Representasi Citra Kaum Perempuan dalam Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari

Hayati Badrunnisa
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
26 Oktober 2022 10:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hayati Badrunnisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto ini diambil oleh potret pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto ini diambil oleh potret pribadi
ADVERTISEMENT
Novel ini adalah penyatuan trilogi novel karya Ahmad Tohari yaitu Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala. Ronggeng Dukuh Paruk di terbitkan pada tahun 1982, Lintang Kemukus Dini Hari pada tahun 1984, Jentera Bianglala pada tahun 1985. Kemudian di terbitkan menjadi 1 pertamakali oleh PT. Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI Jakarta, Februari 2003.
ADVERTISEMENT
Novel ini memiliki pandangan sebagian besar pada sisi kewanitaan pada tokoh utama yang bernama Srintil. Dari judul Rongeng Dukuh Paruk dimanah ronggeng adalah sisi kewanitaan seorang wanita penari, dan Dukuh Paruk ialah sebuah nama dusun, dalam pencarian di internet mengenai Dukuh Paruk ini ternyata tidak ada tidak di temukannya novel ronggeng perempuan sebagai kajian tematik dalam novel tidak terlepas dari kasus-kasus perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga, atau pelecehan seksual. Seksual juga berkenaan dengan perkara persetubuhan (eksploitasi) antara laki-laki dan perempuan.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk ini bercerita tentang seorang tokoh bernama Srintil yang menjadikan profesi ronggeng sebagai jalan pilihan hidupnya di kala usianya yang tergolong masih sangat muda. Profesi ini ia pilih karena sang tokoh memiliki bakat menari sedari kecil. Seperti tergambar pada kutipan di bawah ini “Siapa yang akan percaya, tak seorang pun pernah mengajari Srintil menari dan berkembang. Siapa yang akan percaya, belum sekali pun Srintil pernah melihat pantas ronggeng. Ronggeng terakhir di Dukuh Paruk mati ketika Srintil masih bayi. Tetapi didepan Rasus, Warta, dan Darsum, Srintil menari dengan baik”. Dukuh Paruk, mengisahkan latar belakang budaya dengan perempuan diposisikan sebagai pelaku dalam pemertahanan budaya lokal di daerah tersebut. Perempuan sebagai pelaku dalam pemertahanan budaya melalui peran ronggeng (penari perempuan) yang dapat dikencani oleh lelaki dalam kesenian tradisional ketika menari diiringi gamelan.
ADVERTISEMENT
Novel ini diawali dengan dua kejadian yang melanjutkan kegiatan, pertama, Dukuh Paruk mengalami kekeringan yang cukup panjang. Pada saat itu, Dukuh Paruk menganggap tanpa adanya ronggeng akan ada malapetaka pada saat kekeringan, ronggeng terakhir di Dukuh Paruk ada pada puluhan tahun yang lalu dan terjadi tragedi tempe bongkrek yang memakan banyak korban meninggal pada warga Dukuh Paruk akibat keracunan. Tragedi itu terjadi ketika orang tua Srintil menjual tempe bongkrek, pada saat itu Srintil berusia kurang lebih 1 tahun. Kedua, dua tokoh penting yakni Rasus dan Srintil mengalami kesamaan yaitu kedua orang tuanya meninggal.
Meskipun Ahmad Tohari bukanlah seorang pengarang perempuan, akan tetapi pada novel ini beliau begitu menunjukkan kepiawaiannya dalam membuat karya sastra yang berbau feminisme sehingga penciptaan karakter perempuan pada tokoh ini pun menjadi terasa lebih hidup dan mirip dengan realitas yang ada. Hal ini terbukti karena munculnya konflik batin yang dialami oleh tokoh Srintil sebagai seorang ronggeng yang harus menyerahkan keperawanannya di saat usia belasan tahun karena adanya hukum adat yang berlaku untuk seorang ronggeng di Dukuh Paruk. Srintil pada usia itu belum tahu tentang arti keperawanan atau nikmatnya seks. Srintil menuruti perintah dukun ronggeng, yaitu Nyai Kartareja. Dengan kejadian indung telurnya dipijat hingga Srintil tidak hamil atau melahirkan anak, hal ini merupakan sebuah penindasan dan pemaksaan perempuan terutama untuk mengeruk keuntungan bagi laki-laki.
ADVERTISEMENT
Ronggeng Dukuh Paruk telah mengantarkan kepada pembaca tentang gambaran kesalahan masyarakat yang memandang seksualitas perempuan. Dalam novel ini dari sisi kewanitaannya yang akan berhubungan dengan kejadian politik tahun 65 oleh warga Dukuh Paruk di beberapa bagian novel. Srintil digambarkan sebagai tokoh perempuan yang selalu ditindas dan dimanfaatkan oleh Nyai Kartaraja agar ia bisa hidup dan melangsungkan kehidupannya tanpa harus bekerja. Pertama dari sisi kewanitaan yang dapat terlihat dimanah Srintil di angkat menjadi ronggeng, ketika itu Srintil masih berusia 11 tahun, masih menuruti apa yang dikatakan oleh petuah-petuah yang ada di sekitarnya. Menurut masyarakat Dukuh Paruk, ronggeng bukan hanya sebuah kesenian melainkan sebuah hal yang mistis. Jadi dengan adanya ronggeng mereka percaya bisa terikat dengan leluhur mereka yang bernama Ki Secemenggala.
ADVERTISEMENT
Kemudian ada yang namanya tragedi Bukak Kelambu, tragedi ini di perlihatkan dimanah sisi kenafsuan masyarakat Dukuh Paruk dan pada bagian ini kita dibawa ke dalam sudut pandang seorang Rasus yaitu teman akrab Srintil dari kecil. Rasus memutuskan untuk pergi dari desa Dukuh Paruk, karena opininya tentang Dukuh Paruk kenapa ketika seorang menjadi ronggeng harus mengalami Bukak Kelambu. Bukak kelambu adalah sayembara dimanah seorang ronggeng menyerahkan keseluruhan dirinya termasuk keperawanan kepada seorang lelaki yang berhasil memberikan taruhan yang diminta oleh dukun ronggeng tersebut.
Selanjutnya, Srintil kehilangan jati dirinya yang di tinggal pergi oleh Rasus, dari kejadian itu membuat pikirannya bercabang. Ia memikirkan ibunya dan juga memikirkan nasibnya sebagai seorang ibu yang tidak akan mungkin terjadi. Srintil sangat menyesal atas perbuatannya yang menyebabkan ketenarannya jatuh, kemudian yang selama ini di agung-agungkan kini Srintil di cemooh sebagai sanksi sosial. Akhirnya Srintil memohon ampun atas kesalahan yang sudah diperbuat, dan kenapa masalah begitu berat datang kepadanya.
ADVERTISEMENT
Ronggeng Dukuh Paruk merupakan sebuah desa yang memang keterbelakangan, dimanah Srintil sebagai tokoh utama dalam novel mengalami penderitaan sebagai penari perempuan atau Ronggeng yang cukup mendalam. Oleh karena itu pesan yang dapat di ambil ialah jangan pernah memandang rendah seorang perempuan. Jangan pernah untuk memanfaatkan seorang perempuan dengan kepentingan pribadi. Kehidupan lelaki dan perempuan merupakan kehidupan yang sepadan dan jangan untuk mendiskriminasi gender.