Komparasi Independensi Sebelum dan Sesudah Perubahan UU Tahun 2019 tentang KPK

Haviva Setiawati
Mahasiswi Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
8 Juni 2022 17:56 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Haviva Setiawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi oleh Haviva Setiawati
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi oleh Haviva Setiawati
ADVERTISEMENT
Tindak Pidana Korupsi yang ada di Indonesia kian meluas ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Jumlah kasus yang terus meningkat dari tahun ke tahun membuat kerugian yang tidak sedikit untuk keuangan negara.
ADVERTISEMENT
Komisi Pemberantasan Korupsi atau biasa disebut dengan KPK adalah sebuah komisi untuk menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia yang dibentuk sejak tahun 2003. Komisi ini secara resmi dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
KPK terbentuk karena terjadinya delegitimasi lembaga negara yang telah ada. Lembaga kepolisian dan kejaksaan yang dinilai telah gagal dalam memberantas korupsi. Hal ini disebabkan karena terbuktinya asumsi bahwa korupsi sulit untuk diberantas dan terus saja mengakar. Demi mengembalikan kepercayaan masyarakat, maka pemerintah membentuk lembaga negara baru yakni KPK yang diharapkan dapat mengembalikan citra penegak hukum di Indonesia. Lembaga ini juga dibentuk dengan tujuan meningkatkan upaya tindak pidana korupsi dan melakukan pemberantasan korupsi yang berkesinambungan.
ADVERTISEMENT
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK itu sendiri dibentuk dengan tujuan dapat memberantas korupsi dengan intensif dan profesional. KPK bukan untuk menggantikan lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya, namun guna mengefektifkan lembaga-lembaga pemberantas korupsi sebelumnya telah ada. KPK juga bertugas melakukan penyidikan, penyelidikan, dan juga melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Kedudukan dan kewenangan KPK kembali menuai kontroversi pasca disahkannya revisi Undang-Undang dalam rapat paripurna DPR yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebenarnya sebelum tahun 2019 memang sudah ada isu terkait perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 namun pada tahun 2017 isu tersebut kembali muncul yang mengundang kecacatan pada hukum. Sehingga pada tanggal 5 September 2019 DPR menyepakati revisi Undang-Undang KPK di mana hal tersebut atas inisiatif DPR dan ditargetkan 30 September 2019 UU KPK sudah disahkan. Namun pada akhirnya pengesahan UU tersebut hanya melalui dua kali rapat pembahasan antara DPR dan Pemerintah lalu disahkan pada Selasa, 17 September 2019.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa pasal yang sepakat direvisi oleh DPR dan Pemerintah diantaranya tentang kewenangan SP3, Dewan Pengawas KPK, dan perubahan status pegawai KPK yang menjadi Aparatur Sipil Negara.
Jika kita menilik UU sebelum dan sesudah tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ada beberapa pasal yang mengalami perubahan dan dianggap dapat melemahkan posisi KPK sebagai lembaga antirasuah. Di mana Undang-Undang sebelumnya yaitu “KPK tidak mengenal SP3” yang direvisi menjadi “KPK bisa mengeluarkan SP3 untuk penyidikan dan penuntutan yang belum selesai dalam setahun”. Hal ini tidak disetujui oleh banyak pihak, karena masih banyak kasus yang membutuhkan waktu bahkan sampai bertahun-tahun, dengan nilai kerugian besar untuk negara. Itu masih terus digali oleh KPK karena mungkin masih banyak keterlibatan pihak lain yang belum tertangkap.
ADVERTISEMENT
UU selanjutnya adalah “KPK sebagai lembaga ad hoc independen yang bukan bagian dari pemerintah” dan diubah menjadi “KPK sebagai lembaga pemerintah, bukan lagi lembaga negara independen” di mana KPK tidak lagi lembaga yang berdiri sendiri namun bagian dari pemerintah. Selanjutnya “Sistem kontrol di internal KPK melalui keputusan dan kepemimpinan bersifat kolektif dan kolegial” yang diubah menjadi “KPK diawasi oleh Dewan Pengawas”. DPR menganggap bahwa KPK tidak pernah membuat laporan kepada pemerintah sehingga KPK tersebut menjadi lembaga negara yang harus diawasi oleh Dewan Pengawas, yang mana Dewan Pengawas beranggotakan DPR, lembaga pemerintahan dan masyarakat. Hal ini dipermasalahkan sebab jika KPK ingin menangkap seseorang dari anggota DPR maupun anggota dari lembaga pemerintah, maka KPK harus membuat laporan terlebih dahulu kepada Dewan Pengawas, padahal anggota Dewan Pengawas itu sendiri terdiri atas anggota DPR dan anggota dari lembaga pemerintahan. Hal tersebut dipandang dapat mempersempit kewenangan dari KPK itu sendiri
ADVERTISEMENT
Undang-Undang yang mengalami perubahan selanjutnya ialah dari “Penyadapan dilakukan atas izin pimpinan KPK” direvisi menjadi “KPK dapat melakukan penyadapan setelah izin dari Dewan Pengawas”. Hal ini juga ditentang dikarenakan sebelumnya jika KPK ingin menyadap maka hanya perlu izin dari pimpinan KPK itu sendiri namun sekarang harus ada izin dari Dewan Pengawas. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa Dewan Pengawas beranggotakan anggota DPR, anggota lembaga pemerintah, dan juga masyarakat. Jika KPK ingin menyadap anggota DPR yang terlibat tindak pidana korupsi ataupun lembaga pemerintah lalu lapor kepada Dewan Pengawas maka belum tentu diberi izin apalagi jika menyangkut teman-teman atau kelompoknya.
Lalu “Penyelidik dan Penyidik KPK dari Polri, Kejagung dan KPK dapat melatih Penyidik dari internal” Menjadi “Penyelidik hanya boleh dari Kepolisian, penyidik dari Polri, Kejagung dan PPNS”. Hal ini dipandang dapat membuat keterbatasan untuk KPK merekrut pegawainya.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang lainnya adalah “Setiap penyelenggara negara wajib laporkan LHKPN ke KPK” akan diubah menjadi “KPK tak berwenang dalam LHKPN”. Hal ini tentu saja menjadi permasalahan dikarenakan dari mana kita dapat mengetahui bahwa calon wakil rakyat itu bersih atau tidak dan bagaimana kinerja calon dalam mengumpulkan harta kekayaannya itu juga bersih atau tidak.
Sehingga penulis menyimpulkan bahwasanya revisi UU KPK ini dinilai dapat mempersempit dan membuat keterbatasan atas kewenangan KPK itu sendiri. Selain itu setelah kita melihat hasil yang telah berlangsung selama ini mendapat implikasi negatif tentang buruknya kinerja KPK dari sektor penindakan maupun pencegahan yang mengakibatkan runtuhnya kepercayaan publik. Maka seharusnya pemerintah bertindak tegas dalam meningkatkan kinerja KPK dan mengembalikan kepercayaan masyarakat sebagai lembaga yang berwenang dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT