentingan politik beberapa pihak akan terhambat bilamana pergantian presiden terjadi.
Apabila wacana 3 periode presiden ini benar terjadi, salah satu pihak yang juga diuntungkan ialah partai poli
ADVERTISEMENT
tik. Tentu, wacana 3 periode presiden menjadi pijakan empuk sehingga partai politik akan semakin adikuasa di Indonesia, terlebih bagi partai politik yang dilabeli sebagai partai pemerintah.
Kelanggengan suatu pemerintah tentunya tidak menjamin adanya suatu kesejahteraan yang terwujud. Berkaca pada era orde baru, ketika Presiden Soeharto sudah semakin lama menduduki jabatan tersebut, pemerintah semakin menunjukkan taring otoriternya. Paling nyata ialah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin semarak. Hal tersebut menjadi ketakutan masyarakat bila kelanggengan pemerintah benar terjadi lagi.
Masa jabatan yang lama berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan, tak dipungkiri nantinya presiden akan selalu berjalan dengan orang-orang di sekelilingnya baik sektor formal maupun nonformal. Secara tidak langsung, hal tersebut menimbulkan kekuasaan oligarki yang masif. Ketika suatu pemerintahan dijalankan oleh satu lingkaran saja, hal ini tidak jauh-jauh dari sebab timbulnya perilaku otoriter pemerintah,
ADVERTISEMENT
Pengambilan sikap presiden
3 periode masa jabatan presiden ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 selaku konstitusi negara, dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Tertuang jelas bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden hanyalah dua periode.
Tidak hanya dalam UUD 1945, dalam Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009, aturan mengenai lamanya satu masa jabatan kembali dipertegas. "Orang dikatakan menjabat satu kali periode itu hitungannya kalau sudah menjabat setengah atau lebih dari masa jabatan." Artinya, presiden atau wakil presiden yang sudah menjabat selama 2,5 tahun atau lebih sudah dihitung menjabat selama satu periode.
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo sendiri menegaskan bahwa tidak mempunyai niat dan minat menjadi presiden 3 periode. Presiden menyatakan tetap patuh kepada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konstitusi negara, yang dalam isinya mengatur bahwa masa jabatan presiden ialah selama dua periode.
Keperluan negara yang lebih baik
Suatu keharusan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini ialah memperkuat pondasi konstitusi dan demokrasi di Indonesia. Dirasa demokrasi di Indonesia saat ini mengalami kemunduran sehingga menjadi suatu pengingat bagi keadaan tanah air Indonesia. Kehati-hatian pemerintah dalam pengambilan kebijakan ialah sangat penting, jangan sampai karena kepentingan pihak tertentu, negara menjadi alat dan tentunya masyarakat akan merasakan dampak yang tidak baik.
Pemerintah sekarang ini perlu melakukan reformulasi perencanaan pembangunan nasional. Reformulasi ini dilakukan dengan membuat haluan pembangunan nasional jangka panjang yang dibungkus dengan produk hukum kuat. Sehingga setiap pergantian presiden, maka presiden baru dalam menyusun program pembangunan tidak menyimpang dari haluan pembangunan nasional yang telah disepakati bersama oleh segenap komponen bangsa.
ADVERTISEMENT
Masalah yang dihadapi Indonesia masih nampak dengan jelas, terlebih di tengah Pandemi Covid-19 seperti saat ini. Prioritas negara seharusnya lebih ditekankan lagi demi kepentingan masyarakat Indonesia, pembangunan nasional harus berdampak baik bagi kesejahteraan khalayak banyak, sehingga perwujudan negara yang hadir bagi rakyat ialah benar adanya. Jangan sampai Indonesia kembali pada masa kelam era orde baru, sehingga perlu dilakukannya Reformasi Jilid II.